wirausaha online

23 Juni, 2009

DEBAT



Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.
Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.
Goenawan Mohamad
sumber : http://www.tempointeraktif.com

09 Juni, 2009

Bahaya Survey Politik


Mempublikasikan hasil survei politik saat kampanye pemilihan presiden jelas tak bisa dilarang. Tapi, persoalannya, banyak lembaga survei mengabaikan etika. Mereka dibiayai oleh tim sukses calon presiden tertentu namun mengesankan seolah-olah independen. Metodologinya pun kerap dipertanyakan.

Tengoklah aneka macam hasil survei yang beredar sekarang. Lembaga Survei Indonesia, misalnya, mengumumkan hasil jajak pendapat yang menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mencapai 71 persen. Ini berarti pasangan calon presiden-wakil presiden ini berpotensi menang pemilu dalam satu putaran. Tapi survei lainnya yang dilakukan Lembaga Riset Indonesia menghasilkan angka berbeda. Elektabilitas Yudhoyono-Boediono hanya 33,02 persen, yang berarti pemilihan presiden mungkin akan berlangsung dua putaran.

Survei mana yang harus dipercaya? Inilah yang membingungkan masyarakat. Apalagi masih banyak hasil sigi lainnya yang dilakukan dengan berbagai macam metode. Ada yang bertatap muka langsung dengan responden, ada pula yang lewat telepon dan pesan pendek. Hasil suatu survei mungkin memenangkan SBY-Boediono, tapi sigi yang lain mengunggulkan pasangan lainnya, Megawati-Prabowo atau Jusuf Kalla-Wiranto.

Publik sebetulnya tidak akan terlalu pusing andaikata penyelenggara survei bersikap terbuka. Mereka harus membeberkan siapa penyandang dananya. Publik perlu tahu soal ini untuk menakar kemungkinan adanya bias pada hasil survei itu. Akan lebih baik lagi bila hasil survei ini diumumkan oleh pemesannya, bukan oleh lembaga yang melakukan sigi itu.

Etika lain yang kerap dilanggar menyangkut metodologi. Dengan jumlah pemilih di atas 100 juta dan terserak di wilayah yang luas, bahkan sebagian berada di tempat terpencil, teknik pengambilan sampel menjadi tantangan utama bagi lembaga survei. Begitu pula metode pengambilan pendapat. Teknik bertanya dan pertanyaan yang diajukan kepada responden harus tepat karena ini bisa mempengaruhi jawaban responden. Sering kali lembaga survei tidak menjelaskan dengan gamblang metode yang dipakainya. Padahal metode yang berbeda jelas akan menampilkan hasil survei yang berbeda pula.

Sungguh berbahaya jika lembaga survei sengaja menyembunyikan metode atau memanipulasi data dengan tujuan mengelabui publik. Sebab, ada kecenderungan masyarakat akan mendukung calon yang berpotensi menang lantaran tak mau jadi pecundang. Pada abad ke-19, Benjamin Disraeli, negarawan dan Perdana Menteri Inggris yang meninggal pada 1881, bahkan telah mengutuk manipulasi statistik ini sebagai kebohongan yang paling jahat. Soalnya, lembaga survei memperalat publik, yakni responden, untuk membohongi publik yang lebih besar.

Menyelamatkan publik dari kebohongan seperti itu tentu bukan dengan cara melarang survei politik. Dalam negara demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat dan mengadakan sigi harus tetap dihargai. Hanya, lembaga survei perlu mengindahkan etika agar tidak dituduh melakukan kebohongan yang paling jahat.

04 Juni, 2009

Abang Biru Rakyat Pintar & Pilpres

Jakarta - Rebutan presiden tak lama lagi. Anehnya yang ribut hanya tivi. Rakyat adem ayem, tata-tentrem, dan tetap pada pakem, bagaimana mengais rejeki. Sangat beda dengan 'rebutan senden' yang saya saksikan pekan lalu di sebuah desa di Bojonegoro. Biar pilihannya hanya tes tertulis, tapi antusiasme rakyat untuk mengawal betul-betul membuat hati terharu.

Kenapa pilihan presiden tak menggairahkan? Menurut saya karena track-record para kontestan sudah terlalu transparan. Semua yang maju bukan orang baru. Mereka semua sudah pernah berbuat, baik atau tidak baik.

Kedua ada apatisme sempit yang membuat rakyat kurang bergairah. Tidak adanya dampak langsung membuat rakyat berasumsi, siapa saja yang jadi presiden toh hidup rakyat tak banyak berubah. Itu pula salah satu alasan mengapa acara saling ngotot antar pendukung di televisi kurang diminati.

Namun seapatis apapun mereka, bukan berarti rakyat tak punya penilaian dan pilihan. Bagi mereka, yang baik akan mengukuhkan hatinya untuk dipilih. Sedang yang tak baik tentu mendapat catatan hitam. Itu tidak mudah terhapus hanya dengan obral janji atau uang sogok yang digelontorkan kader-kader bayaran.

Rakyat sekarang memang pintar. Pintar itu tidak sama dengan cerdas atau sebangun dengan pandai. Kalau cerdas dan pandai di dalamnya ada budi pekerti, tapi kalau pintar dalam idiom rakyat terkandung kecurangan dan keculasan.

Dukun tidak diklasifikasikan rakyat sebagai orang cerdas, tapi disebut orang pintar. Itu karena kecerdasannya dari dunia antah-berantah dan masih perlu diyakinkan untuk diyakini rakyat sebagai sebuah kecerdasan.

Dalam ranah politik, kepintaran rakyat sudah teruji. Dalam pilihan legislatif (pileg) lalu banyak politisi yang 'munting dan jongkling'. Mereka terlalu percaya janji rakyat setelah menebar duit. Para politisi itu 'dipinteri'. Setelah kalah, bangkrut, dan jiwanya bermasalah, mereka baru sadar, rakyat sekarang bukanlah figur polos dan lugu. Jangan kaget jika 'kado sarung' saja diminta kembali oleh politisi yang habis dikadali.

Ketidakpercayaan rakyat itu tak hanya pada politisi yang biasa bersilat lidah. Ulama pun sudah tidak memberinya ketaklidan. ‘Abang–biru’ ikut kiai yang dulu bermakna tunduk apa kehendak kiai sekarang diterjemahkan sangat profan. Abang (merah) itu uang seratus ribuan, sedang biru itu uang lima puluh ribuan. Mereka nurut selagi sang kiai mau bagi-bagi rejeki.

Apakah ‘rakyat yang pintar’ ini salah? Tidak ! Ini akibat dari politik represif. Zaman raja-raja rakyat hanya mampu pepe. Menjemur diri di tanah lapang jika ingin protes terhadap kebijakan raja. Jaman Orde Baru dan seterusnya tetap menempatkan rakyat sebagai kawulo alit. Rakyat jadi bukan siapa-siapa, dan tinggal ‘delete’ kalau dianggap tak berguna atau bermasalah.

Kini, ketika zaman baru tiba, dan rakyat dikembalikan fungsinya sebagai pemberi amanah, maka hak dan kewajiban itu transisional. Muncul dalam bentuk 'ya' tapi 'tidak', dan 'tidak' tapi 'ya'. Rakyat belum berani terbuka. Batin rakyat masih sakit. Rakyat masih takut memilih dan bahkan juga dipilih. Namun jangan anggap mereka tak punya pilihan. Mereka sudah punya itu jauh-jauh hari yang dipendam rapat-rapat dan tak terucap.

Maka hari-hari ini, jika timbul seakan-akan ada gelombang besar dukungan atau penggembosan terhadap salah satu kandidat, itu hanya wacana. Wacana itu bukan nyata, kendati indah untuk dibicarakan. Ini buah politik uang dan rasa kesopanan. Sebab hakekatnya dalam hati kecil rakyat sudah terpilih pilihan yang tak bakal tergoyang oleh kata-kata yang bersifat lip service.
oleh : Djoko Suud Sukahar
sumber : http://www.detiknews.com

03 Juni, 2009

Menerabas MITOS seputar SEKS

TEMPO Interaktif, Jakarta: Sepasang anak muda mengendap-endap dalam gelap malam. Di kamar sebuah losmen kecil dekat situ di pinggiran Jakarta. Dalam ruangan yang terkunci mereka mencopot baju sampai bertelanjang bulat. Kemudian saling menjamah dan berbalas cium. Suara keduanya mendesah. Adegan bercinta ini mereka tidak lakukan sekali-dua kali. Padahal mereka masih menyandang status sebagai murid sekolah menengah atas. Sebut saja namanya Randi dan Santi.

Setiap kali berpacaran, keduanya kerap menyewa hotel jam-jaman untuk memadu kasih. Malah kalau kepepet, mereka biasa berbulan madu di warung Internet yang biliknya tertutup. Bagi Randi, dia merasa aman berhubungan intim dengan Santi. Sebab, ia tidak membuang air maninya di dalam vagina. Randi juga percaya bahwa bercinta di dalam air akan membunuh sperma yang telanjur menerobos vagina, sehingga kehamilan pun tak bakal terjadi. Inilah rumus yang ia yakini.

Namun, menurut pengasuh rubrik kesehatan di salah satu majalah kesehatan nasional, dr Handrawan Nadesul, pendapat Randi cuma mitos. Melakukan hubungan seksual dengan senggama terputus tak berarti aman dari kehamilan. "Tetap ada potensi pembuahan," katanya seusai diskusi bertajuk "Percaya Mitos, Menguntungkan atau Merugikan?" di Hotel Atlet Century, Jakarta, pekan lalu. Menurut Handrawan, saat ejakulasi belum berlangsung, titik-titik air mani sebenarnya sudah ada di permukaan liang penis. Sperma itu jumlahnya ratusan juta dan hanya dibutuhkan beberapa saja untuk membuahi sel telur.

Lain lagi mengenai mitos bahwa hubungan seksual di dalam air bakal melumpuhkan sperma. Dalam buku Mitos Seputar Masalah Seksualitas dan Kesehatan Produksi karya dr Kartono Mohamad dan dr Handrawan Nadesul, dijelaskan, sebagian sperma memang mati dalam air. Air panas membuat testikel menjadi kepanasan dan sperma mati. Tapi metode tersebut bukanlah metode efektif untuk mencegah kehamilan. Sebab, sperma berkualitas bagus tetap berpotensi meloloskan diri dan berenang ke dalam vagina.

Handrawan, yang juga penyair, menjelaskan bahwa mitos seks berkembang secara turun-temurun selama puluhan tahun. Sewaktu mengasuh majalah Kartini dan Hai pada 1970-an dan 1980-an, dia kerap menerima surat-surat seputar mitos seks yang tumbuh di masyarakat. Sampai-sampai dia menganggap bahwa sederet mitos itu menyesatkan. "Mitos itu biasanya diberi tahu teman, orang tua, maupun berasal (dari) tradisi dan kultur," pria kelahiran Karawang ini menjelaskan.

Sementara itu, mantan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr Kartono Mohamad, menyatakan mitos itu muncul karena kurangnya informasi untuk menjelaskan sebuah fenomena. Biasanya masyarakat menelan mentah-mentah karena diyakini sebagai sesuatu hal yang benar meski belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya. "Faktanya, mitos itu cenderung merugikan," ia menegaskan.

Sebut saja mitos keperkasaan seorang lelaki ditandai dengan ukuran penisnya yang besar. Akibatnya, para lelaki berlomba memperbesar penis mereka dengan segala cara. Mereka berburu obat perkasa dan pengobatan ala Mak Erot dengan tarif ratusan ribu rupiah. Padahal, definisi keperkasaan pria, dijelaskan Handrawan, yang penting adalah subur, mampu ereksi, dan bisa menghamili (bisa membahagiakan istri). "Tiga itu saja," dia menambahkan. Sebab, G-spot atau sensitivitas vagina cuma sepertiga dari kedalaman vagina. Sepertiga dari kedalaman vagina itu cuma 6 sentimeter. Artinya, penis yang berukuran 6 sentimeter pun sebenarnya sudah cukup membuat perempuan "bahagia". Lagi pula jarang sekali penis lelaki berukuran 6 sentimeter. "Paling kecil biasanya 10 sentimeter. Jadi, nggak perlu besar-besar."

Dari kalangan kaum Hawa, ada juga yang beranggapan bahwa vagina yang kering bisa memberi kepuasan lebih ketimbang yang becek, sehingga banyak perempuan ramai-ramai makan buah pinang agar alat vitalnya menjadi kering. Padahal, normalnya, perempuan yang terangsang secara seksual akan bereaksi dengan mengeluarkan lendir dari dinding vaginanya. Nah, cairan ini berfungsi sebagai pelicin.

Bila keadaannya masih kering, berarti vagina belum siap untuk dipenetrasi. Jika dipaksakan, bisa lecet, luka, dan terjadi peradangan dalam vagina. Adapun makna kering atau "peret", kata Handrawan, bukan diartikan tidak becek, melainkan kemampuan otot-otot dinding vagina yang berkontraksi. Kemampuan otot-otot dasar panggul inilah yang membedakan kualitas seks seorang perempuan.

Lebih dalam, ada mitos populer yang menyebutkan, cara menggugurkan kandungan yang aman adalah dengan meloncat-loncat, lalu makan nanas muda. Padahal secara medis sudah jelas bahwa loncat-loncat tidak akan mengeluarkan sperma. Dan tetap ada kemungkinan terjadinya pembuahan. Ada pula mitos yang mengatakan perempuan remaja yang belum haid tidak mungkin dapat hamil. Namun, ditemukan sejumlah remaja yang sudah ovulasi (sel telurnya matang) sebelum menstruasi datang, sedangkan kehamilan itu berkaitan dengan ovulasi. Artinya, tak berarti remaja yang belum haid tidak bisa hamil.

Yang lebih populer adalah mitos mengenai kewajiban sunat pada perempuan di beberapa daerah. Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Profesor dr Budi Utomo, mengatakan dari sudut medis, sunat perempuan itu sebenarnya tidak baik. Hal ini cuma refleksi konstruksi sosial bahwa lelaki memiliki kewenangan mengontrol organ seksual perempuan. "Apalagi ini terkait dengan agama dan budaya," ujar Budi dalam kesempatan yang sama. Namun, di beberapa daerah Indonesia, sunat perempuan dilakukan secara simbolis saja, tidak secara medis (dipotong klitorisnya). "Paling cuma dioles kunyit saja," ujar profesor yang juga Ketua Yayasan Mitra INTI ini.

Mitos-mitos seks yang tumbuh subur di masyarakat seperti di atas mungkin didorong belum masuknya pendidikan seksual di bangku sekolah. Akibatnya, masyarakat awam seperti tersesat di dalam hutan belantara. Padahal di Malaysia dan Singapura, pendidikan seks sudah masuk kurikulum taman kanak-kanak. Malah di Amerika, saat perempuan mendapat haid pertama kali, secara terbuka diberi selamat oleh orang tuanya dan dipesan agar menjaga diri. "Pendidikan seks itu pendidikan nilai, sehingga membuat seseorang menghargai dirinya sendiri," demikian kata Handrawan.
HERU TRIYONO
sumber : http://www.tempointeraktif.com

02 Juni, 2009

Empat Gelombang PANCASILA

Sejak pertama kali digagas tahun 1945, sejarah Pancasila dapat dibagi atas empat gelombang melewati beberapa pemerintahan.Gelombang pertama adalah saat penciptaan, gelombang kedua merupakan masa perdebatan, pada gelombang ketiga dilakukan rekayasa, sedangkan dalam gelombang keempat terjadi penemuan kembali. Tanggal 1 Juni 1945 Soekarno berpidato di depan sidang BPUPKI menjawab pertanyaan ketua sidang Radjiman Wedyodiningrat tentang dasar negara.
Memang sudah ada tokoh yang tampil sebelum Bung Karno seperti Soepomo yang berpidato tentang perlunya rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Soepomo berbicara mengenai syarat berdirinya sebuah negara, bukan tentang dasar negara. Pidato Soekarno disambut hangat dengan tepukan sangat meriah.


Pada rapat 22 Juni 1945 tim sembilan yang diketuai Sukarno mencantumkan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Hatta menerima pesan dari masyarakat Indonesia bagian timur yang menolak masuk Indonesia bila pernyataan itu dipertahankan.


Hatta kemudian merundingkannya, terutama dengan tokoh Islam. Akhirnya dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, persoalan syariat itu tidak dimasukkan, sedangkan sila pertama dilengkapi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh bapak-bapak pendiri negara, Pancasila yang menjadi bagian dari pembukaan tidak dituliskan sesuai dengan urutan dan rumusan tertanggal 1 Juni 1945, tetapi mengalami penyesuaian seperti yang kita kenal sekarang.

Masa Perdebatan

Setelah Pemilihan Umum 1955 terbentuk Konstituante yang bertugas merancang UUD. Ketika itu diperdebatkan apakah Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi lain? Para tokoh Islam seperti M Natsir dan HAMKA dengan tegas mengajukan Islam sebagai pilihan. Para tokoh itu berdebat dengan argumen yang disertai kata-kata yang sangat keras dan tajam.


Partai-partai Islam mendukung Islam sebagai dasar negara. Sementara itu partai-partai nasionalis dan komunis mempertahankan Pancasila. Tidak ada pihak yang mencapai 2/3 jumlah suara sehingga keputusan tidak dapat diambil.


Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Berarti yang diakui adalah Pancasila sebagai tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.

Masa Rekayasa


Pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dijadikan asas tunggal untuk partai dan organisasi masyarakat. Awalnya ditentang berbagai organisasi, tetapi pada akhirnya mereka tidak mempunyai pilihan lain. Sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahir Pancasila dilarang Kopkamtib.


Jasa Soekarno yang pertama kali menggagas Pancasila direduksi dengan menciptakan narasi sejarah baru bahwa ada orang lain yang berpidato sebelum Bung Karno di sidang BPUPKI dan yang otentik memang pengesahan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945.


Pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah diajarkan bahwa Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak dari zaman purbakala sampai masa sekarang. Upaya Nugroho Notosusanto itu ditolak oleh panitia lima (Mohamad Hatta, Ahmad Subardjo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo) yang tidak digubris pemerintah.


Pada 13 April 1968 dikeluarkan keputusan presiden tentang rumusan resmi Pancasila. Tahun 1968 didirikan laboratorium Pancasila di Malang dan tiga tahun kemudian diterbitkan seri laboratorium ini bersamaan dengan dokumen yang berisi sikap ABRI tentang Pancasila.


TAP MPR tentang Penataran Pancasila dikeluarkan tahun 1978. Pada era Orde Baru Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali. Ideologi ini dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dari tingkat direktur jenderal departemen sampai tingkat RT dengan memakai anggaran negara.


Dalam tempo 10 tahun telah ditatar sebanyak 72 juta warga negara. Hasilnya tidak jelas. Istilah Pancasila melebar sampai ada kesaktian Pancasila, sepak bola Pancasila, dan es campur Pancasila. Namun Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian butir sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur atau dibeli murah dicap "tidak Pancasilais".

Penemuan Kembali


Pada awal Reformasi, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan, sedangkan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dihapuskan. Pancasila tetap diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi.


Secara bertahap peringatan hari lahir Pancasila diselenggarakan kembali. Walaupun pada mulanya ada rasa bosan dan jenuh terhadap penataran dan slogan Pancasila yang selalu dikumandangkan rezim Orde Baru, kemudian muncul kerinduan kembali pada ideologi ini. Suasana kesulitan ekonomi yang dibayangi ancaman perpecahan mengakibatkan masyarakat menengok kembali pada sesuatu yang bisa menjadi perekat bangsa.


Yang tepat untuk itu adalah Pancasila sebagaimana terbukti dalam sejarah. Dari empat gelombang tersebut terlihat konflik dan konsensus masyarakat mengenai Pancasila. Kalau kita sudah bersepakat Pancasila dapat dijadikan alat pemersatu, mengapa masih mencari yang lain? Hal itu hanya akan menimbulkan konflik baru.


Lebih baik perdebatan diarahkan bagaimana mengimplementasikan tiap sila dalam menghadapi masalah internal dan eksternal kita sebagai bangsa dan negara sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi agar dilaksanakan dengan metode dan substansi yang lebih menyegarkan dan diajarkan secara dialogis.


(*)Asvi Warman Adam
Ahli Peneliti Utama LIPI
Sumber : http://www.okezone.com/
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action