wirausaha online

30 Juli, 2009

Quo Vadis Putusan MA

Atmosfer politik Indonesia akhir-akhir ini memanas. Dua gugatan terhadap Keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Pilpres telah dilayangkan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menengarai hasil penghitungan KPU tidak sah karena terlalu banyak pelanggaran dan kesalahan selama proses pemilihan presiden, baik secara prosedural maupun substansial. Sementara itu, minggu sebelumnya dunia perpolitikan kita lebih dahulu dikejutkan oleh keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 bertanggal 18 Juni 2009.

MA memutuskan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No 15/2009 terkait cara penghitungan tahap kedua untuk kursi DPR. Memang dalam putusan tersebut MA tidak mengutak-atik perolehan kursi partai politik yang berhak duduk di Senayan, namun secara tidak langsung dipastikan akan memengaruhi perolehan kursi dari banyak partai politik papan menengah.

Implikasinya, menurut CETRO, 66 kursi di DPR RI diperkirakan akan beralih partai! (Seputar Indonesia, 28/7/2009) Karena putusan MA tersebut sangat berdampak pada konfigurasi politik nasional untuk lima tahun ke depan, tak ayal sensitivitas politiknya pun sangat tinggi. Akibatnya, ingar-bingar dan kemelut antara pihak yang diuntungkan dan dirugikan atas putusan tersebut kontan menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Sayangnya, respons yang keluar dalam menanggapi putusan tersebut justru lebih banyak berhulu pada respons politik, bukan berangkat melalui respons hukum. Sejatinya, suatu produk hukum dan pengadilan harus pula ditanggapi dengan kajian yuridis, bukan justru dihadapkan sekadar dengan analisis dan bumbu politis.

KPU pun kian menjadi sorotan tajam dan berada pada posisi yang dilematis serta terjepit dalam kondisi ini. Di satu sisi KPU wajib menjalankan putusan tersebut, di sisi lain apabila melaksanakan putusan tersebut dapat mengakibatkan guncangnya sendi-sendi sistem politik dan pemilu yang bermuara pada keterpilihan kursi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Titik Lemah Putusan

Putusan MA memang sudah dibacakan, namun ruang untuk mengkritiknya dalam koridor hukum tetaplah terbuka lebar.Tetap dengan menghormatinya, paling sedikit terdapat empat titik kelemahan krusial dalam putusan tersebut.

Pertama, permohonan sejenis untuk pengujian materi Pasal 23 ayat (1) Peraturan KPU No 15/2009 sebenarnya pernah diajukan dan diputus pada 2 Juni 2009 dengan amar putusan menolak permohonan untuk pemohon Hasto Kristyanto dan tidak dapat diterima untuk pemohon A Eddy Susetyo (vide Putusan Nomor 12 P/HUM/2009).

Atas substansi permohonan yang sama dengan komposisi majelis yang sama pula, seyogianya permohonan yang diajukan oleh Zainal Ma'arif (vide Putusan Nomor 15 P/HUM/2009) tidak dapat diuji kembali (nebis in idem) atau setidak-tidaknya menyatakan amar putusan yang serupa, sebab apabila kita perbandingkan dalil dan materi permohonan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari keduanya.

Kedua, menafsirkan Pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dengan cara "Partai politik yang sudah memperoleh kursi pada tahap I karena mencapai BPP harus diikutkan kembali pada penghitungan perolehan kursi pada tahap II tanpa menggunakan sisa suara yang dimilikinya, tetapi secara utuh diperhitungkan semua suaranya,"( vide halaman 8) adalah tafsir yang terlalu dipaksakan.

Dengan cara penghitungan demikian, maka akan terjadi "double counting" dalam penentuan kursi, yaitu dihitung dua kali di tahap pertama dan juga di tahap kedua, hal mana bertentangan dengan prinsip one person one vote. Tafsir ini pun tidak lagi kompatibel dengan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia.

Bila pun ada kelemahan karena dianggap tidak adil dalam mengonversi jumlah suara partai dengan jumlah suara kursi, maka hal ini memang sedari awal telah diakui secara sadar namun disepakati untuk tetap diberlakukan, mengingat tidak ada satu sistem pemilu pun yang hadir tanpa celah dan kelemahan masing-masing (Florian Bieber, 2007) Ketiga, amar putusan a quo juga tidak konsisten dan sinkron antara satu dan yang lain.

Angka kedua amar putusan justru memutuskan bahwa Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No No 15/2009 "Pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu UU No 10/2008," (vide halaman 16). Dengan kata lain, diputus dalam ranah uji formal, padahal permohonan berbicara pada ranah pengujian material yang tentu keduanya memiliki konskuensi putusan berbeda.

Seandainya pun "pembentukannya: yang dianggap bertentangan, maka rujukan seharusnya adalah UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan UU No 10/2008 mengenai Pemilu Legislatif. Keempat, amar yang memerintahkan KPU untuk merevisi dan menunda pelaksanaan Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/2009 merupakan perintah yang kebablasan (overheated).

Memutus permohonan tersebut tidak bisa serta-merta disandingkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh MK terkait penerapan Pasal 205, sebab objek dan kewenangan yang sedang dijalankan berada pada ranahnya masing-masing yang berbeda. Lagipula, apabila kita telaah secara cermat, Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 yang diadili oleh MA tanggal 18 Juni 2009 telah dinyatakan batal demi hukum oleh MK sejak 11 Juni 2009, sedangkan putusan MA tersebut diputus kemudian pada 18 Juni 2009.

Tentu masih banyak lagi aspek yang bisa diperdebatkan atas perkara yang diputus oleh MA tersebut. Misalnya berwenang atau tidaknya MA menguji peraturan KPU yang status dan kedudukannya memperoleh tempat khusus dalam peraturan perundang-undangan, atau terhadap keberlakuan surut-tidaknya suatu putusan judicial review.

Upaya Hukum

Tentu kita berharap, apabila terdapat ketidakpuasan atas putusan MA tersebut, para pihak juga dewasa menyikapinya dengan jalur hukum yang tersedia. Apabila diperlukan, kreativitas yudisial (judicial creativity) perlu ditempuh baik oleh KPU maupun para pihak yang merasa dirugikan dalam membuka jalur yang buntu.

Begitu pula dengan para hakim, dengan pertimbangan di atas seharusnya tidak perlu ragu melakukan aktivitas yudisial (judicial activism) seandainya bermaksud untuk meluruskan kembali putusan tersebut berdasarkan keadilan dan hati nuraninya (Kermit Roosevelt 2008). Upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atau menguji konstitusionalitas dan penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU 10/2009 ke Mahkamah Konstitusi, mungkin saja menjadi alternatif jalur solusi hukum yang dapat diambil.

Hanya saja yang perlu dipahami adalah ketika jalur hukum yang tersedia telah habis (exhausted), maka para pihak, suka tidak suka, mau tidak mau,harus tunduk dan patuh serta menghormatipadaapapunputusannya nanti. Akhirnya KPU pun tidak perlu lagi merasa cemas atas putusan tersebut, sepanjang respons dan tindakan yang muncul adalah respons hukum, bukan sebaliknya, respons politik yang sering kali hanya berbicara untuk kepentingan sesaat.(*)

Pan Mohamad Faiz
Alumnus Hukum University of Delhi, Pemerhati Hukum pada The Celi
(//mbs)
sumber : www.okezone.com

24 Juli, 2009

Membangun Anak Membangun Bangsa


Anaklah yang akan membangun rumah bangsa. Namun anak kita belum penuh kita bela. Masih banyak yang perlu ditolong. Bahkan kita saat ini sedang menghadapi krisis finansial dunia yang berimbas langsung terhadap kesehatan anak (Sidang ADB 5/9, Bali).

Berbagai angka statistik tentang anak seperti penyakit dan kematian masih jauh di bawah harapan. Ambil saja contoh di Haurgeulis, dusun kecil tak jauh di timur Jakarta, menjelang Pilpres 2009, ada banyak balita yang berat badannya kurang dari 10 kg. Mereka itu lahir dari ibu pengidap anemia yang hamil dan membesarkan anak hanya dengan naluri. Mereka mewarisi kemiskinan struktural. Nasib kesehatan kebanyakan anak kita di garis tangan ibu yang papa.

Potret begini masih tersebar di banyak dusun dan pinggiran kota. Misalnya di Desa Segara Katon, Amlapura, Karangasem, Bali. Dari satu keluarga yang memiliki sembilan anak, tiga di antaranya menderita gizi buruk. Kita merasa lengah setelah menginsafi dampak kelalaian program Keluarga Berencana yang ternyata seburuk itu. Saat ini lebih banyak bayi kita sudah lemah sedari kandungan.

Mereka tidak mendapatkan susu yang cukup, jika makan nasi pun seringnya hanya dengan kecap dan kerupuk. Tak sedikit yang belum tersentuh imunisasi. Kondisi itu diperparah dengan banyaknya ibu yang tak memahami manfaat puskesmas. Informasi hidup sehat tak menembus desa. Ibu dan anak belajar hidup sehat dari televisi. Kita lupa, di belakang kesuksesan anak ada seorang ibu.

Membangun Peran Ibu

Pada level mana pun, buat keluarga, peran ibu amat sentral. Meja makan rumah menentukan hari depan kesehatan anak. Tak sedikit penyakit bisa dihindarkan kalau ibu tahu cara mencegahnya. Bukan hanya perlu makanan tambahan atau menaikkan anggaran kesehatan sebagai solusi menyehatkan anak, tapi rakyat pun perlu diajak pintar untuk hidup sehat juga.

Ibu perlu tahu juga bahwa anak gemuk pun dapat menjadi "bom waktu" yang berpotensi akan dihinggapi banyak penyakit di hari depan. Belum setiap ibu kita berpola hidup sehat. Itu karena secara formal pendidikan kesehatan sekolah tidak membentuknya, selain belum semua ibu melek media. Tak ada yang memberi tahu ibu bagaimana membesarkan anak yang benar. Oleh karena lebih banyak ibu tak biasa membaca, peran radio dan televisi menjadi strategis. Itu pentingnya siaran perlu dirancang elok agar memperkaya wawasan sehat ibu, bukannya pembodohan.

Siapa pun ibu mendapat mandat membesarkan anak karena anak belum mampu memilih sendiri yang terbaik buat dirinya. Sebagai tulang punggung sehatnya keluarga, ibu perlu ditolong memikul mandatnya. Bahwa membesarkan anak tak cukup naluri. Perlu apa dan siapa-siapa yang memberdayakan peran ibu setiap keluarga. Nasib kesehatan anak tidak ditentukan hanya oleh bibit yang anak warisi.

Bagaimana anak dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan, semua itu banyak ditentukan oleh tangan ibu. Untuk itu tak mungkin ibu melakukan peran akbarnya seorang diri. Ibu butuh aneka informasi. Untuk itu alokasi anggaran kesehatan perlu lebih banyak buat menyuluh ibu.

Anak Tak Punya Kesempatan Kedua

Anak batu bata rumah bangsa. Posisi anak buat negara sungguh strategis. Agar terbentuk batu bata yang kokoh, anak tak punya kesempatan kedua. Sekali ibu lancung mencukupi gizi, seumur hidup anak tidak menjadi batu bata yang kokoh. Ibu perlu diberi tahu gelas kecerdasan anak harus diisi sebelum umur dua tahun.

Hak anak untuk mendapatkan nutrisi terbaiknya. Semua ibu perlu tahu sehatnya air susu ibu yang dibutuhkan sampai anak 6 bulan (ASI eksklusif). Asupan menu protein tak boleh kurang, begitu pula imunisasi untuk menyelamatkan hari depan anak, lalu pengasuhan mesti disikapi sebagai kerja mendidik. Hanya karena kepapaan, kealpaan, dan ketidaktahuan ibu, gelas kecerdasan anak bisa gagal penuh terisi. Anak lalu gagal menjadi insan kamil. Itu semua tentu tak hanya mencakup kecukupan gizi.

Perilaku hidup sehat perlu dibentuk di rumah dan di sekolah. Lalai membentuknya tentu besar ongkos negara. Ekonomi kesehatan berupa terbentuknya kebiasaan cuci tangan saja bisa membatalkan lebih dari 10 penyakit. Sebaliknya, dirongrong penyakit gara-gara hidup tak bersih berpotensi membuat anak kerdil dan dungu. Sebagai sumber daya bangsa, anak kalah bersaing dengan bangsa sepantaran.

Tak kecil ongkos berobat dan dampak diare, flu burung, flu babi, dan penyakit terjangkit lewat tangan kotor bila mencuci tangan tidak dibiasakan. Bukan cuma karena alasan mengubah perilaku tak sehat tidak lebih mudah daripada membentuknya. Kini pemerintah mesti menanggung lebih besar belanja obat dan biaya rumah sakit untuk penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Kalau saja perilaku sehat masyarakat terbentuk sejak usia anak dipikirkan negara sejak di hulu.

Membentuk Perilaku Sehat

Pulihnya rakyat dari kemiskinan struktural tak mungkin kita tunggu. Menambah anggaran kesehatan belum tentu mengangkat kesehatan rakyat. Padahal dengan anggaran minim, Bangladesh berhasil mengangkat derajat kesehatan rakyatnya.

Layanan primary health care seperti yang kita pilih yang menjadi solusinya, yaitu bagaimana membangun masyarakat pintar hidup sehat sejak kecil. Tapi, sayang, implementasi konsep sebagus itu di kita tak penuh. Informasi kini menjadi kekuatan baru seperti diramal futurolog John Naisbitt (1982). Untuk membuat masyarakat pintar hidup sehat butuh informasi. Dalam konteks ini setiap ibulah yang menjadi gurunya. Materinya bisa dari mana-mana.

Bisa dari program "child-friendly school" UNICEF, modul "skill for life", "safe motherhood", pedoman jajan yang aman (food safety), memahami bahwa menu bergizi tak perlu mahal dan kegiatan penyuluhan oleh puskesmas. Mematuhi deklarasi PBB agar menjadikan anak nyaman pun perlu diejawantahkan juga (World Fit for Children, 2001). Kebanyakan ibu belum melek koran maupun tabloid. Maka radio dan televisi laik menjadi referensi informasi paling tepat sasaran.

Saatnya kurikulum kesehatan sekolah direvisi bukan hanya kognitif, melainkan membawa visi pembentukan perilaku sehat. Nasib kesehatan anak kita harus berubah. Jeritan membela anak dari bawah sudah lama ada. Advokasi di tingkat kementerian sudah sering dilakukan. Kuncinya barangkali memang perlu kemauan politik orang nomor satu republik ini.

Tetap abai pada kondisi ibu tak berdaya untuk membesarkan anak dengan benar, akan terus lahir anak yang mewarisi kesehatan selemah milik ibunya.Kalau nanti itu yang terjadi, rumah republik ini kelak dibangun dari bata yang rapuh. Lantas, kapan berharap lahir bangsa besar?(*)

Handrawan Nadesul
Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan dan Penulis Buku

sumber : http://www.okezone.com/

18 Juli, 2009

Kandang Teroris

SUKA atau tidak suka, Indonesia adalah kandang teroris. Negeri yang luas, pengamanan yang lembek, dan rakyat yang miskin dengan mentalitas kompromistis adalah syarat bagi suburnya aktivis terorisme. Setelah 'universitas terorisme' di Afghanistan hancur lebur, banyak anggota jaringan--yang sebagian muridnya dari Indonesia--balik kandang. Bahkan teroris dari negara tetangga Malaysia seperti Noordin M Top yang ahli bom juga masuk ke Indonesia karena merasa di sini lebih nyaman.
Indonesia sebagai kandang yang subur bagi terorisme juga terlihat dari rangkaian ledakan bom sejak 2000. Dalam sembilan tahun terakhir tercatat 26 kali ledakan bom yang tersebar di Tanah Air. Yang paling baru adalah dua ledakan yang terjadi kemarin di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton yang menewaskan sembilan orang dan mencederai puluhan lainnya. Ini kali kedua ledakan bom di JW Marriot setelah ledakan pertama 5 Agustus 2003 yang menewaskan 14 orang.
Sekitar dua pekan lalu polisi menangkap anggota jaringan teroris yang diketahui mempersiapkan ledakan bom. Mereka ditangkap di Jawa Tengah. Setahun sebelumnya sebuah jaringan di Palembang dibekuk.
Rangkaian fakta itulah yang lebih jernih dipakai sebagai basis analisis tentang siapa pelaku bom di JW Marriott dan Ritz Carlton kemarin. Sementara, mengenai kemungkinan pelaku lain dengan motif lain, termasuk motif politik yang berkaitan dengan pemilihan presiden, seperti diduga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, biarkan polisi yang mengungkapnya.
Pertanyaan yang kemudian mengganggu adalah mengapa kepolisian sampai saat ini belum juga berhasil membekuk Noordin M Top? Sampai sejauh mana koordinasi intelijen tentara dan intelijen polisi dalam hal ini? Jangan-jangan semuanya diserahkan ke polisi kemudian dengan gampang mengaku kecolongan bila terjadi ledakan di depan mata? Kalau itu menjadi tugas kepolisian seperti Densus 88, pertanyaannya adalah apakah negara telah memberi mereka anggaran yang memadai untuk operasi yang tidak mengenal batas waktu? Jangan-jangan karena dua tahun terakhir tidak terjadi ledakan bom, anggaran pun diciutkan.
Pertanyaan lain, mengapa bahan-bahan peledak berbahaya bisa dengan gampang sampai ke tangan teroris? Teroris mendapat ladang yang nyaman di Indonesia karena mereka diterima komponen tertentu dalam masyarakat. Masyarakat tidak menganggap mereka berbahaya dan karena itu, tidak melaporkannya kepada petugas.
Dan, yang amat memudahkan pergerakan teroris adalah sistem administrasi kependudukan yang amburadul sehingga seorang teroris memiliki nama berlainan di setiap tempat dengan kartu tanda penduduk yang mudah diperoleh. Pencatatan identitas pengguna telepon seluler yang asal-asalan juga mempersulit pelacakan.
Dan masih banyak lagi peluang yang tersedia di negeri ini bagi kenyamanan teroris. Bahwa bom kemarin meledak di JW Marriott dan Ritz Carlton, dua simbol identitas Amerika Serikat, bisa mengarahkan orang bahwa inilah perang global terorisme terhadap Washington. Tetapi bagi Indonesia, bom yang meledak di Tanah Air, tidak peduli lokasi peledakan, adalah guncangan terhadap kredibilitas kita.
Itu adalah pukulan telak dan memalukan. Terorisme pasti datang, tetapi kita tidak bisa memastikan kapan dan di mana. Tetapi, banyak yang meyakini bahwa terorisme selalu dekat dengan konspirasi.
sumber : http://www.mediaindonesia.com

09 Juli, 2009

Pesta Di tengah keterbatasan



Kemarin jutaan rakyat Indonesia memberikan suaranya di TPS seluruh Indonesia. Seperti pemilu legislatif pada 9 April lalu, kita mengapresiasi pemilih Indonesia yang telah menggunakan hak pilihnya secara damai.Mereka yang tidak terdaftar dalam DPT dan kemudian tidak dapat menggunakan hak pilihnya yang ditengarai jumlahnya jutaan, tidak sampai melakukan hal-hal yang merusak. Kita patut berterima kasih, tetapi sekaligus disertai pertanyaan, apakah sikap itu mencerminkan sikap "tidak mau repot" ataukah lebih disebabkan kurangnya pemahaman mengenai "makna hak pilih" dalam sebuah pemilihan umum.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan 60% pemilih Indonesia tamatan SD atau tidak tamat SD. Perlu penelitian lebih lanjut adakah korelasi antara tingkat pendidikan dengan sikap "tidak mau repot" atau rendahnya pengetahuan mengenai "makna hak pilih" itu.***Jelasnya, berbagai persoalan mewarnai persiapan pelaksanaan pilpres. Pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto bertemu di Kantor PP Muhammadiyah difasilitasi Din Syamsuddin menyampaikan keprihatinan mengenai DPT yang sangat buruk. Ada DPT ganda dan DPT fiktif. Komnas HAM menemukan puluhan juta DPT bermasalah, koalisi sejumlah LSM meminta pemilu diundur, dan sejumlah kalangan meminta KPU pusat dan KPU daerah dibekukan karena dianggap tidak mampu secara teknis, hukum, dan administratif memperbaiki DPT.
Diperbolehkannya penggunaan KTP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memang menjadi solusi, tetapi dinilai terlambat dan dipertanyakan efektivitasnya. Pada saat sama, KPU dinilai tidak netral akibat beredarnya spanduk dan alat peraga sosialisasi yang menggiring pemilih memilih pasangan capres tertentu. Alat peraga simulasi di Kuningan, Jawa Barat pun dengan contoh mencontreng capres yang di tengah.
Bahkan beredar pemberitaan, anggota KPU mengirim pesan singkat (SMS) kepada Sekjen Partai Demokrat yang mengeluhkan adanya tekanan kepada Ketua KPU dari capres tertentu. Berbagai persoalan itu tentu saja cukup mencemaskan. Apabila itu tidak dikelola dengan baik akan mempengaruhi legitimasi pilpres.
Kualitas pilpres tidak ditentukan oleh siapa yang menjadi pemenang, tapi oleh sejauh mana proses pilpres itu memenuhi prinsip dasar pemilu yang taat asas dan demokratis, seperti akses semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih, perlindungan kerahasiaan hak pilih, kesetaraan suara, sesedikit mungkin kecurangan pada waktu pemungutan dan penghitungan suara. Dua hal mendasar dari administrasi pemilu telah dilanggar KPU, yaitu hak pilih warga negara dan independensi KPU.
Ini adalah kemunduran penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan tentu saja akan memengaruhi perkembangan demokrasi. Sebab, pemilu adalah pintu gerbangnya demokrasi. Apabila prosesnya berkualitas maka hasilnya pun akan berkualitas. Begitu juga sebaliknya. DPT merupakan bagian mendasar dalam pemilu yang demokratis. Sebab, kehendak rakyat itu dicerminkan dari sejauh mana data pemilih mampu mengakomodasi seluruh penduduk yang sudah memiliki hak pilih.
Di negara-negara yang sudah maju demokrasinya, data pemilih dikelola secara khusus dan berkelanjutan secara elektronik. Itu sebabnya KPU 2004 melaksanakan program P4B (Pendataan Pemilih dan Penduduk secara Berkelanjutan) dalam rangka membangun database kependudukan dan pemilih.
Ide dasarnya adalah Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk yang besar jumlahnya haruslah memiliki data penduduk dan pemilih yang sifatnya berkelanjutan.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu melakukan pendaftaran pemilih dari nol pada setiap pemilu, cukup memutakhirkan database yang sudah ada. Pada waktu itu dilakukan MOU antara KPU, BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depdagri. BPS yang melaksanakan pendataan penduduk dan memprosesnya menjadi sebuah database, Depdagri yang memutakhirkan data penduduk dan KPU yang memutakhirkan data pemilih.
Sayangnya, pasca-Pemilu 2004 ada perkembangan lain dengan ditetapkannya UU N0 32 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa pilkada bukanlah rezim pemilihan umum sehingga KPU pusat tidak mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pilkada. Sejak saat itu KPU pusat tidak mempunyai kewenangan dalam pilkada, termasuk dalam hal pemutakhiran data pemilih dan tugas itu dilaksanakan oleh Depdagri.
P4B dari KPU diubah namanya menjadi DP4 yang kemudian diserahkan kepada KPU daerah sebagai DPS yang selanjutnya untuk ditetapkan sebagai DPT. Rupanya, DP4 itu berasal dari DPT Pemilu Legislatif 2004 sehingga DP4 itu tidak mencerminkan perkembangan atau pergerakan pemilih Indonesia selanjutnya. Sejak saat itulah berbagai persoalan muncul yang menyangkut DPT fiktif maupun DPT ganda.
Demikian pula data penduduk dari Depdagri yang diserahkan kepada KPU satu tahun sebelum pemilu legislatif, seperti diperintahkan UU yakni pada April 2008 tidak mencerminkan potensi penduduk yang sesungguhnya. Mengapa hal itu terjadi? Perlu disampaikan keterangan yang transparan kepada publik upaya apa yang dilakukan pihak Depdagri dalam menyusun data penduduk? Mengapa data yang diserahkan kepada KPU itu sangat buruk?
Pada pihak lain juga perlu penjelasan menyeluruh dari KPU mengenai upaya yang dilakukan dalam memperbaiki DPT pemilu legislatif yang amburadul itu? Mengapa sampai dua hari menjelang pilpres, KPU belum juga memublikasikan DPT? Mengapa baru satu pekan yang lalu KPU memberikan salinan DPT kepada pasangan calon?***
Ke depan perlu dibangun sistem data kependudukan yang bersifat tunggal yang dapat dimutakhirkan dari waktu ke waktu. Tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali bangsa ini ingin selalu jalan di tempat. Perlu dipikirkan berbagai opsi, seperti apakah kewenangan pendataan penduduk itu tetap di Depdagri ataukah dialihkan ke institusi lain seperti BPS? Apakah momentum sensus penduduk oleh BPS tahun 2010 akan dimanfaatkan untuk sekaligus pendataan penduduk?
Sistem rekrutmen anggota KPU sebagai penyelenggara pemilu pun harus direformasi sehingga dapat dihasilkan KPU yang profesional, mandiri, dan berwibawa. Dengan cara demikian bangsa ini tidak akan terbuang energinya setiap kali pemilihan umum, hanya karena KPU yang tidak profesional. Dalam beberapa hari ke depan, perlu dicermati mengenai potensi kecurangan dalam proses penghitungan suara. Pilpres kali ini hanya akan menggunakan penghitungan suara secara manual.
KPU tidak lagi menggunakan penghitungan elektronik karena penghitungan elektronik di pemilu legislatif lalu gagal. Tidak ada data bandingan selain data quick count yang dihasilkan oleh berbagai lembaga survei. Potensi kecurangannya tinggi apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat dalam alur penghitungan suara mulai dari TPSPPK-KPU kabupaten/kota-KPU provinsi-KPU pusat. Bukan tidak mungkin penghitungan manual akan menyesuaikan dengan hasil quick count. Apa saja bisa terjadi bila tidak ada pengawasan.
Tentu kita tidak ingin presiden baru yang terpilih nanti adalah hasil penghitungan sebuah quick count. Kalau demikian halnya, namanya bisa berubah menjadi "pemilu dengan quick count". Menjadi tantangan bagi KPU ke depan untuk membangun kembali penghitungan suara secara elektronik. KPU Pada Pemilu 2004 sudah terbukti mampu melakukan penghitungan suara secara elektronik dari tingkat kecamatan yang datanya dikirim langsung ke Data Center di KPU pusat.
Dengan berbagai kelemahan pada pilpres kemarin, kita tetap berharap, siapa pun nantinya yang terpilih sebagai pemenang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Tentu kita tidak ingin menjadi seperti Thailand yang mengalami instabilitas berkepanjangan akibat pemilu yang dianggap curang.
(*)Valina Singka Subekti
Mantan Anggota KPU 2004, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
sumber : http://www.okezone.com

03 Juli, 2009

Mempreteli Senjata KPK


Sungguh mencemaskan melihat masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pukulan bertubi-tubi dihadapi lembaga ini sejak ketuanya menjadi tersangka kasus pembunuhan. Kasus yang tak ada kaitannya dengan KPK sebagai lembaga ini seolah menjadi pintu masuk berbagai pihak untuk menyerang. Dan di antara rangkaian pukulan itu, yang paling berbahaya adalah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sudah masuk ke DPR.

Rancangan bikinan pemerintah itu berbahaya karena ternyata isinya justru melemahkan kekuatan KPK. Banyak wewenang yang sebelumnya dimiliki, sekarang tak lagi tercantum. Misalnya, tak ada wewenang menuntut dan menahan tersangka.

Termasuk yang tidak lagi disinggung dalam rancangan itu adalah wewenang menyadap. Padahal inilah salah satu senjata ampuh KPK. Lewat wewenang ini, Komisi bisa menjerat para koruptor karena tersedianya bukti kuat. Pembuktian seperti inilah yang sebelumnya sulit dilakukan. Hasilnya, begitu banyak koruptor lolos dari jerat pengadilan.

Dua hal itu hanya sebagian dari banyaknya kewenangan Komisi yang tak lagi diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Maka, bila pemerintah selaku pembuat rancangan menyatakan tak ada niat untuk menggembosi peran KPK, penegasan itu sulit diterima. Banyaknya wewenang yang dipangkas jelas menunjukkan bahwa ada upaya terencana untuk memandulkan lembaga ini.

Upaya itu sesungguhnya sudah melenceng dari semangat Mahkamah Konstitusi saat mereka mengoreksi Undang-Undang No. 30/2002 tentang KPK. Permintaan untuk membatalkan wewenang istimewa komisi antikorupsi telah ditolak oleh MK. Mahkamah hanya mengoreksi pasal 53 mengenai pengadilan korupsi dalam undang-undang itu. Pengadilan khusus ini harus disesuaikan dengan konstitusi karena sudah ada peradilan umum.

Perintah Mahkamah pun jelas: pemerintah harus membuat undang-undang baru yang bisa menjadi payung hukum bagi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan alasan inilah pemerintah kemudian menyiapkan dua rancangan sekaligus, yakni RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya, peluang ini justru dimanfaatkan untuk mengutak-atik wewenang KPK.

Boleh saja pejabat pemerintah berargumentasi bahwa rancangan itu tidak melemahkan KPK, karena wewenang lembaga ini tetap diatur dalam Undang-Undang No. 30/2002. Persoalannya, jika rancangan itu tidak selaras bahkan bertentangan dengan undang-undang lama, pada akhirnya aturan barulah yang berlaku atau paling tidak akan menimbulkan konflik hukum.

Itu sebabnya, pemerintah dan DPR harus membenahi lagi RUU Pemberantasan Korupsi. Jika pasal-pasal berbahaya itu lolos, kita tidak hanya kehilangan kekuatan KPK, tapi juga melangkah mundur dalam memerangi korupsi. Momentum ketakutan para koruptor terhadap hukum akan lenyap, dan korupsi kembali merajalela. Itulah kerugian terbesar yang harus dicegah.

01 Juli, 2009

Hoegeng Pahlawan Antikorupsi


Mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara bercanda pernah mengatakan bahwa di negeri ini ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yakni pertama "polisi tidur" dan kedua Hoegeng.

Bukan untuk kalangan polisi saja, tetapi masyarakat umum pun dapat belajar dari kisah kehidupan Jenderal Hoegeng. Sesungguhnya budaya korupsi itu dapat ditangkal dengan nilai kejujuran, kerja keras, dan kesederhanaan seperti yang tecermin dalam tingkah laku Hoegeng. Hoegeng lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921.Nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso. Waktu kecil dia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan menjadi bugeng, dan akhirnya berubah jadi hugeng. Setelah dewasa bahkan sampai tua, dia tetap kurus. Ayahnya Sukario Hatmodjo pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah (kepala polisi) dan Soeprapto (ketua pengadilan), mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur dan profesional.

Ketiga orang inilah yang memberikan andil bagi penumbuhan sikap menghormati hukum bagi Hoegeng kecil. Bahkan karena kekaguman kepada Pak Ating-- yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman--, Hoegeng pun bercita-cita menjadi polisi. Setelah lulus PTIK tahun 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur.

Penugasannya yang kedua sebagai kepala reskrim di Sumut menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Dia menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum dapat rumah dinas.

Masih ngotot, rumah dinas itu kemudian juga dipenuhi perabot oleh tukang suap itu. Kesal, dia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi dan karena tidak dipenuhi akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan.

Maka gemparlah Kota Medan karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok. Setelah sukses bertugas di Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta. Untuk sementara dia dan istri menginap di garasi rumah mertuanya di Menteng. Kemudian dia ditugasi sebagai Kepala Jawatan Imigrasi.Sehari sebelum diangkat, dia menutup usaha kembang yang dijalankan istrinya di Jalan Cikini karena khawatir orang-orang yang berurusan dengan imigrasi sengaja memborong bunga untuk mendapatkan fasilitas tertentu. Selepas dari sini, atas usul dari Sultan Hamengku Buwono IX, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam Kabinet "Seratus Menteri" Juni 1965. Tahun 1966 dia kembali ke kepolisian sebagai deputi operasi dan tahun 1968 menjadi panglima angkatan kepolisian.

Dalam jabatan ini terjadi beberapa kasus yang menarik perhatian publik seperti Sum Kuning, penyelundupan Robby Tjahyadi, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad. Keuletan menuntaskan kasus besar itu mengakibatkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto walaupun masa jabatannya sebetulnya belum berakhir.

Sebelumnya Hoegeng juga merintis pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa instruksi itu memang bermanfaat. Hoegeng ditawari jabatan duta besar di sebuah negara Eropa, tetapi dia menolak. Alumnus PTIK tahun 1952 ini lebih senang jadi orang bebas, dia tampil dengan grup musik Hawaiian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu.

Namun musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai dengan "kepribadian nasional" oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo sehingga dia tidak boleh tampil lagi. Kemudian Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya yang kritis dalam Petisi 50. Dia tetap sederhana. Ketika rapat kelompok ini di rumah Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng naik bajaj.

***Apa yang mendorong Hogeng menjadi tokoh yang bersih dan antikorupsi? Barangkali pendiriannya yang ditanamkan oleh ayahnya bahwa "yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan; jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan".

Ayahnya seorang birokrat yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi. Melihat kondisi sekarang, relevan untuk merenungkan pendapat Hoegeng: "Pemerintahan yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala.

"Terhadap para pemimpin yang kini saling berebut kekuasaan, tepat ujaran Hoegeng, "It's nice to be important, but it's more important to be nice." Ucapan yang sama sering pula dilontarkan kemudian oleh penyiar Ebet Kadarusman. Hoegeng sendiri punya pengalaman unik dengan Presiden Soekarno.Suatu kali dia bersama lulusan PTIK tahun 1952 dipanggil ke Istana. Ketika ditanya namanya, Soekarno berkomentar, "Apa tidak salah itu, kan seharusnya Sugeng. Mbok diganti Soekarno." Kontan saat itu Hoegeng menjawab, "Nggak bisa Pak, karena Hoegeng itu dari orangtua saya, kebetulan nama pembantu di rumah saya juga Soekarno.

"Kurang ajar kamu," kata Presiden Soekarno sambil tertawa lepas. Sikap terbuka dan tidak takut kepada atasan bila benar itulah yang dipegang oleh Hogeng selama bertugas. Namun itulah yang mengakibatkan dia dicopot dari jabatan kepala kepolisian tahun 1971 oleh Presiden Soeharto. Kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene Conrad tidak sepenuhnya memuaskan hatinya.

Kasus Sum Kuning di Yogya yang melibatkan putra seorang pejabat/bangsawan Yogya serta seorang putra pahlawan revolusi diputuskan secara berliku-liku. Demikian pula dengan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi.

Hoegeng ingin bertindak profesional, tetapi hal ini tampaknya tidak menyenangkan hati atasannya. Memang kalau kita ingin hukum tegak di negeri ini, contoh itu harus dimulai dari presiden. Hoegeng seorang pekerja keras. Dia adalah profesional sejati.Dari orangtuanya dia mewarisi nilai-nilai kebajikan yang tidak mengagungkan harta atau kepemilikan. Kejujuran dan kepedulian sosial itulah yang lebih utama. Namun Hoegeng bukan hanya seorang yang bersih untuk dirinya sendiri.

Dia juga membersihkan lingkungannya. Istrinya tidak diberi kesempatan untuk melakukan KKN. Anak-anaknya dilarang memanfaatkan fasilitas jabatan sang ayah. Di tempat bertugas, dia membersihkan anak buahnya. Yang tidak jujur dikeluarkan atau dikontrol sedemikian rupa sehingga tidak tahan untuk keluar.

Di antara rekan-rekan seprofesi dalam bidang penegakan hukum Hoegeng mengupayakan forum untuk mengatasi berbagai kejahatan, termasuk korupsi. Di Medan dia berhasil memberantas korupsi dan penyelundupan berkat kerja sama dengan instansi lain, termasuk militer. Lima tahun silam, 14 Juli 2004 dini hari, Hoegeng Iman Santoso telah pergi. Makin habis orang-orang jujur di negeri ini.

(*)Asvi Warman AdamSejarawan LIPI
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action