wirausaha online

19 November, 2009

Jangan Jadikan Politik sebagai Panglima


BAGI Presiden, menanggapi tuntutan masyarakat luas terhadap rekomendasi Tim Delapan sangat mudah.

Kalau hanya untuk mengembalikan popularitas, menjaga, bahkan menambah popularitas, semua rekomendasi itu ditindaklanjuti. Hanya saja, yang jadi masalah, apakah itu solusi? Sebab, persoalannya bukan populer atau tidak populer, tapi ini negara demokrasi modern di mana tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui pengadilan. Kalau menyangkut konflik institusi publik, tidak ada lembaga yang tepat yang bisa menyelesaikannya selain pengadilan.

Untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar, siapa yang terbukti dan tidak terbukti salah, sebaiknya forum pengadilan. Saya melihat semua hasil kesimpulan, rekomendasi Tim Delapan itu, bagus sekali. Harapan kita seandainya itulah putusan dari pengadilan, itu yang paling tepat. Namun, kalau diputuskan di luar forum pengadilan, itu menimbulkan masalah. Misalkan itu dikatakan suara publik, bedabeda tipis dengan politik. Kepentingan politik dari penguasa, kepentingan politik dari masyarakat, kepentingan politik dari dunia usaha berbeda.

Civil society dan market masing-masing punya kepentingannya. Kalau di antara itu ada konflik, terjadi perselisihan, pengadilan yang menyelesaikannya. Tidak bisa kita membiarkan pengambilan keputusan sepihak. Misalnya berpihak kepada negara saja, berpihak kepada masyarakat saja, atau secara apriori berpihak kepada market saja, itu tidak tepat. Harus ada mekanisme di mana kepentingan diatur dengan benar. Demikian itu cara yang paling beradab.

Sebaiknya tidak terlalu melihat rendah kepada pengadilan atau tidak percaya kepada hakim. Tidak ada negara modern kecuali memercayakan semua kepada pengadilan. Saya punya keyakinan bahwa tidak mungkin ada hakim yang berani mengatakan bahwa yang benar itu kesalahan dan yang salah itu kebenaran. Percaya kepada hakim, itu cara yang paling beradab. Kembali ke persoalan rekomendasi, jika Presiden ingin populer mudah sekali, sesuaikan saja semua kepada suara di media.

Selesai persoalan. Namun, hal itu tidak menyelesaikan seluruh masalahnya. Karena itu, menurut saya, biarkan saja kesimpulan dari Tim Delapan itu diputuskan di pengadilan. Jadi penilaian alat bukti bahwa itu tidak benar, bahwa itu tidak terbukti, bahwa itu ada rekayasa, itu semua biar menjadi putusan pengadilan dan putusan pengadilan itu mengikat secara hukum. Adapun putusan Tim Delapan itu hanya mengikat secara moral. Dalam kasus ini, saya melihat ada lima hal yang harus diurai untuk menyelesaikannya. Pertama, konflik kewenangan antarlembaga (KPK-Polri).

Menurut saya, itu kewenangan Mahkamah Konstitusi. Kedua, tuduhan kepada Bibit dan Chandra, apa betul menyadap secara tidak sah, apa betul ada penyalahgunaan wewenang? Kalau dilihat sebagai persoalan institusi, ini adalah sengketa kewenangan dan untuk menyelesaikannya, tempatnya di Mahkamah Konstitusi. Berikutnya, apa betul menerima suap, ini adalah perkara yang harus diselesaikan di pengadilan. Untuk membuktikan bahwa apakah ada rekayasa, itu harus menjadi kesimpulan pengadilan, bukan di forum penasihat. Pengadilan yang harus memutus.

Ketiga, ada perkara tindak pidana korupsi oleh Anggoro Widjaja yang sudah ditangani KPK, itu harus diteruskan proses hukumnya. Itu mekanisme sendiri, jadi jangan berhenti proses hukumnya. Keempat, menyangkut Anggodo Widjaja, dia memang disebut dalam rekaman pembicaraan bahwa dia itu main uang. Dia menyebutkan memberikan uang melalui Ari Muladi. Terlepas dari apakah itu diterima atau tidak uangnya, yang jelas dia sudah terbukti dan mengaku sendiri melakukan tindak pidana menyuap. Itu harus diproses, polisi yang harus memproses.

Yang menjadi persoalan, polisi tidak melakukan itu sehingga menimbulkan ketidakpercayaan. Saya melihat bahwa polisi tidak memandang itu sebagai perkara, polisi hanya bela diri dari serangan masyarakat yang ingin membebaskan Bibit dan Chandra melalui mekanisme di luar pengadilan. Kelima, menyangkut perilaku pejabat-pejabat hukum yang bermasalah. Terlepas dari pembuktian apakah terbukti atau tidak, ini ada masalah pejabat di polisi dan kejaksaan bahwa mereka sering berhubungan dengan orang-orang seperti Anggodo. Ini persoalan sendiri.

Jadi kalau itu bukan pelanggaran hukum, setidaknya pelanggaran kode etik yang harus ditindak oleh pimpinan. Ada lima jenis perkara yang penanganannya harus dilakukan sendiri oleh lembaga yang berwenang. Selama ini, banyak yang hanya terjebak pada ingin membuktikan apakah benar Bibit dan Chandra itu terima suap. Sementara ada orang yang sudah mengaku melakukan pidana, tapi tidak ditangkap. Mereka malah berkeliaran masuk televisi. Bukankah dia mengaku, seharusnya dia ditangkap. Bahwa itu suapnya sampai atau tidak, itu perkara lain.

Dengan begitu, masyarakat tahu bahwa penegakan hukum itu jalan. Jadi jangan larut pada persoalan Bibit dan Chandra. Kita harapkan Presiden melihat kepentingan yang lebih luas. Jangan hanya satu kepentingan. Rekomendasi Tim Delapan itu pasti akan ditindaklanjuti. Hanya saja menindaklanjutinya ini berapa persen, apa 50 atau 80%, kita belum tahu. Yang jelas, Presiden pasti akan merespons positif rekomendasi itu. Jika menjalankan semua rekomendasi, berarti ada mekanisme yang dilanggar. Di sini politik menjadi panglima, bukan hukum yang menjadi panglima. Harus diurai satu per satu masalahnya.

Polisi harus terus bekerja, jaksa harus terus bekerja, KPK juga harus terus bekerja. Di luar itu, saya memuji rekomendasi Tim Delapan mengenai pentingnya pemanfaatan peristiwa ini untuk menata kembali sistem penegakan hukum.(*)

JIMLY ASSHIDDIQIE
Guru Besar Hukum Tata Negara UI
sumber : www.okezone.com

11 November, 2009

Dari Tragedi ke Reformasi Kebudayaan


Barangkali Anggoro dan Anggodo, dua kakak beradik keluarga Widjaja, adalah pengusaha cukup kaya. Akan tetapi tentu tidaklah sekaliber miliarder seperti keluarga Soeryajaya, keluarga Riyadi, keluarga Halim, keluarga Sampoerna, keluarga Salim, keluarga Bakrie, dan sederet nama pengusaha top lainnya.

Mungkin keduanya pun tidak termasuk 20, bahkan 50, pembayar pajak terbesar di negeri ini. Namun, kini kita tahu, bahkan pengusaha "kelas" dua seperti mereka pun memiliki kemampuan untuk memengaruhi jalannya proses kenegaraan, dari segi yuridis, di tingkatan puncak. Pihak institusi atau petinggi yang mereka pengaruhi atau sertakan dalam drama "KPK" sungguh tidak sembarangan, levelnya tidak berhenti pada tingkat nasional, tetapi juga regional atau internasional.

Apakah tidak mungkin ada oknum dari "kelas" satu atau top yang juga bekerja dengan pola dan modus serupa, untuk perkara yang jauh lebih "tinggi" lagi? Apa yang bisa membantah kemungkinan ini? Tidak ada. Bukankah ini menjadi sebuah kabar yang sangat buruk, bahkan terburuk dalam sejarah negeri ini, bagaimana ternyata proses-proses formal kenegaraan dapat begitu saja dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan sempit dan menyesatkan dari segolongan, bahkan satu-dua orang saja?

Tidakkah ini menjadi bukti atau semacam katup dari kotak pandora sistem kenegaraan kita yang chaos karena mekanisme dan proses yang ada di dalamnya ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharuskan, sebagaimana yang kita pikirkan selama ini? Maka, lumrah bila kita dengan keras bertanya: negara atau bangunan kebangsaan apa yang kita bangun selama ini?

Bila ternyata hal-hal yang prinsipil dan esensial, termasuk di dalamnya berbagai keputusan strategis di bidang politis, ekonomis, dan yuridis bisa jadi hanya menjadi permainan dari broker, markus, pengusaha degil, atau preman-preman politik dan hukum, di mana kemudian sejarah hebat bangsa ini ditempatkan?

Di mana ide-ide besar founding fathers diposisikan? Di mana kesengsaraan dan perjuangan rakyat kecil diperhitungkan? Di mana sesungguhnya akal dan nurani kita bicara? Tampaknya, riwayat republik dan bangsa ini, di momen ia sedang mencoba mengenang dan merevivalisasi semangat kepahlawanannya, harus bertemu dengan sebuah momen di mana semua cita-cita dan idealisasinya kini telah menjadi basi. Kesemuanya menjadi kardus-kardus artifisial yang menghiasi kemeriahan selebrasi kemajuan (kemodernan) politik, ekonomi atau hidup sosial kita.

Bangunan meriah dan megah itu ternyata rapuh fundamennya. Kita semua tak menyadarinya karena tersihir oleh dunia-semu, simulakra yang di-diseminasi dengan rajin oleh media massa, entertainment, dan komentar para pakar yang buta. Indonesia hari ini adalah sebuah tragedi. Bukan hanya koruptor bebas berkeliaran, bahkan dipuja; pembunuh pun kini dapat menjadi pahlawan; manipulator jadi ulama; penipu jadi cendekiawan; tukang hasut jadi politikus elite; dan seterusnya.

Namun itu lebih karena kita bersama sudah alpa dan lupa pada niat dasar kita kenapa dahulu kita harus merdeka, mengapa kita harus membentuk diri menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara; kita lupa untuk apa ada yang bernama "Indonesia"?

Absennya Landasan Kultural

Marilah kita lihat bagaimana kasus segi tiga "KPK-Polri-Kejaksaan Agung" yang telah menjadi skandal hukum terbesar selama republik ini berlangsung. Hingga hari ini, kita masih melihat aktor-aktor utama yang dianggap melukai "rasa keadilan publik" tetap bebas berseliweran dengan aksi dan retorikanya.

Para penanggung jawab utama tetap bertengger di puncak kuasanya, tanpa rasa sungkan dan malu pada norma, nilai, dan tradisi kehormatan. Tiada integritas kepribadian dan kebesaran jiwa untuk memikul tanggung jawab. Melulu kekuasaan yang dibela, betapapun kekuasaan yang dia bela itu telah cacat dan ternoda di bawah penguasaannya.

Selaiknya, bukan hanya pada tingkat Kabareskrim Polri atau Wakil Jaksa Agung yang antara lain jadi tersangka oleh publik harus diberhentikan. Bahkan di tingkat Jaksa Agung, Kapolri hingga--boleh jadi-Menko Polhukam semestinya mengundurkan diri untuk menunjukkan kehormatan dan integritas kepribadiannya yang tinggi, yang membuat mereka pantas menduduki posisi-posisi penting itu.

Hal ini menunjukkan, kekuasaan-- dari pemerintahan yang ada sekarang-gagal dalam meneguhkan moralitas di dalam dirinya. Gagal dalam membentuk sebuah kultur yang membuat kekuasaan itu sendiri memiliki wibawa, rasa bangga, dipercaya, dan merepresentasi kesejarahannya yang gemilang.

Kekuasaan saat ini berdiri ternyata hanya untuk melayani dirinya sendiri, melupakan esensi dari eksistensinya sendiri, yakni: kehadiran publik. Untuk itu, sebuah kesadaran atau tindakan yang sifatnya fakultatif akan sangat tidak memadai bagi sebuah penyelesaian yang substansial dan fundamental.

Terlebih pola-pola kebijakan yang sangat pragmatis, dalam arti hanya menjadi reaksi atau antisipasi dari situasi kontemporer, sungguh hanya akan sampai pada jalan buntu atau penggandaan masalah yang sama tiada habisnya. Ternyata tampaknya kita harus menerima hal tersebut, katakanlah, saat kita mendapatkan program 100 hari kabinet baru.

Bukan hanya karena jumlah program ditambah sekadar untuk mereaksi perkembangan masalah mutakhir, tetapi juga karena absennya landasan filosofis dan kultural, semacam sebuah cetak-biru atau strategi kebudayaan yang menyeluruh, yang akan memberi kaki-kaki yang kukuh bagi bangunan masa depan yang akan dibangun.

Pemerintahan saat ini menjadi begitu pragmatis dan oportunistis, bukan saja dalam penyusunan isi kabinet maupun program-programnya, tetapi juga hingga pemilihan orang-orang dekat kepresidenan beserta dimensi urusannya. Tak ada dalam daftar dari semua nama dan dimensi itu, mereka yang berkeahlian dalam soal tradisi, kesejarahan, kesenian, atau kebudayaan pada umumnya.

Keahlian yang sesungguhnya dapat memberi semua nama dan dimensi itu alasan-alasan penting dan mendasar: mengapa, hendak ke mana,dan bagaimana sebenarnya sebuah program harus dibuat dan dilaksanakan. Bagaimana sebuah pemerintahan tidak menjadi sebuah urusan yang parsial, tetapi menjadi sebuah universum yang merangkum semua kepentingan umum.

Reformasi Kebudayaan

Bukan untuk persoalan personal jika saya harus sekali lagi dan akan terus mengatakan: Presiden dan pemerintah negeri ini semestinya siuman dari cara berpikir dan bersikap mereka yang meminggirkan dimensi kultural dalam pembangunan bangsa dan negeri ini. Apa yang terjadi belakangan ini, pembongkaran memalukan dalam skandal hukum seputar KPK, menunjukkan betapa budaya hukum kita bukan hanya tidak jalan, tidak berbentuk, rusak, tetapi sesungguhnya: tidak ada.

Sementara kesadaran paling sederhana dari intelektualitas paling standar seharusnya mafhum bahwa sebuah kerja dan organisasi yang berskala besar dan berkesinambungan membutuhkan tradisi atau kultur. Di mana baik sistem maupun para aktornya dapat dijaga dan dijamin kemaslahatan perilaku serta hasil pekerjaannya.

Absennya dimensi ini akan tetap membawa kita pada siklus masalah dan duplikasi kesulitan yang bertambah berat hingga akhirnya menjadi involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Namun, sekali lagi, demikianlah riwayat mutakhir kita. Kata kebudayaan pun tetap disubordinasikan dalam urusan-urusan material.

Berbagai peristiwa hebat yang menghantam bangsa ini, dalam dekade mutakhir, tak juga menerbitkan kesadaran bahwa perubahan tidak cukup, bahkan tidak bisa lagi, hanya dilakukan dalam dimensi-dimensi formal-material, tapi kultural. Diterima atau tak diterima, sadar maupun tidak, peduli atau ditertawakan, perubahan atau reformasi kebudayaan itu semestinya, bahkan niscaya, akan terjadi.

Bukan mereka para pengambil keputusan yang menjadi penentu, tetapi orang banyak, juga waktu. Semoga, ini yang kita harapkan bersama, korban tidak harus jatuh karenanya. Apalagi dari kalangan mereka yang semula tak memercayainya. Semoga.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

sumber : www.okezone.com

05 November, 2009

Ihwal Independensi TPF KPK-POLRI


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya merespons dinamika dan protes masyarakat terkait kasus yang menimpa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dengan membentuk tim independen.

Seperti diketahui, tim ini diketuai oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution dan wakil ketua mantan anggota Komnas HAM Irjen (Purn) Koesparmono Irsan, sekretaris tim Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, dan beranggotakan lima orang. Dalam keterangannya, ketua tim Adnan Buyung Nasution mengungkapkan bahwa tim akan memverifikasi semua fakta hukum yang terjadi mulai dari awal kasus hingga penahanan Bibit-Chandra.

Tim diberi kebebasan dan independensi untuk mencari fakta dan klarifikasi. Untuk itu, kata Buyung, tim akan memeriksa semua dokumen pemeriksaan Bibit-Chandra baik yang ada di kepolisian maupun Kejaksaan Agung, termasuk rekaman percakapan yang dimiliki KPK.

Soal Independensi

Pembentukan tim pencari fakta (TPF) ini harus dipahami sebagai hasil dari tekanan publik. Namun, independensi tim tetap harus dikritisi. Anggota tim, sebagaimana diketahui, dikendalikan oleh orang-orang dalam lingkaran SBY, bahkan orang dekat SBY.

Karena itu, wajar jika banyak kalangan tetap meragukan independensi tim ini. Sebagaimana latar belakang pembentukannya, TPF merupakan jawaban atas kekecewaan publik kepada aparat penegak hukum yang bukan hanya gagal menjalankan tugas dan fungsinya menangani perkara-perkara yang menjadi latar belakang kekisruhan KPK-Polri, tetapi juga "main serang" dan saling menjatuhkan. Karena itu, TPF tidak boleh gagal dan memupuk kekecewaan publik. Ujian pertama terhadap independensi TPF adalah mendesakkan penangguhan penahanan kedua pimpinan KPK sebelum mereka bekerja.

Tanpa desakan dan upaya penangguhan penahanan, secara implisit TPF berarti turut menyetujui langkah Polri melakukan penahanan. Jika TPF dibentuk berangkat dari asumsi dan fakta bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, titik pijak kerja mereka harus jelas dan tegas. Kejelasan dan ketegasan itu ditunjukkan dengan mengembalikan dua pimpinan KPK keluar dari jeruji tahanan terlebih dahulu. Pembentukan TPF bukanlah kepanjangan tangan kekuasaan yang bertugas mencuci piring dan memoles citra penguasa yang sebelumnya telah melakukan pembajakan independensi KPK dengan mengeluarkan Perppu Plt KPK.

Demikian juga TPF dimaksudkan bukan semata-mata untuk "mendamaikan" dua institusi negara, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka memastikan penegakan hukum. Dengan dibentuknya TPF tidak berarti Presiden SBY melepas tanggung jawab begitu saja. Presiden harus mengambil langkah-langkah signifikan dalam mereformasi institusi kepolisian dan kejaksaan, termasuk kemungkinan mengganti dua pemimpin institusi penegak hukum ini.

Mandat TPF

Hingga saat ini, belum jelas apa mandat TPF kasus KPK-Polri kecuali mengumpulkan dan mengklarifikasi dokumen-dokumen yang terkait dengan penahanan Bibit-Chandra. Tanpa mandat yang jelas dan dengan bekal independensi yang minimum, dikhawatirkan TPF hanya akan menjadi peredam gejolak protes masyarakat. Dalam pandangan penulis, tugas tim setidaknya meliputi, pertama, melakukan pengumpulan faktafakta dan penyelidikan terhadap perkara-perkara yang menjadi latar belakang kisruh KPK-Polri.

Kedua, melakukan pengkajian terhadap langkah-langkah hukum yang dilakukan Polri dan menyusun rekomendasi penanganan lanjutan. Ketiga, menyusun rekomendasi untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Polri, Kejaksaan Agung, dan pihak-pihak lain dalam kasus-kasus yang diseterukan. Tim juga harus dibekali beberapa kewenangan. Pertama, mengakses seluruh dokumen yang berhubungan dengan tugasnya di semua institusi. Kedua, melakukan pemanggilan, pemeriksaan setiap orang yang dianggap relevan dengan tugas tim. Ketiga, kewenangan penyelidikan.

Selain soal tugas dan kewenangan, tim juga berkewajiban melaporkan tugasnya kepada Presiden dan publik. Dengan tugas dan kewenangan sebagaimana dipaparkan, TPF tidak hanya berhenti bekerja sampai pada titik di mana kisruh KPK-Polri ini selesai. Lebih dari itu, mereka harus mampu mengantarkan orang-orang yang terlibat dalam skandal politik kriminalisasi KPK ini untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum. Pembelajaran dari tim-tim ad hoc yang dibentuk Presiden, umumnya tim-tim itu hanya mampu menghasilkan rekomendasi yang kemudian menjadi arsip kepresidenan dan memori publik.

Kalaupun tim berhasil menyusun rekomendasi brilian, tindak lanjut dari temuan tim juga akan mendapati ganjalan pada proses penyidikan dan penuntutan sehingga gagal melimpahkan kebenaran dan keadilan tentang sebuah kasus. Kinerja TPF Munir, misalnya, dengan kewenangan yang minimum telah mampu menghasilkan rekomendasi konstruktif yang mampu membuka tabir misteri pembunuhan Munir hingga dugaan aktor intelektualnya. Namun, aparat penyidik dan jaksa penuntut umum gagal mentransformasikan temuan-temuan tim menjadi dokumen hukum pro justisia akibat berbagi soal.

Dalam kasus Munir, harus diakui kinerja aparat penegak hukum yang bertugas menindaklanjuti temuan-temuan TPF tidak sepenuhnya berhasil meski telah berupaya keras. Capaian proses hukum atas pembunuhan Munir, meski belum memuaskan dan memberikan keadilan paripurna, justru sebagian besar disebabkan desakan publik dan pengawalan saksama oleh elemen-elemen masyarakat sipil atas kasus ini. Pembelajaran yang demikian harus dijadikan contoh oleh TPF kasus KPK-Polri, khususnya dalam hal bagaimana memastikan rekomendasi-rekomendasi tim dapat diakses oleh publik dan mampu membangun barisan baru pengawal tindak lanjut rekomendasi tim kelak.

Keberpihakan tim pada kebenaran dan kesungguhannya memastikan rekomendasi itu dijalankan adalah bukti independensi TPF kasus KPK-Polri. Di atas segalanya, komitmen Presiden adalah kunci utama.(*)

Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta

sumber : http://www.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action