wirausaha online

29 Mei, 2009

Agenda Bangsa bukan hanya Isu Ekonomi

RUANG politik kita akhir-akhir ini hanya disesaki oleh agenda tunggal, yakni isu ekonomi. Tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berikut tim sukses mereka hanya riuh meniup terompet, bukan memainkan orkestra.
Seolah-olah persoalan lainnya sudah selesai dan tidak ada lagi isu yang tingkat kegawatannya segenting agenda ekonomi. Juga sepertinya persoalan ekonomi tidak ada kaitannya sama sekali dengan agenda lainnya seperti sosial, budaya, lingkungan, keamanan.
Lebih parah lagi, genderang yang ditabuh bukanlah substansi ekonomi, melainkan debat wacana soal neoliberalisme dan kerakyatan yang mengawang-awang.
Padahal, isu pertahanan, diplomasi, kependudukan, juga kebudayaan tak kalah gawatnya untuk diperhatikan. Di tengah debat sengit tak berujung soal neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan, misalnya, diam-diam sudah sembilan kali kapal perang Malaysia melanggar perbatasan di Ambalat tanpa mampu dihalau.
Contoh lain, soal kependudukan yang sejak reformasi hanya sayup-sayup terdengar, kini semakin tak terdengar. Padahal, tiga tahun lalu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional sudah memberikan alarm bahwa laju pertambahan penduduk di Indonesia sangat cepat dan membahayakan.
Apabila tidak ada intervensi dengan meningkatkan program keluarga berencana, ledakan penduduk niscaya tidak bisa dikendalikan lagi. BKKBN menghitung, bila setiap tahun ada setengah persen saja pasangan usia subur yang tidak menjalankan program pengendalian jumlah anak, diperkirakan pada 2015 jumlah warga negeri ini akan mencapai 300 juta jiwa.
Rata-rata laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,6 juta jiwa per tahun. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran tersebut diperparah pola penyebaran penduduk yang tidak merata.
Situasi tersebut secara paralel akan membuat semakin sulit meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemiskinan pun akan kian sulit diberantas. Karena itu, mata rantai sebab akibat itu harus diputus dengan tidak memisahkan agenda kependudukan dengan agenda ekonomi.
Di bidang sosial budaya, hari-hari belakangan bangsa ini juga sedang dihadapkan pada persoalan serius menyangkut masa depan pluralisme bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, aksi-aksi anarkistis yang mencederai kebinekaan bangsa dipertontonkan secara kasatmata.
Kaum minoritas dibuat ketakutan tanpa perlindungan yang memadai dari negara. Seolah-olah telah terjadi pembiaran oleh negara atas tindakan antipluralisme tersebut.
Agenda-agenda tersebut tidak boleh dipandang remeh, untuk kemudian disingkirkan dengan alasan krisis ekonomi. Para capres dan cawapres beserta tim sukses harus berani mengagendakan hal-hal tersebut untuk diuji oleh rakyat.
Rakyat harus mendapatkan gambaran yang utuh mau ke manakah bangsa ini hendak dibawa oleh semua pasangan capres-cawapres itu. Rakyat harus pula punya kesempatan untuk menguji apakah calon pemimpin mereka mampu mengurai problem bangsa yang sangat kompleks itu dan mampu menyelesaikannya.
Jadi, buanglah jauh-jauh debat kusir yang hanya mau menang sendiri.
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/

25 Mei, 2009

Takdir dan Kebebasan Manusia

DALAM pembicaraan sehari-hari kata "takdir" cenderung dipahami sebagai kepastian yang mesti disikapi dengan kepasrahan, tidak perlu dinalar secara kritis.

Namun kalau kita membaca Alquran, banyak ditemukan kata takdir yang kalau dicermati maknanya menunjuk pada hukum alam yang mengandung hukum kausalitas, sebab-akibat. Takdir adalah ketentuan, ukuran, dan kepastian yang telah ditetapkan Tuhan yang berlaku pada isi semesta ini. Contoh yang paling mudah adalah bunyi ayat Alquran (36: 38) yang menyatakan matahari dan bulan berputar pada garis edarnya dan itu merupakan takdir Tuhan.

Dalam ayat-ayat yang lain, kata takdir memiliki makna sangat berdekatan, bahwa takdir berarti ketentuan Tuhan yang berlaku pada perilaku alam. Karena adanya takdir atau kepastian perilaku alam inilah ilmu pengetahuan alam menjadi berkembang dan berdiri kokoh.

Kalau saja perilaku alam tidak memiliki kepastian sehingga sulit diprediksi, manusia sulit mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern karena iptek berjalan berdasarkan adanya hukum atau sifat alam yang serba pasti. Kata pasti tentu mesti dibedakan dari kata mutlak,absolut.Ilmu falaq yang menghasilkan kalender sebagai pedoman hari, bulan, dan tahun dimungkinkan karena adanya ketetapan atau keajekan peredaran bulan dan matahari yang semua itu merupakan takdir atau kepastian dari Tuhan. Alquran menyebutkan, Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (QS Al- Furqan: 2). Misalnya, Allah menciptakan air dan menciptakan takdirnya, mencakup sifatnya yang kalau dipanaskan menguap, kalau didinginkan menjadi beku.

Juga takdir air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tuhan juga menakdirkan angin yang memiliki kekuatan daya dorong sehingga walaupun air berada di tempat rendah jika dipompa secara keras akan naik ke atas. Semuanya ini berlangsung mengikuti takdir Tuhan. Contoh lain, manusia ditakdirkan tidak bisa terbang seperti burung.

Namun karena anak-anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu, manusia bisa menciptakan pesawat yang terbang bagaikan burung. Manusia ditakdirkan tidak bisa hidup di air bagaikan ikan. Namun dengan kemampuan takdir yang melekat pada manusia, manusia berhasil menciptakan kapal selam.

Demikianlah, jadi untuk melaksanakan mandat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia diberi kemampuan sebagai manajer mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaaan-Nya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia mengidentifikasi sifat dan perilaku alam, kemudian mengaturnya.

Misalnya, manusia mempertemukan bahan bakar dan api, maka muncul tenaga sehingga bisa menggerakkan mesin mobil atau pabrik. Atau mempertemukan panas dan air dalam panci yang diisi beras, maka jadilah nasi. Inilah yang dimaksud manusia sebagai manajer takdir. Jadi di sinilah mengapa Tuhan berfirman, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya." (QS al- Baqarah: 31).

Dengan mengenal sifat benda-benda di sekitarnya, manusia membuat klasifikasi dan identifikasi takdir yang melekat pada benda-benda itu untuk didayagunakan demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, mengelola takdir ibarat main catur.

Pemain memiliki kebebasan untuk mengelola dan menggerakkan pion-pionnya di atas papan catur, tetapi gerakan dan aturannya sudah pasti tidak bisa diubah. Begitulah halnya dengan kehidupan. Tuhan telah menciptakan takdir yang serbapasti di atas papan semesta ini, tetapi manusia dianugerahi nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan lalu memilih perbuatan atau karya apa yang akan dibuatnya.

Kalau seseorang memilih loncat dari bangunan tinggi, tubuh akan hancur, kepala akan pecah. Itulah hukum alam, itulah takdir yang ditetapkan Tuhan. Yang menjadi persoalan, mengapa seseorang mesti loncat bunuh diri, di situlah terletak ruang kebebasan yang dimiliki manusia untuk membuat pilihan. Takdir perlu dibedakan dari musibah meski terdapat keterkaitan. Musibah artinya suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang.

Jika lempengan perut bumi patah lalu terjadi gempa, di situ berlaku takdir Tuhan bahwa daya tahan lempeng bumi ada batasnya. Batas atau ukuran itu juga disebut takdir. Di situ berlaku hukum sebab-akibat. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang berada dalam waktu dan tempat yang secara lahiriah salah sehingga terkena musibah.

Gempanya sendiri merupakan fenomena alam, berlaku hukum sebab-akibat mengapa terjadi gempa. Jika manusia sudah tahu di situ dikenal sebagai daerah gempa, tetapi tidak mau pindah, anugerah kebebasan yang dimiliki tidak dimanfaatkan untuk menjauhi musibah gempa. Jika seseorang sama sekali tidak tahu atau sudah berusaha maksimal tetapi musibah terjadi juga, di situlah kita mesti bersangka baik pada takdir dan musibah yang menimpa seseorang.

Di situ ada hukum sebab-akibat yang kita tidak tahu dan sebaiknya kita sikapi dengan pasrah dan ikhlas, semuanya dikembalikan pada Tuhan pemilik kehidupan. Orang Jepang mungkin merupakan contoh bagaimana mereka berkompromi dan mengelola takdir, berkaitan dengan sifat alamnya yang sering gempa.

Karena di Jepang kerap terjadi gempa bumi, dibuatlah rumah-rumah kayu tahan gempa agar tidak roboh. Artinya mereka sudah memahami dan bersahabat dengan takdir alamnya yang sering gempa. Jadi, alamnya ditakdirkan sering gempa, lalu dengan takdir Tuhan yang telah memberi akal, mereka menyiasati agar gempa tidak mendatangkan musibah. Contoh lain adalah bangunan tinggi yang mudah terancam petir. Maka langkah komprominya dengan memberi penangkal petir, entah itu bangunan masjid, pabrik atau bangunan lain.

Demikian kalau ada musibah manusia tidak dibenarkan terus menyerahkan atau menyalahkan Tuhan. Contoh lain, perut telah ditakdirkan Tuhan kemampuan daya tampungnya. Kalau manusia tidak menaati takdir kapasitas perut lalu makan tanpa batas, musibah akan terjadi. Demikianlah seterusnya, manusia tidak bisa keluar dari takdir karena semua ciptaan Tuhan telah ditentukan sifatnya sehingga manusia diminta memahaminya agar tidak terjadi musibah.

Kalaupun terjadi musibah, itu pun ada hukum sebab-akibatnya, tetapi ada yang kita ketahui dan ada yang kita tidak sanggup mengetahui penyebabnya. Ada peristiwa yang jarak sebab dengan akibatnya begitu pendek sehingga kita cepat memahami. Misalnya ketika tangan terkena duri, jarak sebab dan akibatnya berupa sakit langsung kelihatan. Ada yang jaraknya agak lama, jika semalam kurang tidur, akibatnya di siang hari kurang sehat.

Ada lagi yang tahunan, jika sewaktu muda tidak belajar dan malas, akibatnya di hari tua akan bodoh dan miskin. Yang manusia sering lupa dan terlena adalah sebab-akibat yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas di dunia baru akan dijumpai di akhirat nanti. Karena masih nanti dan belum dialami, manusia mudah meremehkan.

Padahal itu termasuk takdir, hukum sebab-akibat yang pasti, tetapi kita sering meragukan bahkan menafikannya. Di situlah manusia memiliki kebebasan, apakah akan beriman ataukah akan mengingkari, Tuhan memberi ruang kebebasan atasnya, tetapi seseorang tidak akan bisa lari dari akibat pilihannya.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
sumber : http://www.okezone.com

Buku "Ilusi Negara Islam"

Robby Muhamad :

Kita sudah sering mendengar bagaimana gerakan global asing Barat, Yahudi, Neoliberal (apapun itu artinya) menjadi ancaman bagi Indonesia.

Buku "Ilusi Negara Islam" (Gus Dur, Syafii Maarif, KH. Mustofa Bisri) membahas bagaimana gerakan Islam ekstrim global juga harus diwaspadai. Bukunya bisa di unduh secara lengkap disini.

Silahkan berdebat pro-kontra secara hangat dan ramai; tapi mohon jangan mengkafirkan ketiga tokoh tersebut :)

Update: sepertinya saya perlu juga menuliskan opini pribadi saya terhadap buku ini. Pengantar yang ditulis ketiga tokoh cukup menarik. Buku ini juga memberi beberapa fakta menarik dan penting, meskipun analisisnya (jika bisa dibilang analisis) masih bisa diperbaiki.

Yang menarik buat saya tentang buku ini adalah hubungannya dengan posting nya Enda mengenai lakmus test. Saya pikir buku ini menjadi ilustrasi polarisasi politik/ideologi islam di Indonesia; yang mana sebuah tes lakmus saya pikir akan mempertajam polarisasi ini. Menuduh orang kafir sama tidak efektifnya dengan menuduh sebuah kelompok sebagai ekstrimis. Pertarungan politik dan ideologi adalah hal wajar dalam demokrasi asalkan tidak ada yang menggunakan jalur kekerasan. Tetapi yang penting sekarang ini menurut saya adalah usaha untuk saling mengerti posisi masing-masing dan berempati; lakmus tes tidak memberi ruang untuk saling mendengarkan dan berempati.
sumber :www.politikana.com

19 Mei, 2009

Menguji Janji dengan DEBAT.

Selasa, 19 Mei 2009 00:23 WIB

Tiga pasang calon presiden dan wakilnya sudah siap berkompetisi memperebutkan suara rakyat pada 8 Juli 2009. Seperti biasa, janji-janji manis pun ditebar. Semua kandidat menyatakan hendak memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Janji seperti ini tentu boleh saja, tapi khalayak memerlukan penjelasan yang masuk akal bagaimana hal itu bisa dicapai.
Itulah pentingnya debat terbuka, baik lewat acara kampanye resmi maupun melalui media massa. Boediono--calon wakil presiden pasangan Susilo Bambang Yudhoyono--telah memulainya saat berpidato dalam acara deklarasi di Bandung. Ia menekankan perlunya pemerintahan yang bersih, bebas dari kepentingan bisnis pejabat. Sengaja atau tidak, ia tampak menyindir praktek yang dilakukan beberapa pejabat selama ini.

Boediono seolah juga ingin membantah tudingan bahwa dirinya penganut neoliberalisme--paham yang menyerahkan urusan ekonomi ke mekanisme pasar dengan campur tangan negara sekecil mungkin. Menurut dia, perekonomian Indonesia tak bisa sepenuhnya diserahkan ke pasar bebas. Boediono menegaskan, perekonomian selalu memerlukan intervensi pemerintah dengan aturan main yang jelas dan adil.

Tak hanya menajamkan sosok ekonomi yang hendak dibangun oleh pasangan Yudhoyono-Boediono, penjelasan itu juga memancing kandidat lain membuka jati dirinya. Sebab, tak lama kemudian calon presiden Jusuf Kalla mengkritik kebijakan Boediono, yang pernah menjabat Menteri Perekonomian. Sebagai wakil presiden, Kalla mengaku sering berseberangan dengan dia, misalnya dalam proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt.

Didanai oleh konsorsium bank-bank Cina, proyek senilai Rp 170 triliun itu membutuhkan jaminan penuh pemerintah. Kalla setuju, tapi Boediono menolak lantaran sesuai dengan aturan pemerintah tak boleh menjamin kredit dari luar negeri. Sang calon presiden juga menilai pemerintah terlalu lamban bertindak lantaran terlalu banyak rapat.

Lewat gaya kepemimpinannya yang “lebih cepat”, Kalla, yang berpasangan dengan Wiranto, menjanjikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen pada 2011. Hal ini ditempuh dengan tiga langkah, yakni meningkatkan suku bunga, menggiatkan pembangunan infrastruktur, serta penyediaan listrik dalam jumlah besar dan terjangkau.

Tampaknya para kandidat, termasuk pasangan Megawati-Prabowo, lebih banyak bicara masalah ekonomi. Pasangan ini bercita-cita mewujudkan bangsa yang mandiri lewat program yang diklaim berpihak kepada wong cilik. Mereka ingin menerapkan ekonomi kerakyatan. Prabowo, yang kekayaannya bernilai Rp 1,7 triliun, bahkan berjanji mencetak satu juta hektare sawah per tahun, melakukan pengembangan bioenergi untuk nelayan, dan pengembangan ekonomi koperasi.

Kubu Megawati-Prabowo belum menjelaskan lebih detail bagaimana melaksanakan program mulia itu tanpa merusak tatanan ekonomi yang sudah ada. Begitu pula pasangan lainnya, sebagian besar program mereka masih samar-samar.

Itu sebabnya, para calon presiden dan wakil presiden dianjurkan segera menyampaikan strategi mereka memajukan negeri ini secara lebih gamblang. Boediono dan Kalla sudah memulai perdebatan, dan perlu terus digulirkan. Bukan hanya soal ekonomi, tapi juga mengenai pendidikan, reformasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi.
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/

12 Mei, 2009

Sekolah Wirausaha, Kenapa Tidak??

JAKARTA, KOMPAS.com — Jurang antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia saat ini semakin lebar. Di bidang pendidikan tinggi, hal tersebut sedikit banyak telah meniupkan paradigma baru tentang kian perlunya kemampuan intelektual individu Indonesia untuk menciptakan bisnis atau wirausaha di segala bidang.



Tahun 2009, pemerintah memperkirakan angka pengangguran akan naik. Karena itu, angka pengangguran akan direvisi menjadi 8,3 atau 8,4 persen. Sebelumnya, pemerintah menargetkan penurunan angka pengangguran tahun ini mencapai 7-8 persen.



Hal itu disampaikan pekan lalu, Minggu (3/5), oleh Deputi Bidang Kemiskinan dan Ketenagakerjaan Bappenas Prasetijono Widjojo di sela-sela Sidang Tahunan Asian Development Bank (ADB) ke-42 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali.


Menurut Prasetijono, pengangguran tahun ini kemungkinan di atas 8 persen. Tahun lalu, pemerintah menargetkan penurunan angka pengangguran di level 7-8 persen, tetapi besar kemungkinan angka tersebut naik, sekitar 8,3-8,4 persen.


Sulit dimungkiri, masih banyak penduduk Indonesia yang merupakan pengangguran terbuka. Hanya 0.18 persen dari total penduduk Indonesia menjadi wirausahawan. Angka itu sangat jauh tertinggal ketimbang China, yang mencapai dua persen, atau bahkan Singapura dengan jumlah enam sampai tujuh persen.


Tanpa wirausaha, perekonomian Indonesia masih akan terus tersendat untuk maju karena, ketimbang rasio jumlah penduduknya, negara kita akan terus kekurangan lapangan kerja.


Center for Entrepreneurship Development

Salah satu penyebab titik lemah ekonomi Indonesia adalah masih kurangnya jumlah perusahaan formal. Kemandirian pun belum merupakan kata kunci di mata masyararakat untuk memandang kemajuan bangsa ini.


Bisa dilihat, banyak perusahaan yang tumbuh besar saat ini karena diawali dengan model usaha kecil dan menengah (UKM) atau small medium enterprise. Mereka dimotori oleh semangat kewirausahaan yang kokoh sebagai penggerak roda perekonomian yang mampu menciptakan lapangan kerja baru.


Untuk itulah, pertumbuhan wirausahawan baru yang mampu menciptakan peluang bagi pertumbuhan yang lainnya sangat diperlukan. Melalui Center for Entrepreneurship Development, Prasetiya Mulya Business School (PMBS) berupaya ikut mendorong pengembangan pendidikan kewirausahaan sebagai sumbangan bagi kemajuan dan kemandirian bangsa untuk melahirkan generasi wirausaha yang kuat dan mumpuni.

Hal tersebut dibuktikan oleh PMBS sejak 2005. Setelah bertahun-tahun membuka Program S2 (Magister Manajemen), PMBS pun akhirnya membuka Program S1 Bisnis. Dengan hadirnya program ini, pelajar Indonesia yang ingin mengenal lebih jauh sekolah bisnis tidak perlu pergi ke luar negeri.
Para mahasiswa akan diberi pengetahuan kuat dan juga keterampilan untuk menjawab tantangan di dunia bisnis. Untuk tujuan itu, mereka akan dididik dalam tiga hal, yaitu diberi pengetahuan bisnis yang kuat dan ditransformasikan ke dalam kerangka berpikirnya.Selanjutnya, mahasiswa diberi pengetahuan tentang penanaman karakter berbisnis (entrepreneurship) yang kuat, baik itu keberanian menempuh risiko, analisis, komunikasi, dan kepemimpinan. Terakhir, mahasiswa akan dibekali materi peningkatan kepekaan sosial melalui program dan kegiatan community development.


Semester "Pebisnis"

Sejak mengawali perkuliahan di semester pertama, mahasiswa telah dirangsang untuk mencari peluang bisnis. Di semester ketiga, ide atau berbagai usulan bisnis para mahasiswa tersebut lalu dikompetisikan untuk memperoleh enam kelompok mahasiswa terbaik.


Jangan girang dulu. Kelompok pemenang lalu dipinjami dana oleh sekolah. Di semester empat, dana itu akan mereka gunakan untuk menggerakkan sebuah usaha atau bisnis.


Ya, para mahasiswa akan melakoni tugas itu laiknya para pebisnis profesional. Semua mereka kerjakan dari nol, mulai dari sisi model pengelolaan bisnisnya, manajemen pemasarannya, hingga pengelolaan sumber daya manusianya (SDM).

Kritis dan obyektif. Pada tiga minggu sekali, para "pebisnis" juga harus melaporkan perkembangan bisnisnya di hadapan para staf pengajar, yang dalam hal ini bertindak sebagai "Dewan Direksi".


Kiranya, pola pendidikan semacam itu cukup menarik dijadikan kesempatan bagi para mahasiswa menempa diri sebagai wirausahawan. Dilandasi semangat dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, para mahasiswa juga tidak semata akan mengenal dunia bisnis. Namun, PMBS juga akan mewajibkan mereka bekerja di lembaga-lembaga atau yayasan sosial, seperti panti jompo, panti asuhan, dan instansi.


Selain itu, mahasiswa juga akan diterjunkan ke desa-desa. Mereka turun langsung bersama ke tengah-tengah masyarakat. Tugas utama mereka di sini adalah membantu menciptakan bisnis bagi masyarakat setempat.
Dengan model proses belajar-mengajar semacam itu, PMBS tentu bukan bermaksud hanya mencetak calon-calon pebisnis Indonesia yang tangguh, melainkan juga berjiwa sosial tinggi.
sumber : http://www.kompas.com/

RANI

Minggu, 10 Mei 2009 00:39 WIB
Putu Setia

Saya tidak sedang menulis Rani, atau nama lengkap di kartu tanda penduduknya, Rhani Juliani. Mantan caddy golf yang menjadi wanita terpopuler saat ini karena kasus pembunuhan Nasrudin itu tidak saya kenal. Bagaimana saya menulis orang-orang yang tidak saya kenal?

Tapi saya mengenal beberapa orang yang dipanggil akrab Rani. Dari penulis fiksi, penyanyi, aktivis pers kampus, tentu dengan nama lengkap yang berbeda. Salah satunya adalah Sutirani, gadis asal Temanggung, bekas tetangga saya sewaktu saya tinggal di Sidoarum, Godean, Yogyakarta.

Rani Temanggung ini, begitu tamat SMA, tidak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya, barangkali mirip Rani Tangerang di awal-awalnya. Ia ikut bude-nya ke Yogya, kursus memijat beberapa hari, lalu menjadi gadis pemijat di sebuah "panti pijat tradisional". Tak sampai sebulan ia bertahan, banyak hal yang ia keluhkan kepada saya. Belakangan, saya dengar dia menjadi pramuria--sebutan keren pelayan--di toko Sami Jaya, kawasan Malioboro. Entah sekarang.

Kenapa saya sering ingat Rani? Ia pernah berkeluh, seorang pria setengah tua suatu hari menjadi "pasiennya". Setelah waktu habis, Rani mengingatkan pijatan sudah selesai. Pria itu setengah marah membentak: "Mana tradisionalnya?" Rani mulanya kaget, apa yang dimaksudkan "tradisional" itu. Syukur, pria itu hanya marah, lalu keluar.

Belakangan, banyak pria yang terus menggoda: "Dik, jangan lupa tradisionalnya, ya?" Atau kalimat ini: "Kalau pakai tradisional, tambah berapa?" Lama-lama Rani tahu apa yang dimaksudkan: berbuat mesum. Ia punya jurus menolak, dan teknik penolakan itulah yang membuat saya kagum, sekaligus sering ingat dia. Ia hanya mengatakan begini: "Bapak kan sudah berumur, mungkin Bapak punya anak gadis seusia saya. Kalau anak gadis Bapak dibegitukan, apa Bapak tega?" Teknik ini mempan, tapi Rani memutuskan tak lagi bekerja di panti pijat berembel tradisional itu.

Jurus ini sering saya kutip kalau saya lagi berceloteh soal moral di berbagai kesempatan. Malah saya kembangkan. Misalnya, bagaimana menghindari perselingkuhan? Saya katakan: "Ketika Anda sedang berniat untuk berselingkuh dengan wanita idaman lain, cobalah merenung satu menit, bagaimana kalau istri Anda juga melakukan hal yang sama dengan pria idaman lainnya. Apakah Anda senang?"

Jika jurus itu tak mempan, coba lagi merenung satu menit, dan sebut nama Tuhan. Tak satu pun agama membenarkan perselingkuhan dan perzinaan. Surga ada di telapak kaki ibu, dan ibu itu adalah wanita, janganlah wanita dilecehkan. Ada kitab suci yang jelas menyebutkan: "di mana wanita dihina dan diperlakukan tak semestinya, di sana kekacauan akan muncul".

Jika nama Tuhan sudah disebut dan Anda tetap berselingkuh, itu artinya setan lebih banyak di sekeliling Anda. Ini pun termasuk "skenario" Tuhan, mereka yang lemah akan dijadikan alat untuk memberi kesempatan bagi orang lain bekerja dengan baik. Kalau penjahat tidak ada, polisi tak ada kerjaan. Kalau koruptor tak ada, Komisi Pemberantasan Korupsi tak dibentuk. Sekarang Anda memilih, yang baik atau yang buruk?

Saya tak menyindir bahwa kasus Rani-Nasrudin-Antasari diawali dengan pelecehan seorang wanita, karena "sinetron" ini masih berlanjut. Saya juga tak mau mengulangi petuah yang sudah klise agar pemimpin berhati-hati terhadap 3 TA: takhta, harta, dan wanita. Saya hanya ingin mengatakan: wahai kaum pria, hormatilah wanita.

Sesekali menulis tentang moral, bolehlah. Suasananya masih merayakan Waisak, hari penuh kedamaian. Selamat bagi yang merayakannya.
Sumber : www.tempointeraktif.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action