wirausaha online

24 September, 2009

Hari Kemenangan KORUPTOR...!


SEPERTINYA segala macam upaya untuk membunuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencapai rangkaian titik kulminasi selama beberapa hari menjelang dan hari-hari pertama Idul Fitri.

Secara faktual, rangkaian itu mulai dari penetapan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sebagai tersangka. Guna menindaklanjuti status itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memungkinkan pengisian pimpinan KPK dengan menunjuk pelaksana tugas (plt).

Selain kedua peristiwa tersebut, langkah sistemik untuk melemahkan KPK dapat pula dilacak dari serangkaian penyeludupan pasal dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor). Sebut saja misalnya, kuatnya keinginan sejumlah fraksi di DPR untuk menghilangkan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan alias KPK cukup menjadi penyidik dalam kasus korupsi.

Dengan logika seperti itu, sejumlah fraksi hendak mengembalikan penuntutan kepada kejaksaan. Padahal, merujuk argumentasi dasar revisi UU KPK, Mahkamah Konstitusi hanya memerintahkan membuat Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang terpisah dari UU KPK. Dasar pijak MK, Pasal 25A ayat (5) UUD 1945 menghendaki pembentukan peradilan di bawah Mahkamah Agung dilakukan dengan undang-undang.

Dengan demikian, dalam bahasa sederhana, putusan MK sama sekali tidak bermaksud membunuh Pengadilan Tipikor (karena dapat melemahkan eksistensi KPK), tetapi hendak memperkuat landasan hukum (legal basic) Pengadilan Tipikor.

Pertanyaan elementer yang patut dikemukakan, adakah semua rangkaian peristiwa itu menjadi gambaran keberhasilan agenda serangan balik para koruptor (corruptor fights back)? Pertanyaan itu menjadi begitu relevan dikemukakan karena upaya serangan balik itu sudah mulai terasa seiring melajunya agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Berumur Pendek

Negeri ini terbilang mempunyai catatan buruk dalam agenda pemberantasan korupsi. Sejauh ini telah banyak dibentuk lembagalembaga khusus untuk memberantas korupsi. Misalnya pada 1970 pernah dibentuk Komisi Empat, tahun 1999 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) bubar pada 2002.

Khusus untuk KPKPN,ditengarai lembaga ini dibubarkan karena mulai bergerak menelusuri ketidakwajaran kekayaan sejumlah tokoh penting yang berkuasa (termasuk anggota DPR) pada saat itu. Sederhananya, lembaga-lembaga khusus itu tidak ada yang berumur panjang. Melacak gejala yang ada, saat ini nasib yang menimpa sejumlah lembaga khusus itu sedang menghampiri KPK.

Dibandingkan dengan semua lembaga itu, resistensi atas KPK jauh lebih masif dan sistemik. Hasil penelusuran aktivis antikorupsi yang tergabung Aliansi Cinta Indonesia Cinta KPK (Cicak), setidaknya ada 11 upaya yang telah dan sedang dilakukan sebagai bentuk resistensi yang berpotensi membunuh KPK.

Di antara resistensi itu, hampir sepanjang periode pertama KPK, sejumlah pihak berupaya melumpuhkan lembaga extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini dengan mengajukan judicial review atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Puncaknya, MK mengabulkan permohonan judicial review atas UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Pasal 53 UU KPK harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Celakanya, batas 19 Desember 2009 yang diberikan MK sudah di depan mata, RUU Pengadilan Tipikor masih jauh dari selesai.

Tusukan langsung untuk membunuh KPK, setidaknya, dapat dilacak dari bangunan argumentasi yang mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Gugatan atas kewenangan KPK dilakukan setelah MK menutup ruang untuk mempersoalkan keberadaan KPK melalui proses judicial review.

Dengan tertutupnya ruang ke MK, sejumlah kalangan mulai mencoba memakai instrumen negara yang lain untuk melumpuhkan KPK. Misalnya, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR, Ahmad Fauzi, mengeluarkan wacana pembubaran KPK. Wacana itu muncul berbarengan dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR.

Setelah itu, berbarengan dengan skandal yang menimpa Ketua KPK Antasari Azhar, sejumlah kalangan di DPR mengemukakan bahwa prinsip pimpinan kolektif tidak terpenuhi lagi setelah penetapan status tersangka pada Antasari Azhar. Ketika itu sebagian anggota DPR meminta KPK menghentikan semua upaya penegakan hukum yang tengah dilakukan.

Secara sempit dasar argumentasi yang digunakan, sesuai dengan Pasal 21 UU KPK, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif untuk mengambil putusan. Seperti sebuah desain besar, belum usai isu kolektivitas pimpinan KPK, tiba-tiba BPKP bersikeras mengaudit KPK. Padahal, tanpa perlu mengerti secara dalam aturan hukum, semua orang tahu persis, BPKP sama sekali tidak berwenang mengaudit KPK.

Desain besar itu bergerak ke titik lain, tiba-tiba kepolisian membuat "kejutan" dengan memeriksa Chandra M Hamzah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Anehnya, pemeriksaan itu lebih banyak pada penggunaan kewenangan penyadapan KPK. Tindakan yang dilakukan kepolisian benar-benar menimbulkan guncangan hebat di KPK.

Ibarat bola liar, pemeriksaan kepolisian bergerak ke segala arah setelah gagal mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Sebagaimana diberitakan, dalam testimoni Antasari Azhar menuliskan sejumlah pimpinan KPK menerima uang dari PT Masaro Radiokom.

Karena sulit menggunakan testimoni itu, kepolisian bergerak ke arah indikasi penyalahgunaan kewenangan pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra yang dilakukan oleh KPK. Hal yang bisa dibaca dari semua itu, sepertinya kepolisian sedang mencari-cari kesalahan pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka sehingga punya dasar hukum menonaktifkan mereka.

Dalam konteks itu, banyak kalangan menduga sejumlah pihak sedang menggunakan institusi negara (baca: kepolisian) membunuh KPK. Dugaan itu amat mungkin mendekati benar karena dua orang pimpinan KPK (Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto) ditetapkan sebagai tersangka tanpa bukti-bukti cukup kuat. Ujung dari semua itu, mengakhiri masa bakti KPK, sehingga nasibnya sama dengan mendiang Komisi Empat, TGPTPK, dan KPKPN.

Hari Kemenangan

Posisi sakaratul maut yang tengah menimpa KPK benar-benar menjadi kabar baik bagi para koruptor dan sekaligus menjadi keberhasilan corruptor fights back. Celakanya, nasib tragis KPK terjadi begitu KPK memasuki wilayah-wilayah yang selama ini gagal disentuh penegak hukum konvensional.

Meminjam istilah Denny Indrayana (2008), di antara wilayah itu adalah Istana dan Pengusaha Naga. Denny Indrayana menjelaskan, Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini dan Pengusaha Naga adalah korupsi oleh megapengusaha.

Tidak terbantahkan, selama ini, KPK cukup berhasil menjamah Istana dan Pengusaha Naga sebagaimana dimaknai Denny Indrayana tersebut. Bisa jadi, nasib yang menimpa KPK saat ini merupakan konsekuensi dari keberhasilan memasuki wilayah-wilayah yang selama ini untouchable.

Karenanya, banyak pihak berkepentingan untuk menghentikan laju langkah KPK. Saat ini, upaya membunuh KPK hampir mencapai titik kulminasi. Meski belum sampai di titik kulminasi, para koruptor telah mulai merayakan kemenangan.

Hal yang membuat kita (terutama yang concern dengan agenda pemberantasan korupsi) trenyuh, mereka memulai perayaan kemenangan hampir berbarengan dengan umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, hampir dapat dipastikan, puncak kemenangan para koruptor akan segera datang.

Hari-hari ke depan akan menjadi hari bersulang para koruptor. Percayalah, perayaan mereka pasti jauh lebih lama dan lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Idul Fitri. Tragis! (*)

Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Palembang

sumber : http://www.okezone.com

11 September, 2009

Zakat, Korupsi dan Kemiskinan


TEMPO Interaktif, Sudah menjadi semacam konvensi, di setiap Ramadan umat Islam diseru untuk membayar zakat (fitrah dan mal) yang diperuntukkan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tragedi zakat maut tahun lalu di Pasuruan adalah bukti konkret, betapa ibadah zakat begitu “populer” dan digemari elite hartawan maupun masyarakat miskin menjelang hari raya.

Secara normatif-teologis, Islam memang mewajibkan kalangan yang mampu untuk peduli dan membantu sesamanya yang kekurangan, melalui konsep zakat. Ini sekaligus menunjukkan keseriusan doktrin Islam terhadap upaya penciptaan keadilan sosial melalui ritual zakat. Secara aktual, keadilan sosial dapat diwujudkan dengan menciptakan tatanan sosial yang bebas dari praktek korupsi dan jauh dari “penyakit” kemiskinan. Lalu, sejauh mana relevansi dan signifikansi zakat jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi dan pengentasan masyarakat miskin?

Pada prinsipnya, Islam tidak sekadar mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah secara vertikal, tetapi juga sekaligus beribadah secara horizontal. Semua bentuk ritual dalam Islam, seperti salat, puasa, zakat, dan haji, memiliki dimensi individual dan dimensi sosial.

Karena itulah, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk mementingkan dirinya sendiri menuju ke jalan rohani Tuhan, tetapi juga menginginkan pengikutnya menuju jalan sosial-kemanusiaan, sebagaimana tecermin dalam ajaran zakat. Ironisnya, makna zakat yang sarat muatan sosialnya itu acap kali disalahmanfaatkan oleh sebagian umat Islam, sehingga kehilangan makna substansialnya.

Pertama, zakat yang bermakna pensucian harta sering kali disalahartikan secara sepihak oleh orang-orang yang bergelimang harta dan para pejabat negara. Oleh mereka, zakat sekadar dijadikan cara untuk mensucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil korupsi dan praktek kemaksiatan lainnya. Karena itulah, zakat kehilangan makna substansialnya untuk mensucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Harta yang diperoleh dari praktek korupsi dianggap suci dan halal setelah dibayarkan zakatnya kepada kaum fakir-miskin. Inilah wujud pemahaman yang formalistik, lahiriah, dan tidak mengambil makna terdalam dari hakikat agama.

Padahal, harta yang diperoleh dari praktek korupsi selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah sebagai pensucian terhadap segala praktek haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan korupsi mendapat laknat dari Tuhan dan tidak mendapat keberkahan dalam hartanya.

Kedua, korupsi sesungguhnya telah mengingkari makna ajaran zakat yang secara sosial bertujuan menciptakan keadilan sosial. Bukankah harta yang dikorupsi adalah uang rakyat, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir-miskin dan mereka yang perlu diberi perlindungan ekonomi? Di manakah letak kepedulian sosialnya jika ia mengkorupsi harta orang banyak demi memperkaya diri sendiri? Karena itulah, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Dalam konteks ini, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang haram. Apa pun alasannya, jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, tidak secara otomatis menjadi suci. Inilah yang mestinya kita sadari bersama bahwa makna ibadah zakat harus benar-benar dapat mensucikan harta dan menciptakan keadilan sosial. Zakat bukanlah sin and money laundering atas segala praktek haram.

Kemiskinan
Menurut para ulama, yang menjadi sasaran atau penerima utama zakat adalah fakir miskin (mustadh'afin). Zakat itu "diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang yang papa di antara mereka" (QS. 9:60). Dalam perspektif ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari yang kaya kepada yang tidak berpunya. Pengalihan kekayaan berarti pengalihan sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis. Misalnya, seseorang yang menerima zakat itu bisa mempergunakannya untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif dan atau produktif.

Jika dicermati, sejatinya, dengan berzakat, kita dididik untuk mengembangkan sense of awareness terhadap derita rakyat miskin, yang kemudian melahirkan sikap empati dan simpati kepada mereka. Kalau boleh diilustrasikan, zakat itu ibarat the have, sementara rakyat miskin laksana the needy. Filsafat sosialnya menjadi afirmatif : the have harus memiliki ethical obligation kepada the needy. Dengan kata lain, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin. Zakat, dengan demikian, dapat menyentuh, menyadarkan, sekaligus menumbuhkan semangat dan kewajiban moral-etik-kemanusiaan kita kepada rakyat miskin.

Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat sebenarnya hendak melatih diri kita untuk sensitif terhadap realitas. Yakni, menjadi lebih peka dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan, yang selama ini dialami kaum tertindas baik secara ekonomis maupun politis, dengan demikian mendapatkan referensi, justifikasi, dan legitimasi dari ritual zakat. Karena itu, laku ritual zakat haruslah dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alusi kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutik sosial dalam konstruksi pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata.

Ini berarti, setiap bentuk ritual dalam Islam (baca: zakat) mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan kembali api dan semangat fitrah, bukan hanya dalam kesadaran subyektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari sinilah diharapkan zakat mampu menemukan makna-makna emansipatorisnya sebagai praksis pembebasan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

MAKSUN, Dosen IAIN Walisongo, Semarang

sumber : http://www.tempointeraktif.com

Alqur'an dan Bumi Manusia

SETIAP Ramadan di berbagai masjid selalu diadakan peringatan Nuzulul Quran, peristiwa turunnya Alquran. Tentu Alquran turun ke bumi tidak seperti turunnya hujan dari langit karena langit itu sendiri pengertiannya banyak, mengingat bumi itu bulat dan hanya sebagian kecil saja dari miliaran planet yang mengapung di alam semesta.

Jadi, kalau dikatakan Alquran itu turun dari langit, langit manakah yang dimaksud, sulit dijawab secara ringkas. Peristiwa nuzulul Quran mungkin mirip dengan Isra Mikraj, Yaitu peristiwa rohani yang hanya dialami oleh pribadi Muhammad SAW,sementara para sahabat tidak ikut terlibat di dalamnya.

Para sahabat hanya mendengar ceritanya, lalu meyakini. Ini berbeda dengan hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah yang merupakan peristiwa historis-empiris yang bisa disaksikan dan diikuti oleh para sahabat beliau. Alquran turun pun tidak dalam bentuk lembaran kertas penuh tulisan yang jatuh berhamburan di muka bumi, lalu dipungut oleh Rasulullah.

Tidak juga malaikat Jibril menyerahkan bundelan kitab yang dapat diraba dan dipegang. Tetapi Alquran turun pada bumi manusia, dengan lokus ataupun perantara Muhammad seorang diri. Ini merupakan peristiwa rohani yang Muhammad sendiri sulit menjelaskan, bahkan pada awal mulanya ketakutan ketika makhluk spiritual bernama Jibril menemuinya di Gua Hira.

Jadi, yang dituju oleh Nuzulul Quran adalah bumi manusia, yaitu hati dan pikiran manusia, agar pesan dan petunjuk Alquran direnungkan, dipahami, dinalar, selanjutnya masuk menjadi keyakinan dan pada urutannya menggerakkan dan membuahkan perbuatan baik atau amal saleh.

Bahwa setiap Ramadan diadakan peringatan awal turunnya Alquran, itu sangat bagus agar umat Islam semakin akrab dan semakin mencintai Alquran. Namun yang paling mendasar dari peringatan itu adalah apakah pesan dan semangat Alquran nuzul pada hati dan pikiran kita ataukah tidak? Alquran menamakan dirinya dengan beragam nama dan fungsi, namun yang terkenal sebagai hudan atau petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan.

Dalam tradisi hermeneutika, sebuah petunjuk akan berfungsi dengan mengandaikan beberapa syarat. Pertama, seseorang mesti paham apa yang dikandung oleh petunjuk itu. Misalnya saja, ketika ke Jepang, saya tiba-tiba menjadi buta huruf lantaran dihadapkan dengan beberapa keterangan dan petunjuk jalan dalam huruf kanji dan bahasa Jepang. Demikian pula apa yang dikandung Alquran.

Ketika seseorang tidak mampu membaca dan menangkap pesannya, petunjuk itu tidak berfungsi. Kedua, ibarat petunjuk jalan, kalau seseorang paham tetapi tidak mau menaati atau dihadapkan pada situasi yang menghalangi, maka lagi-lagi petunjuk itu tidak mengantarkan seseorang pada sasaran yang dituju.Ketiga, ibarat resep dokter, kalau seseorang tidak berdisiplin mengikuti petunjuknya agar memakan obat serta menjaga gaya hidup sehat, maka sulit baginya untuk hidup sehat.

Jadi, Alquran sebagai petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan pada implementasinya dikembalikan pada umat Islam sendiri, apakah benar-benar memahami dan mampu melaksanakan ataukah tidak. Bahwa membacanya berpahala, memang itu dibenarkan oleh Rasulullah. Bahwa peringatan Nuzulul Quran itu bagus, itu sudah pasti sebagai tanda cinta umat Islam pada kitab sucinya.

Heart, Head, Hand

Agar Alquran mencapai sasarannya dan nuzul atau turun pada bumi manusia dan berfungsi membawa rahmat bagi kehidupan manusia, tidak saja bagi umat Islam, maka syarat pertama seseorang haruslah menyucikan hatinya (clean heart). Bagi orang yang hatinya tidak bersih, Alquran sulit untuk masuk.

Demikianlah bunyi salah satu ayat Alquran. Selama Ramadan, dengan banyak memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan dan berbuat baik kepada sesama, semoga hati seorang mukmin akan kembali menjadi bersih sehingga Alquran bisa nuzul ke hatinya.

Syarat kedua, bila tanpa pikiran kritis dan selalu ingin berdialog secara cerdas dengan Alquran, Alquran seakan bisu, tidak banyak berbicara pada kita. Sebuah teks akan berbicara dan mengajari kita kalau kita senang bertanya, berdialog dan menangkap kandungannya. Makanya umat Islam mesti menggunakan nalar kritis dalam membaca Alquran.

Itulah salah satu keunikan dan keunggulan mukjizat Alquran yang menantang dan sekaligus membimbing penalaran (head) manusia. Syarat ketiga, setelah menggunakan heart dan head dengan benar dan optimal, selanjutnya seorang muslim haruslah mengimplementasikan dalam karya dan tindakan nyata dengan hand, sehingga buah dari kecintaan dan pemahamannya pada Alquran membuahkan amal saleh, yaitu karya nyata yang benar dan bermanfaat bagi umat manusia.

Semasa Rasulullah, masyarakat Arab padang pasir yang dikenal jahiliah dan senang berperang, dengan bimbingan Alquran, hati, pikiran dan perilakunya dipandu oleh Alquran, sehingga dalam waktu singkat terjadi revolusi peradaban.

Alquran benar-benar nuzul pada hati dan pikiran mereka yang kemudian mendorong perubahan sosial, dari kehidupan yang tidak beradab menjadi beradab. Hidup yang semula senang berperang berubah menjadi senang ilmu dan perdamaian. Itulah salah satu pesan Nuzulul Quran yang mesti kita gali, renungkan dan amalkan. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber : http://news.okezone.com

07 September, 2009

Dahlan Iskan, Soemarsono, Dan Front Anti Komunis


TEMPO Interaktif, Meski sudah 64 tahun merdeka, kita belum merdeka dari kebencian dan dendam kesumat. Meski kemerdekaan itu antara lain berkat seluruh komponen rakyat, termasuk yang komunis, tiap sosok yang dicurigai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dimunculkan, selalu ada reaksi berlebihan.

Meski tokoh yang dicap komunis itu berjasa bagi perjuangan kemerdekaan, seolah jasanya dianggap tidak ada.

CEO Jawa Pos sudah menuliskan tokoh seperti itu (Soemarsono) dalam catatan berseri (Jawa Pos, 14-16 Agustus 2009). Dalam tulisannya, Soemarsono disebut sebagai tokoh utama pertempuran Surabaya (1945). Soemarsono juga tokoh utama Peristiwa Madiun 1948. Tulisan itu membuat berang kalangan antikomunis. Sekitar 150 orang yang mengaku anggota Front Anti-Komunis mendatangi kantor redaksi Jawa Pos di gedung Graha Pena, Surabaya, 2 September lalu. Mereka mendesak pemilik Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, meminta maaf kepada umat Islam dan bangsa Indonesia (Koran Tempo, 3 September 2009).

Yang menyedihkan, dalam demo itu terjadi pembakaran buku yang ditulis Soemarsono yang berjudul Revolusi Agustus. Bahkan seorang guru besar sejarah, yaitu Profesor Amminuddin Kasdi, yang memang anti-PKI dan menulis buku G30S/PKI, Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia, tidak bisa mencegah pembakaran itu. Memprihatinkan, ketika kita tidak mampu mengembangkan budaya ilmiah. Tulisan yang dinilai keliru seharusnya ditanggapi lewat tulisan juga, bukan dengan amarah dan membakar buku.

Dari kejadian itu terlihat betapa pepatah Inggris, time is a healer (waktu adalah sang penyembuh), belum sepenuhnya berlaku di negeri ini, terlebih ketika ada sosok yang dicap PKI dimunculkan ke publik. Demikian juga, tiap kali Peristiwa Madiun 1948 atau Peristiwa 1965 disinggung, selalu ada pihak yang tersinggung. Kita ternyata bangsa pendendam. Kita belum bisa seperti warga Polandia, Rusia, atau negara-negara bekas komunis yang sudah bisa berdamai dengan sejarah mereka, sehingga antara yang dulu komunis dan yang tidak sudah bisa bergandeng tangan memajukan negaranya.

Kita masih diliputi dendam dan kebencian, yang justru terus kita coba lestarikan dan wariskan kepada generasi mendatang yang sebenarnya tidak tahu-menahu akan peristiwa di masa lalu, yang memang banyak versinya. Misalnya peristiwa yang oleh Orde Baru disebut Pemberontakan G30S/PKI. Sejarah 1965 oleh Orba juga didominasi oleh sejarah yang ditulis dari sudut kepentingan penguasa. Untunglah kini sudah muncul puluhan buku yang ditulis dari sudut korban. Apa yang dilakukan Soemarsono bisa jadi dimasukkan dalam kategori ini, karena selama ini publik sudah telanjur memberikan cap buruk kepada Soemarsono. Kini, dengan bukunya, kita paling tidak bisa membaca sejarah dari versi korban orang yang dicap komunis. Apa yang dilakukan Soemarsono jelas memperkaya sejarah kita. Soal kita tidak sependapat, itu bisa dilakukan dengan menulis, bukan dengan membakar bukunya atau marah.

Tentang Peristiwa 1948 atau 1965, kini sudah banyak bukunya. Satu hal pasti, menurut sejarawan Antony Reid dalam bukunya, Revolusi Nasional Indonesia (1996), peristiwa 1965 sebenarnya sangat berkaitan dengan peristiwa 18 September 1948 di Madiun. Yang mengaitkan adalah dendam dan kebencian antara pihak komunis dan penentangnya, mengingat dalam peristiwa 1948 itu memang jatuh banyak korban dari kedua pihak. Karena tidak mau belajar dari sejarah, peristiwa pahit 1948 di Madiun justru diulang pada 1965 dengan skala yang lebih massif. Bayangkan, konon, dalam tragedi 1965 telah jatuh korban lebih dari setengah juta jiwa, bahkan ada yang menyebutkan lebih.

Karena itu, generasi sekarang perlu melihat peristiwa 1965 dengan malu. Ini bukan kata-kata penulis, melainkan kata Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang menekankan perlunya mengenang sejarah tertentu dengan rasa malu agar kita dapat belajar dengan lebih tepat terhadap kejadian sejarah itu untuk melangkah ke depan dengan keadaban antara korban dan pelaku kenistaan. Lebih lanjut cendekiawan muslim yang dikenal moderat itu juga menekankan betapa yang sangat diperlukan adalah semangat rekonsiliasi (islah dan pemaafan), bukan terus-menerus mengorbankan rasa benci dan dendam.

Selanjutnya Prof Azyumardi mengemukakan empat dimensi pemaafan, (1) Pemaafan dimulai dengan penilaian moral; dalam konteks Islam disebut muhasabah, saling menghitung dan menimbang peristiwa pahit yang telah melukai, melakukan introspeksi dan penilaian moral terhadap kejadian itu. (2) Memutuskan restitusi, kompensasi kepada korban, atau hukuman kepada pelaku. Pemaafan tidak selalu menghapuskan hukuman, namun juga harus menghentikan pembalasan dendam. (3) Menumbuhkan empati kepada pelaku, bagaimanapun ia manusia biasa. (4) Mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan murni diperlukan guna memperbarui hubungan antarmanusia, kesiapan hidup berdampingan secara damai dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.

Kita menyambut gembira pada akhir-akhir ini banyak pihak yang orang tuanya terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 atau 1965 terlibat aktif dalam upaya rekonsiliasi, seperti ditunjukkan Amelia Yani, putri ketiga dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Achmad Yani, yang bersama Ilham Aidit dkk telah mendirikan Forum Silahturahmi Anak Bangsa. Di tingkat bawah juga layak dihargai upaya-upaya islah yang telah dilakukan warga biasa dengan dukungan teman-teman lembaga swadaya masyarakat, seperti terjadi di Blitar Selatan dan Kediri. Apa yang dilakukan Dahlan Iskan, yang keluarganya di Madiun juga menjadi korban PKI, dengan mendatangkan Soemarsono ke Takeran, Magetan, dan Soemarsono meminta maaf, adalah cara-cara yang sebenarnya layak diapresiasi, bukan malah didemo.

Nah, apa yang dilakukan Dahlan Iskan dkk dengan memfasilitasi tokoh yang dicap PKI dengan para korbannya jelas sangat positif bagi bangsa ini ke depan. Bukankah kita harus lebih mendukung terwujudnya cita-cita rekonsiliasi daripada terprovokasi untuk mewariskan dendam kesumat kepada anak cucu kita?

Mudah-mudahan, seiring dengan bulan suci Ramadan dan sebentar lagi Idul Fitri yang penuh ampunan, kita akan bisa mematikan dendam dan mengupayakan rekonsiliasi sehingga negeri ini ke depan sungguh menjadi bangsa besar. Sebab, kita punya jiwa besar untuk memaafkan dan tidak terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu. Kalau terus menuruti sakit hati, persoalan memang hanya akan melingkar-lingkar dalam dendam yang absurd. Sementara itu, kalau kita berani memaafkan, masa depan yang terang benderang pasti akan lebih gampang kita raih. Sekarang tinggal kita percaya yang mana.

Endang Suryadinata: penulis, tinggal di Belanda

sumber : http://www.tempointeraktif.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action