wirausaha online

29 Desember, 2009

Dari Tahun Kebohongan Menuju Tahun Ujian


HARI demi hari sepanjang 2009 telah kita lalui. Ada dinamika politik yang membanggakan, ada pula yang memuakkan. Tiga hari lagi kita akan memasuki 2010, tahun yang penuh tantangan, khususnya bagi penguasa negeri.

Sampai pertengahan 2010 politik di tingkat pusat pemerintahan masih akan penuh gonjang-ganjing terkait skandal Bank Century. Pada tingkat lokal, adanya 248 Pilkada langsung di seluruh Indonesia menambah suasana dinamis politik Indonesia. Akankah politik Indonesia stabil pada 2010? Akankah Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Kasus Bank Century membuat putusan win-win solution di antara pemilik kartel-kartel politik?

Ataukah hasil jalur hukum tata negara di DPR yang dipadu jalur hukum pidana melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu akan mengarah pada pemakzulan (impeachment) penguasa negeri? Berbagai pertanyaan itu masih tersimpan di benak rakyat, pengamat politik dan penguasa. Nuansa damai tampak nyata saat kita melaksanakan pemilu legislatif ketiga kalinya dan pemilu presiden/wakil presiden langsung di era reformasi.

Pemilu legislatif yang berlangsung 9 April 2009 dan pemilu presiden/wakil presiden pada 8 Juli 2009, berlangsung nyaris tanpa tumpahan darah setes pun, kecuali akibat kecelakaan pada masa kampanye. Ini menunjukkan betapa rakyat Indonesia telah benar-benar dewasa dalam melaksanakan hak-hak demokrasi. Kalaupun nama-nama mereka tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT), baik pada masa pemilu legislatif maupun pemilu presiden, mereka hanya dapat mengelus dada tanpa melakukan keonaran politik.

Jika pun ada yang tidak ikut memilih, mereka juga tidak mau sesumbar sebagai bagian dari golongan putih karena ketidakpercayaan mereka pada sistem pemilu yang amburadul. Yang patut dicela dari dua perhelatan demokrasi itu antara lain berikut ini. Pertama, profesionalisme Komisi Pemilihan Umum (KPU) amat diragukan.

Para anggota KPU lebih mengutamakan jalan-jalan ke mancanegara ketimbang menyelesaikan secara tuntas DPT yang bermasalah. Kedua, DPT bermasalah menimbulkan tanda tanya besar apakah Pemilu 2009 benar-benar jujur dan adil. Ketiga, siapa yang memenangkan tender pengadaan teknologi informasi untuk KPU juga menimbulkan persoalan bukan hanya dari sisi finansial, melainkan juga dari sisi politik, khususnya apakah data yang diungkapkan KPU absah atau meragukan.

Analisis akhir dari dua perhelatan politik akbar di tahun 2009 itu ialah rakyat sudah amat dewasa dalam berpolitik, namun masih banyak kelemahan dalam pelaksanaan dua pemilu nasional di usia demokrasi yang ke-11 tahun. Kelemahan itu yang kemudian menimbulkan persoalan legitimasi politik, benarkah Partai Demokrat dapat melambung dengan perolehan kursinya sampai 300 persen dibandingkan Pemilu 2004?

Tanpa suatu perubahan politik yang amat drastis, seperti perubahan pemerintahan pada 21 Mei 1998 yang kemudian melambungkan perolehan suara PDI Perjuangan pada Pemilu 1999, tampaknya sulit bagi sebuah partai politik memperoleh suara tiga kali lipat dengan cara-cara normal. Perolehan suara 60,8 persen yang diperoleh pasangan SBY-Boediono juga ada yang mempersoalkannya. Tengok pernyataan George J Aditjondro, penulis buku Membongkar Gurita Bisnis Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (Seputar Indonesia, 28/12/2009)

Kebohongan Politik

Suasana damai pada masa pemilu ternyata tidak membawa negeri ini ke situasi stabilitas pemerintahan. Usai Pemilu Presiden 2009, tampak jelas betapa satu demi satu peristiwa politik telah mengganggu jalannya pemerintahan. Bulan madu yang diharapkan paling tidak terjadi pada 100 hari pertama pemerintahan ternyata sudah dilingkupi suasana saling curiga di antara anggota koalisi.

Kata kunci dari sirnanya bulan madu itu adalah dugaan adanya kebohongan politik di tingkat elite. Akhir masa pemerintahan SBY-JK atau Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004–2009) merupakan titik awal dari terjadinya kebohongan politik itu. Tengok misalnya pernyataan Presiden SBY setelah terjadinya bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, 26 Juli 2009.

Dia mengatakan bahwa menurut informasi intelijen, dia menjadi target pembunuhan oleh “drakula yang haus darah” dengan menunjukkan foto yang dibuat teroris yang menjadikannya sebagai target. Ternyata foto itu bukan foto baru, melainkan foto-foto menjelang Pemilu 2004, di mana bukan hanya SBY yang digambarkan menjadi sasaran tembak teroris, melainkan semua calon presiden dan wakil presiden yang bersaing pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun itu.

Terorisme memang menjadi fenomena politik menarik sepanjang 2009. Kita harus angkat topi kepada Kapolri dan jajarannya atas keberhasilan mereka menangkap atau membunuh para pelaku teror bom, termasuk tokoh teroris asal Malaysia, Noordin M Top. Namun kita juga menangkap adanya fakta yang meragukan soal kapan Ibrohim, tukang pengantar kembang di Hotel JW Marriott, mati terbunuh, tanggal 12 Agustus 2009 seperti tertulis di batu nisannya, atau 8 Agustus saat polisi melakukan penyergapan di rumah kosong di Jawa Tengah.

Benarkah juga ada kelompok teroris beraksi di Jati Asih, Bekasi, dengan sasaran rumah kediaman Presiden SBY di Cikeas? Ungkapan kebohongan politik juga tampak saat pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II (2009–2014). Jauh sebelum kabinet disusun, baik presiden terpilih, SBY, maupun tokoh Partai Demokrat sesumbar bahwa kabinet yang akan dibentuk adalah kabinet kerja yang memasukkan kaum profesional nonpartai 65% dan 35% lainnya kaum profesional dari partai-partai politik.

Ternyata, kabinet yang disusun pada 22 Oktober 2009 itu jauh panggang dari api! Susunan kabinet lebih merupakan ungkapan balas jasa politik kepada partai-partai politik pendukung, ketimbang mengangkat kaum profesional murni. Ini yang antara lain menimbulkan konsekuensi politik baru yang menjadi penambah bumbu tak sedap pada dinamika politik pascapembentukan kabinet.

Kriminalisasi KPK dan Centurygate

Nuansa politik pada paruh kedua 2009 juga diwarnai persoalan kriminalisasi terhadap KPK dengan memasukkan dua Wakil Ketua KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai pelaku kriminal. Persoalan hukum itu akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. Tak cuma itu, pelemahan KPK tampaknya tertata rapi dengan memasukkan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Tipikor yang amat melemahkan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.

Rakyat semakin geram dengan adanya upaya Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) untuk membuat peraturan pemerintah (PP) yang antara lain mengharuskan KPK mendapatkan persetujuan dulu dari Kejaksaan Agung sebelum melakukan penyadapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Analisis para pakar hukum antara lain mengatakan, di masa normal, peraturan ini memang perlu ada, tapi di masa tidak normal seperti sekarang ini, aturan itu belum perlu ada.

Jika aturan itu diberlakukan, sulit bagi KPK melaksanakan tugas-tugasnya secara independen. Masalah kriminalisasi KPK diduga kuat ada kaitannya dengan upaya KPK untuk membongkar secara tuntas kasus skandal Bank Century. Tak sedikit orang yang berharap agar KPK jangan lamban atas kasus yang sedemikian besar dan memancing perhatian publik ini.

Alasan publik agar KPK lebih cepat bekerja adalah agar KPK lebih mendahului proses politik dan hukum tata negara yang kini sedang berlangsung di DPR. Jika dua proses itu berjalan beriringan dan benar, kita tunggu saja apa hasilnya pada Februari atau Maret 2010 mendatang, ketika mandat Pansus Hak Angket Bank Century berakhir. Kini mulai tampak betapa partai-partai politik pasang kuda-kuda untuk menyelamatkan partai masing-masing dari skandal Bank Century ini.

Dari sisi Presiden SBY dan Partai Demokrat, misalnya, ada imbauan agar mereka memiliki etika berkoalisi yang baik. Satu hal yang aneh, imbauan itu diungkapkan oleh Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, yang digaji dengan uang negara. Pertanyaannya, bolehkah seorang juru bicara resmi membuat pernyataan yang terkait dengan persoalan politik di lingkup internal koalisi dan bukan terkait urusan negara?

Bukankah Presiden SBY dan Partai Demokrat sendiri yang mengajak “buka-bukaan” soal skandal Bank Century sehingga layak bila semua anggota koalisi menuruti ajakan SBY tersebut? Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi dari skandal Bank Century ini. Pertama, Pansus ini digembosi di tengah jalan karena kartel politik akhirnya menyetujui win-win solution untuk tidak melanjutkan persoalan itu.

Kedua, para anggota Pansus pantang mundur, maju tak gentar membela yang benar sehingga mereka tetap ingin menuntaskan tugasnya yang terus dipantau rakyat secara langsung. Ketiga, proses di DPR berjalan seiring dengan proses hukum pidana di KPK yang menjurus ke kemungkinan adanya pemakzulan terhadap Presiden RI. Retorika politik Presiden SBY selama kurun waktu 2009 ini tampaknya mendapatkan perhatian besar dari pengamat politik dan rakyat.

Rakyat semakin cerdas untuk menilai, apakah pernyataan Presiden mengandung kebenaran ataukah patut diragukan kebenarannya. Ini termasuk ucapannya terkait dengan buku George J Aditjondro tersebut. Di masa Orde Baru, Mas George, begitu saya memanggilnya, pernah lari ke Australia karena rezim yang ada dulu otoriter. George juga pernah menulis buku yang mirip dengan “Gurita Cikeas”, yakni mengungkap bisnis keluarga Cendana.

Jika dulu harus menyelamatkan dirinya ke Negeri Kanguru, kini dia berani menantang, “Kalau datanya salah, silakan buat buku tandingan. Belajarlah dari HAMKA.” George siap untuk menghadapi pengadilan jika dia dituduh melakukan fitnah atau pencemaran nama baik. Siapkah SBY dan pendukungnya mengajukan George ke pengadilan? Jika ini terjadi, dia akan menambah semarak dinamika politik Indonesia pada 2010 yang sebagian besar terfokus pada satu nama: SBY! Selamat Tahun Baru 2010.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
seumber : www.okezone.com

04 Desember, 2009

Ongkos Mahal Berdemokrasi


MESKI demokrasi bagaikan pedang sakti yang senantiasa diburu, dipuji, dan diperjuangkan di kalangan ilmuwan sosial, ketika sudah di tangan dan diberdayakan untuk meratakan jalan bagi kesejahteraan bangsa, pada kenyataannya, tidak seindah dan semulus yang dibayangkan.

Secara teoretis demokrasi menjadi pilihan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara di zaman modern karena beberapa alasan. Pertama, dengan adanya pemilihan umum secara reguler diharapkan akan terjadi seleksi dan pergantian kepemimpinan secara berkala, rasional, dan terbuka sehingga tidak akan terjadi kepemimpinan yang absolut seumur hidup yang otoriter. Kedua, melalui pemilihan umum (pemilu), warga negara dilibatkan untuk menyalurkan hak-hak pilihnya sehingga muncul hubungan timbal balik antara warga dan pemimpinnya, yaitu hak menagih janji bagi warga dan kewajiban memenuhi janji bagi yang terpilih.

Ketiga, dengan demokrasi proses seleksi kepemimpinan diharapkan berdasarkan integritas, keahlian, dan prestasi, bukan hubungan darah dan otoritas keagamaan. Dengan demikian proses demokratisasi memungkinkan setiap warga untuk bersaing menggunakan hak dan menonjolkan kemampuannya. Di situ prinsip kesamaan hak dan partisipasi warga dijamin. Keempat, salah satu pilar demokrasi adalah menguatnya dan berfungsinya lembaga perwakilan rakyat yang berperan menyuarakan aspirasi rakyat untuk mengawasi dan memberi masukan terhadap jalannya pemerintahan. Lewat pengawasan ini diharapkan pemerintah tetap setia melaksanakan janji dan amanah selama kampanye dengan mendasarkan pada undang-undang (UU) yang ada.

Kelima, dengan adanya wakil rakyat, mereka menjadi jembatan penghubung antara aspirasi rakyat dengan pemerintah. Tugas mereka adalah selalu membaca dan mendengarkan kebutuhan rakyat, lalu diperjuangkan agar direspons oleh pemerintah karena pada dasarnya baik pemerintah maupun wakil rakyat adalah pelayan rakyat. Satu catatan sangat penting, dalam melaksanakan demokrasi semuanya harus menaati undangundang (UU), hukum, dan aturan main yang telah disepakati bersama. Tanpa kepastian hukum, demokrasi akan roboh, bisa berubah menjadi anarki kelompok, massa atau oligarki dengan cara mempermainkan pasal-pasal UU.

Sabar, Kritis dan Visioner

Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, saya masih ingat mata kuliah tata negara bahwa demokrasi, dengan segala cacat bawaan yang ada, adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Sistem kerajaan sudah usang dan tidak punya masa depan. Lalu teokrasi juga tidak jelas konsep dan aplikasinya, terlebih bagi Indonesia.

Dalam suatu wawancara dengan almarhum Mohamad Roem- waktu itu saya sebagai wartawan--, dia mengatakan sistem teokrasi yang benar itu hanya terjadi selama hidup Rasulullah Muhammad. Semuanya berasal dari wahyu Allah. Namun setelahnya sudah diserahkan pada ijtihad para ulama dan pemimpin. Makanya tak lama kemudian yang muncul adalah kerajaan. Beberapa negara muslim di Timur Tengah juga mengambil bentuk kerajaan. Raja memiliki kekuasaan penuh dengan referensi paham dan keyakinan agama yang dianutnya. Namun kepentingan dinasti yang menjadi prioritas. Hari ini kita tengah berjalan tertatih-tatih sambil menggerutu, berkeluh kesah, dan marah dengan penuh caci mengapa demokrasi yang kita perjuangkan belum juga mendatangkan hasil yang kita bayangkan?

Begitu mahal ongkos yang telah dikeluarkan rakyat dan negara, baik uang, pikiran, emosi maupun budaya, untuk mengawal jalannya demokrasi agar segera menyajikan hasilnya demi memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Namun yang dijumpai malah ribut-ribut, gaduh, serta pemerintahan yang tidak efektif. Pendeknya, pemerintahan produk pemilu yang demokratis dan diidentikkan sebagai hasil pilihan rakyat sampai hari ini masih saja mengecewakan dan menyakiti rakyat. Ini semua mesti kita terima dengan sabar dan kritis.

Bagi negara kecil yang penduduknya homogen dari segi budaya dan agama, mungkin sekali lebih mudah dan lebih cepat melakukan konsolidasi dalam berbagai bidang sosial, budaya, dan politik. Akan tetapi bayangkan saja, luas Indonesia yang terbentang dari Aceh sampai Papua, yang ekuivalen antara Teheran dan London, dengan beragam etnik dan ribuan pulau, sungguh memerlukan kesabaran untuk menciptakan kohesi kehidupan berbangsa. Sejak kemerdekaan tahun 1945 bangsa ini disibukkan terus-menerus oleh berbagai konflik yang muncul dari benturan pluralitas agama dan ideologi.

Ditambah lagi sekarang pengaruh itu datang secara deras dari pengaruh global. Maka semua itu semakin meningkatkan suasana gaduh dalam alam demokrasi yang semua orang merasa leluasa untuk bersuara. Namun, menarik diamati, kita mulai terbiasa dengan kegaduhan kritik dan argumen terhadap proses politik yang tengah berlangsung. Dulu kemarahan itu selalu ingin disalurkan melalui demonstrasi dengan mengerahkan massa di jalanan. Sekarang, meskipun massa jalanan masih tetap ada, media televisi dan surat kabar ikut ambil bagian untuk menyalurkan berbagai kritik dan emosi massa.

Peran media massa sangat positif untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara dan dapat mengurangi potensi benturan fisik antarpihak yang bersengketa. Saya terkesan dengan tampilnya para aktivis muda yang kritis yang tidak mau terjebak dalam tindakan destruktif dalam melakukan kritik. Begitu pun para presenter televisi yang masih sangat muda, tampan, cantik, dan cerdas, semua itu memberikan harapan bagi proses pendewasaan berdemokrasi di Indonesia. Dinamika politik yang tengah berlangsung saat ini selama dikawal untuk tetap berada dalam jalur hukum, dijaga etika sosialnya, disikapi semuanya dengan sabar dan kritis serta visioner bagi kejayaan masa depan bangsa, rasanya kita punya alasan untuk optimistis bagi kebangkitan Indonesia.

Satu catatan penting, ibarat bibit pohon, demokrasi akan tumbuh kokoh dan rindang jika pendidikan warganya bagus, ada ketegasan hukum, dan didukung oleh parpol yang kuat. Tiga syarat ini mesti dipenuhi agar bangsa ini tidak terlalu lama tersandera oleh perpecahan dan korupsi sehingga kita hanya sibuk berjalan dan bertengkar di tempat dengan ongkos amat mahal. Selesai bergabung dalam Tim Delapan, saya memang merasakan kelelahan fisik dan mental. Selama dua minggu bekerja penuh untuk memenuhi target yang diamanatkan kepada kami oleh Presiden dengan hasil yang telah kita ketahui bersama.

Namun yang membuat lelah hati dan mental adalah rasa kesal, sedih dan kasihan, mengapa masih saja banyak politikus dan pejabat tinggi negara yang mengkhianati kepercayaan rakyat, menggadaikan nurani, akal sehat, dan wibawa jabatannya hanya untuk berburu uang haram serta menyengsarakan rakyat? Jabatan dan kepercayaan itu begitu mulia dan efektif sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan, melayani rakyat, dan membangun negara. Berbagai fasilitas materi pun disediakan. Namun ego dan nafsu mengejar self-glory lebih menonjol ketimbang nuraninya sehingga tidak segan mengorbankan kanan-kiri serta rakyat.

Dalam hati muncul pertanyaan, prestasi dan kualitas hidup macam apa yang hendak dibanggakan dan diwariskan kepada keluarga dan generasi bangsa jika jabatan yang dikejar pada akhirnya hanya untuk sarana memenuhi selera hidup yang begitu rendah? Melihat fakta-fakta seperti itu, hati pun menjadi lelah, marah, dan kasihan.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
sumber : http://www.okezone.com

01 Desember, 2009

Lakon Baru : "Centurygate"


GUYONAN politik yang tersebar melalui pesan singkat dari ponsel ke ponsel dalam sebulan terakhir ini tampaknya mendekati kebenaran.

Isi guyonan politik itu, saya sadur sedikit agar kalimatnya tak terlalu menyeramkan, "Program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono: 30 hari pertama menyelesaikan kasus cicak versus buaya. 30 hari kedua sibuk soal skandal Bank Century atau ?~Centurygate'. 30 hari ketiga soal kasus Anggodo Widjaja. 10 hari terakhir menghadapi DPR dan MPR." Lakon "cicak vs buaya" belum seluruhnya rampung.

Bak sinetron kejar tayang, baik Istana maupun institusi-institusi penegak hukum masih sibuk mempersiapkan episode-episode berikutnya. Lakon kasus Anggodo Widjaja pun kini sedang ditayangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat para pemirsa masih bertanya-tanya bagaimana akhir dari lakon cicak vs buaya dan lakon Anggodo Widjaja, kini lakon baru pun muncul," Centurygate".

Pembabakan "Program 100 hari PemerintahanSBY-Boediono" versi guyonan politik itu tak berjalan secara linear. Sejak beberapa hari lalu DPR sudah mulai sibuk mengajukan hak angket terkait dengan skandal Bank Century. Kisahnya pun mirip drama dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan beberapa jaringan televisi swasta.

Ada upaya sabotase politik dari partai pendukung utama pemerintah yang menginginkan agar panitia hak angket dipimpin partainya SBY. Ada yang membela para pengusul awal dengan mengatakan adalah tidak etis secara politik jika fraksi di DPR yang tadinya menolak hak angket tiba-tiba mendukungnya dan ingin menjadi ketua panitia. Ada yang meminta perlindungan DPR jika dia terpaksa membeberkan aliran dana dari Bank Century sampai ke aliran dana terakhir, baik institusi ataupun individu.

Ada pula yang meminta perlindungan agar upaya mereka untuk mengungkapkan kejernihan jiwa, kebenaran, dan keadilan dilindungi oleh Yang Mahaperkasa, Tuhan sekalian alam. Lakon "Centurygate" memang penuh lika-liku, mirip cerita detektif Hercule Poirot karya Agatha Christie, kisah detektif Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, atau cerita detektif Conan karya Aoyama Gosho.

Aktornya pun beragam, ada Presiden, ada Wakil Presiden, ada Gubernur Bank Indonesia, ada Menteri Keuangan, ada Pengusaha Busuk, ada institusi-institusi yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), DPR, ada pula akademisi dan aktivis LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi alias Kompak.

Kita belum tahu apakah penguasa negeri ini juga menjadi salah satu aktor yang memainkan "peran antagonis" dalam lakon "Centurygate", hanya PPATK yang dapat menyimpulkannya dari aliran dana Bank Century. Namun, jika menilik pernyataan Kepala PPATK Yunus Husein, yang meminta perlindungan DPR, tentu lakon "Centurygate" ini bukan lakon biasa.

Jika ini hanya soal bahwa sesuai aturan hukum PPATK harus merahasiakan temuannya, kecuali kepada Presiden, mengapa Kepala PPATK tidak meminta perlindungan yang sama saat mengungkap kasus Miranda Goeltom yang diduga melakukan money politics saat fit and proper test oleh panitia di DPR untuk menduduki jabatan penting di Bank Indonesia? Sisi lain yang menarik dari lakon "Centurygate" ialah adanya dukungan penuh dari semua fraksi di DPR mengenai usulan hak angket atas skandal bank tersebut, padahal awalnya Partai Demokrat menentangnya.

Mengapa pula tiba-tiba Partai Demokrat ingin memimpin panitia hak angket jika memang kasus ini hanya persoalan perbankan dan ekonomi semata. Kita semua tentu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Adakah persoalan ini terkait dengan aliran "dana haram" dari pengusaha busuk ke Partai Demokrat atau individu keluarga Istana? Dalam ilmu politik ada istilah "bribes and kickbacks".

Artinya, adanya pengusaha-pengusaha yang melakukan penyogokan melalui dana kampanye politik para kandidat yang maju dalam memperebutkan kursi-kursi jabatan kepala pemerintahan seperti presiden/wakil presiden, gubernur, bupati, wali kota, jabatan-jabatan di lembaga legislatif atau jabatan-jabatan publik lain.

Harapan pengusaha adalah mendapatkan bola "tendangan balik" (kickbacks) dari penguasa/pejabat yang terpilih dalam bentuk konsesi-konsesi ekonomi atau proyek-proyek yang menguntungkan, dengan atau tanpa ikut tender. Money politics semacam ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, melainkan juga di negara maju dengan sistem demokrasi yang lebih dewasa, termasuk di Amerika Serikat.

Tidaklah mengherankan jika sejak awal adanya kontrak sosial antara penguasa dan rakyat seperti yang digagas Montesquieu atau Jean-Jacques Rousseau, sebagian besar aturan hukum yang diciptakan di dunia mengatur praktik politik penguasa atau yang memiliki jabatan publik. Tak mengherankan pula bila kemudian muncul gagasan mengenai pemerintahan yang bersih (clean government), kepemerintahan yang baik (good governance) atau tanggung-gugat publik (public accountability).

Kita berharap jalinan lakon "Centurygate" yang berliku-liku dan penuh pernik-pernik politik itu bukanlah "panggung sandiwara" yang penuh kebohongan publik. Kita bukan lagi berada di dalam suatu sistem politik yang tertutup dan otoriter atau sistem yang pada masa Eropa sebelum lahirnya Renaissance berlaku "court-politics" di mana ada penguasa negerinya dapat menjadikan sabda atau pernyataan politiknya lebih tinggi daripada hukum.

Saya teringat laporan investigatif tentang hak angket DPR RI mengenai "Centurygate"yang ditayangkan salah satu jaringan televisi swasta ibukota (MetroTV), Sabtu (28/11/2009). Hal yang mengagetkan saya ialah peribahasa yang dituturkan oleh pembawa acaranya, "Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah!" Terserah pembaca, apa makna peribahasa itu! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
sumber : www.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action