wirausaha online

22 April, 2010

Ibu Sang Presiden..


Seputar Hari Kartini yang jatuh pada 21 April, di media massa bermunculan tulisan tentang emansipasi kaum perempuan.

Meskipun terdapat kemajuan dalam berbagai bidang, aspek negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan perempuan sebagai korban tak kunjung mereda. Tulisan ini mengambil posisi bahwa emansipasi itu harus dimulai dari keluarga. Di dalam keluarga nilai-nilai tentang kepribadian yang positif serta penghargaan terhadap sesama ditanamkan sejak dini. Dalam hal ini peran ibu sangat menentukan dalam pembentukan kejiwaan anak. Artikel ini menyajikan contoh keteladanan proklamator kemerdekaan Indonesia yang pembentukan karakter mereka sudah dimulai sedari kecil. Soekarno dilahirkan di tengah keluarga yang sudah mengenal pluralisme. Tidak mengherankan kalau di kemudian hari beliau sangat menghargai kemajemukan.

Orang tua Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai Srimben yang menikah dengan Raden Soekeni Sosrodihardjo, seorang guru di Singaraja. Perkawinan beda suku agama yang mulanya ditentang pihak keluarga, membuahkan putri pertama bernama Soekarmini tahun 1899. Soekeni pindah mengajar ke Surabaya dan dua tahun kemudian lahir Koesno yang kemudian menjadi Soekarno. Jadi, sejak kecil Soekarno sudah hidup dalam keluarga yang menerapkan bhineka tunggal ika. Dua ratus meter dari rumah mereka terdapat kediaman HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, yang kemudian menjadi tempat kos Soekarno. Waktu Soekarno di Penjara Sukamiskin, Bandung, tahun 1927, Nyoman Srimben datang menjenguk.

Ketika ditanya sipir penjara Belanda, dia menjawab, “Ibune Soekarno”. Sipir itu marah-marah karena perempuan tersebut tidak berbahasa Belanda, sedangkan Soekarno tertawa geli. Setelah putranya menjadi Presiden RI, Nyoman Rai Srimben tidak mau datang ke Istana. Justru anaknya yang disuruh ke rumahnya di Blitar. Dia adalah seorang ibu yang berwibawa dalam kesederhanaannya. Dalam berbagai foto terlihat Bung Karno yang sedang sungkem di depan ibunya di sana. Tahun 1958, ketika ibunya sakit keras, Soekarno segera berangkat ke Blitar dan sempat melepas kepergian ibunya menghadap sang Pencipta. Para anggota kabinet mencarter pesawat agar dapat hadir dalam acara pemakaman.***

Bagi Hatta (semula bernama Attar “harum”, kemudian dipanggil Atta lalu jadi Hatta) ibu juga tokoh sentral karena ayahnya meninggal sewaktu ia kecil. Ibunya, Saleha, sangat menyayanginya. Tatkala putranya di buang ke Digul, sang ibu mengirimi rendang. Rendang, masakan kesukaan Hatta, setiap kali harus ada di meja makan. Rendang itu dikirim ke Papua dalam kaleng mentega yang dipatri kembali agar minyaknya tidak tumpah. Yang tidak kalah penting pengaruhnya bagi perkembangan kejiwaan Hatta adalah pendidikan yang diberikan neneknya, Siti Aminah, untuk bersikap berani karena benar. Suatu ketika 30 ekor kuda milik sang nenek ditembak Belanda. Nenek marah dan menemui residen dengan pistol terselip di pinggang. Perempuan itu tidak takut kepada siapa saja bila haknya dirampas.

Perjuangan kemerdekaan telah menjadikan Soekarno dan Hatta sebagai proklamator. Namun, seorang diantara keduanya belum menikah karena telah berikrar tidak kawin sebelum Indonesia merdeka. Soekarnolah yang mencarikan jodoh bagi sahabatnya yang telah berusia lebih 40 tahun. Dan mengenalkannya dengan Rahmi yang kemudian dilamar di Bandung. Pernikahan itu dilangsungkan di Megamendung. Sebagai mas kawin, Hatta menyerahkan buku karyanya, Alam Pikiran Yunani. Padahal, ibunya sudah berkata, ”Saya mempunyai beberapa ringgit emas, berikanlah itu sebagai mas kawin”. Namun bagi Hatta, buku lebih berharga daripada emas. Tahun 1956, dwitunggal Soekarno- Hatta menjadi tanggal.

Hatta yang berbeda pendapat dengan Soekarno tentang penyelenggaraan negara memutuskan mundur. Walaupun demikian, hubungan pribadi antarkeduanya tetap baik. Kadang-kadang Hatta menulis surat kepada Bung Karno bila ada hal-hal yang dirasanya tidak tepat. Sejak 1968 boleh dikatakan Soekarno mengalami “tahanan rumah”.“No, apa kabar ?” panggil Hatta ketika membesuk di tempat tidur. Soekarno membuka matanya dan memandang beberapa lama sebelum mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda. Hatta memijit lengan Bung Karno, air mata Presiden RI pertama itu menetes ke bantal. Pertemuan terakhir antara kedua proklamator berlangsung selama 30 menit. Beberapa hari kemudian (pada bulan Juni 1970) Soekarno berpulang. Hatta sendiri wafat bulan Maret 1980.

Pada saat-saat terakhir, istri Soekarno, Fatmawati, membimbing dia membaca kalimat syahadat. Hatta mengikuti dengan suara terbata-bata sebelum menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Namun, tepat dua bulan kemudian Fatmawati juga berpulang ke rahmatullah. Fatmawati adalah perempuan yang memegang prinsip dengan teguh. Ketika Soekarno menyatakan keinginan untuk menikahinya karena tidak memperoleh anak dari istrinya, Inggit Garnasih, Fatmawati tidak mau dimadu. Kelak di kemudian hari, tatkala Presiden RI pertama itu mengawini Hartini, maka Fatmawati memilih tinggal di luar istana.***

Dalam usia 13 tahun BJ Habibie ditinggal wafat ayahnya, AA Habibie, bekas Kepala Jawatan Pertanian Sulawesi Selatan. Ibunya yang berasal Yogyakarta, membesarkannya. ‘’Sedang hamil delapan bulan, Ibu bersumpah di sisi jenazah Ayah, akan menyekolahkan anak-anaknya,’’ kata anak keempat ini. Dia, atas anjuran ibunya, sendirian berangkat ke Bandung untuk masuk SMP. Ibunya menyusul kemudian setelah dia kelas dua SMA. Setahun di ITB, atas usaha ibunya, dia beroleh beasiswa P&K untuk belajar di Jerman Barat. Sementara itu, ibunya berdagang dan menyewakan pemondokan kepada para mahasiswa. Nyai Salihah binti Bisri Sjansuri atau Nyai Wahid Hasyim, ibu dari Gus Dur, juga seorang perempuan pemberani.

Suatu siang terdengar suara mobil patroli Belanda berhenti mendadak di depan rumah, Nyai Wahid Hasyim dengan sigap mengambil bundelan dokumen penting dari dalam lemari Kiai Wahid Hasyim dan dibawanya ke sumur di belakang rumah. Sembarangan dia raih pula beberapa potong pakaian yang terjangkau tangan. Bundelan dokumen itu diletakkannya di lantai sumur, lalu ditutup dengan ember yang ditengkurapkan. Pakaian-pakaian dimasukkan ember lain, lalu diguyur air sedapatnya. Nyai Wahid menduduki ember penutup dokumen itu dan mulai mengucek pakaian. Serdadu Belanda membentak- bentak namun Nyai Wahid diam saja. Putus asa, si komandan berbalik, membawa pergi anak buahnya dengan tangan hampa.

Tanggal 23 Februari 2010, ibunda SBY, Siti Habibah (83 tahun), dirawat di RS Husada Jakarta Pusat karena mengalami gangguan di bagian empedu. SBY yang didampingi Ani Yudhoyono berujar, “Saya berada di Rumah Sakit Husada ini untuk menunggui ibunda saya,” kata SBY. Sementara beberapa agenda kepresidenan terpaksa diwakilkan kepada Wapres Boediono, salah satunya, peresmian Tol Kebon Jeruk-Penjaringan.

Penggalan sejarah di atas mengungkapkan pentingnya ibu serta peran sentral keluarga bagi pembentukan karakter seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dari dulu sampai sekarang.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
www.okezone.com

07 April, 2010

Jupe sebagai kritik sosial...


Siapa di negeri ini yang tak kenal Jupe alias Julia Perez? Pelantun Belah Duren ini termasuk selebritas yang paling sering mendapat liputan media, terutama infotainment.

Jupe sering menjadi buah bibir karena ucapan dan perilakunya yang blak-blakan terkait hal-hal dalam hubungan intim yang banyak ditabukan masyarakat. Saat ini, heboh Jupe sudah merambah ke luar wilayah asalnya di jagat hiburan: Jupe kini terjun ke panggung politik. Tak tanggung-tanggung, Jupe terjun ke dunia baru baginya ini dengan membuat gebrakan: langsung menjadi bakal calon Wakil Bupati Pacitan, Jawa Timur. Banyak orang di Pacitan merasa tidak rela ”tanah air”-nya dipimpin figur yang ”cuma” sekelas Jupe. Padahal, banyak pemimpin nasional negeri ini berasal dari sana, termasuk Presiden SBY. Tindak-tanduk Jupe sebagai selebritas tentu saja menjadi bahan penilaian utama kelayakannya menjadi seorang bupati.

Sebagai artis, Jupe tidak dikenal sebagai artis yang kritis menyuarakan kritik sosial semacam Dedi Mizwar, Iwan Fals, Dik Doang, atau anggota grup band Slank. Jupe cuma artis yang tenar karena sering tampil ”buka-bukaan”. Apalagi Jupe belum pernah sekalipun mengunjungi Pacitan dan mengenali masyarakatnya. Dari perspektif hak asasi manusia, Jupe tak bisa dilarang untuk menjadi seorang bupati, bahkan presiden sekalipun. Jupe memiliki hak setara SBY, Boediono, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, atau siapa pun warga negeri ini untuk maju menjadi pemimpin publik dan politik. Dalam tulisan ini saya akan lebih menyoroti pencalonan Jupe dalam kerangka kritik sosial terhadap kondisi kepemimpinan publik dan politik kontemporer di Indonesia.***

Harus disadari, kepemimpinan publik dan politik (public leadership) kita saat ini sedang mengalami krisis akut. Kepemimpinan publik kita, dari tingkat nasional hingga tingkat RT, dipenuhi kamuflase, korupsi, dan ketidakpedulian pada kaum marginal. Sulit sekali dalam kepemimpinan publik sekarang ditemui pemimpin dengan konsep kuat tentang kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal-hal urgen yang menjadi tanggung jawab pemimpin semisal orientasi pada pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum dan keadilan seperti mudah diabaikan begitu saja oleh seseorang yang menjadi pemimpin di negeri ini.

Di sisi lain, dengan wajah kepemimpinan seperti itu, menjadi seorang pemimpin sepertinya merupakan hal yang mudah dan simpel. Katakanlah, menjadi seorang presiden cukup hanya dengan menjaga citra di depan media; menjadi menteri cukup dengan menjadi ketua atau anggota sebuah partai politik dan berkoalisi dengan partai berkuasa (the ruling party); menjadi gubernur cukup hanya dengan kaya dan menjadi bupati cukup dengan popularitas. Krisis leadership juga tergambar pada bagaimana seorang pejabat publik tidak bisa menjaga marwah-nya sebagai pemimpin.

Di suatu kegiatan kampanye tentang save sex melalui penggunaan kondom di suatu kabupaten di Aceh, misalnya, hadir bupati daerah tersebut yang mendapat kesempatan menyampaikan sambutan. Sang Bupati justru menyatakan, ”Memakai kondom, sama saja dengan membungkus lidah kita dengan plastik saat akan makan yang membuat makan menjadi tidak terasa nikmat!” Betapa krisisnya kepemimpinan di negara ini! Seorang pemimpin yang kredibel tidak akan menyampaikan pendapat atas nama kepentingan sendiri dengan ”merelakan” omong kosong tentang nilai seperti itu. Artinya, jika mau mengucapkan omongan tak bernilai, tidak perlu menjadi seorang bupati.

Di tengah krisis kepemimpinan tersebut, muncullah figur seperti Jupe–atau Ayu Azhari yang beberapa waktu lalu terlibat dalam bursa calon Wakil Bupati Sukabumi. Jupe hanya mewakili cara bagaimana perspektif kepemimpinan yang sedang krisis itu bekerja. Jupe adalah sebuah kritik sosial atas situasi kepemimpinan yang tidak ”amanah”, tidak prorakyat, dan tidak bekerja keras mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Jupe adalah kritik sosial atas kepemimpinan publik yang sedang sakit, di mana menjadi pemimpin tidak usah pusing-pusing harus memiliki integritas, kredibilitas, kapabilitas, dan kapasitas.***

Krisis kepemimpinan publik juga pernah melanda Amerika Serikat di masa George Walker Bush. Kemunculan Barack Obama sebagai pemimpin alternatif menjadi mulus bukan saja karena Obama sendiri, tapi karena respons sosial atas krisis kepemimpinan politik itu. Yang menarik dari pengalaman Amerika Serikat adalah respons kritis di sana memunculkan kepemimpinan harapan (leadership of hope), dengan standar nilai baru bagi seorang pemimpin Negeri Paman Sam pada diri Obama.

Bedanya, di negeri kita respons terhadap krisis kepemimpinan tidak berbentuk leadership of hope, tapi satirical leadership. Kemunculan Jupe, Ayu Azhari, dan figur lain yang dianggap tak berkelas menjadi pemimpin politik merupakan satire atas kondisi krisis kepemimpinan ini. Sebagai satire, jika kita sudi menjadikannya bahan pelajaran, maka perdebatannya tidak sekadar pada aspek Jupe sebagai artis blak-blakan yang masih bau kencur dalam dunia kepemimpinan politik. Sebagai satire sosial, kehadirannya, seharusnya, menjadi bahan refleksi secara utuh atas situasi kepemimpinan publik kita. Kritik sosial ini berlaku untuk semua elemen bangsa, tak cuma politisi dan aktivis partai. Bagi para feminis, ini juga bisa menjadi kritik penting tentang kepemimpinan perempuan.

Meski tanggung jawab kepemimpinan perempuan bukan cuma pada feminis, tapi setidaknya ini menunjukkan para feminis masih belum mampu mengatasi berbagai hambatan dalam menghadirkan kepemimpinan perempuan yang kredibel dan kapabel. Sebagai kritik sosial, kemunculan Jupe harus menjadi bahan refleksi dan kesadaran sosial tentang kepemimpinan politik kita. Utamanya, menyadarkan para pemimpin negeri ini untuk tidak seenaknya dalam menjalani jabatan sebagai pemimpin publik; mereka harus lebih serius dan bekerja keras untuk terpenuhinya hak-hak masyarakat akan kesejahteraan dan keadilan jika tidak mau disamakan dengan (calon) pemimpin publik/politik yang ”cuma” sekelas Jupe.

Akhirnya, sebagai modal awal, ketika Jupe ramai-ramai diragukan untuk menjadi bupati, artinya kita masih punya standar kepemimpinan yang harus memiliki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas. Sebagai standar, ia harus diterapkan secara adil, pada semua pemimpin dan calon pemimpin, bukan hanya pada Jupe. Siapa pun harus menyadari, di tengah bangsa yang sedang berjuang menanam demokrasi sejati yang berujung pada kesejahteraan dan keadilan, harus selalu berkembang pemikiran bahwa menjadi pemimpin di negeri ini bukan hal mudah dan ”main-main”. Siapakah yang masih peduli?(*)

Farid Muttaqin
Peneliti pada Puan Amal Hayati, Alumnus Ohio University, AS
sumber : www.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action