wirausaha online

19 Agustus, 2010

Beragama yang (Tidak) Hegemonik


Suatu ketika, pada tahun ketiga setelah hijrah, Abu al- Husain dari keluarga Bani Salim Ibn Auf datang menemui Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu, kondisi umat Islam sudah cukup kuat. Jumlah kaum muslim terus bertambah.

Abu al-Husain memiliki dua orang anak laki-laki yang memeluk agama Nasrani sebelum kenabian Muhammad. Setelah datangnya Islam, kedua anak Abu al-Husain menyusul ke Madinah. Sebagai seorang ayah, Abu al-Husain berusaha sedemikian rupa agar kedua anaknya memeluk Islam. ”Saya tidak akan membiarkan kamu berdua hingga kamu masuk Islam,” kata Abu al- Husain. Demi melihat sikap ayahnya yang selalu memaksakan kehendaknya, mereka bertiga menghadap Rasulullah.

Di hadapan Rasulullah, Abu al-Husain berkata: ”Apakah sebagian tubuhku akan masuk neraka dan aku diam saja?” Pertanyaan Abu al-Husain dijawab Allah dengan menurunkan wahyu surat Al-Baqarah, 2:256: ”Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). (Karena) sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.”

Demikianlah kisah yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibn Hibban, al-Nasai, al-Suddiy dan Ibn Jarir sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Wajiz (Damaskus,Dar al-Fikr,1415 H: 43). Ayat tersebut dan asbab alnuzul- nya secara terang benderang menunjukkan bagaimana ajaran Islam tentang toleransi beragama.

Dalam konteks ini, Alquran tidak hanya memberikan kebebasan beragama (freedom of religion), bahkan kebebasan untuk tidak beragama (freedom from religion). ”Dan katakanlah: ’Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman. Dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...’,” (Qs.18,al-Kahfi: 29).

Hegemoni Beragama

Ajaran Alquran tentang kebebasan dan toleransi beragama di atas, nampaknya kontradiktif dengan perilaku sebagian kaum muslim di Indonesia yang cenderung hegemonik. Baru-baru ini sekelompok Ormas Islam menyerang jemaat gereja HKBP di Bekasi, Jamaah Ahmadiyah di Kuningan dan Patung Bima di Jawa Barat. Pada awalnya, istilah hegemoni dipergunakan dalam ranah politik kekuasaan.

Hegemoni berarti leadership dalam pengertian penguasaan, kontrol dan dominasi suatu negara atas lainnya. Hegemoni suatu negara dapat berbentuk dominion, protektorat atau bahkan persemakmuran. Dalam perkembangannya, hegemoni dipergunakan dalam konteks yang luas seperti ekonomi, agama dan kebudayaan.

Walaupun pengertiannya sedikit berbeda, substansi hegemoni tetaplah sama: kungkungan (possession), dominasi, kontrol atau tekanan oleh mayoritas terhadap minoritas (majority over minority), atau dari yang kuat (the powerful) atas yang lemah (the powerless). Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa hegemoni keagamaan tidak hanya dilakukan oleh kelompok muslim. Di beberapa wilayah minoritas muslim, hegemoni dilakukan oleh kelompok agama lain: Kristen, Katolik, Hindu, dll.

Hegemoni keagamaan juga terjadi dalam lingkup internal suatu agama. Misalnya, dominasi Sunni atas Syiah di Arab Saudi, dan sebaliknya, hegemoni Syiah atas Sunni di Iran. Pada umumnya, hegemoni keagamaan terjadi pada ranah penafsiran atau pemahaman agama. Kelompok mainstream berusaha mempertahankan penafsiran yang mapan. Oleh kelompok ini, penafsiran baru dikhawatirkan menimbulkan pergeseran pranata dan otoritas tradisional yang turun-temurun.

Demi membela wibawa tradisional, setiap penafsiran baru cenderung dicurigai dan ditolak. Penolakan dapat berbentuk label menyimpang, sesat atau sempalan melalui fatwa atau legal administration yang dikeluarkan otoritas keagamaan. Contohnya, PNPS/1965 tentang penistaan agama. Penetapan ini tidak menjelaskan maksud dan bentuk-bentuk penistaan agama, tetapi justru memuat larangan penafsiran agama dan menyebarkan luaskan kepada masyarakat.

Semua pihak setuju bahwa menghina ajaran, tokoh atau simbol-simbol agama merupakan perbuatan kriminal. Tetapi, menafsirkan ajaran agama adalah bagian dari hak kebebasan berpendapat yang dijamin UUD. Sepanjang tidak melanggar hukum, penafsiran atas agama tidak boleh dilarang. Bentuk hegemoni yang kedua adalah melalui berbagai peraturan tentang ruang gerak dan ekspresi keagamaan. Bagaimanapun, peraturan tentang kegiatan keagamaan tetap diperlukan.

Ekspresi keagamaan adalah bagian inheren pengamalan agama. Ekspresi individual dalam properti pribadi harus dianggap wilayah private. Tetapi ekspresi dan pengamalan agama secara kolektif di ruang publik akan sangat terkait dengan masalah tata ruang, kenyamanan, etika dan keadaban masyarakat.

Di sinilah konteks dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama nomor 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri nomor 9/2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/ wakil kepada daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum komunikasi umat beragama dan pendirian tempat ibadah. PBM sangat penting jika dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan dan harmoni kehidupan keagamaan. Tetapi, kalau semangatnya adalah membatasi ekspresi pengamalan agama di ruang publik, maka PBM telah menjadi bagian dari hegemoni keagamaan.

Mematuhi Aturan Bersama

Peraturan Bersama Menteri Agama nomor 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri 9/2006 merupakan peraturan yang disusun bersama-sama oleh para tokoh agama, perwakilan organisasi keagamaan dan pemerintah. Karena itu, pelaksanaannya tidak mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga umat beragama. Berbagai persoalan tindak kekerasan bernuansa agama yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh lemahnya komitmen pihak-pihak terkait untuk melaksanakan PBM sebagaimana mestinya.

Faktor yang memicu kekerasan sebagai bentuk hegemoni agama adalah pembiaran. Sesuai dengan PBM, penciptaan kerukunan kehidupan beragama merupakan tanggung jawab pemerintah daerah: gubernur, bupati/walikota dan seluruh jajarannya. Masalah kerukunan kerap kali disebabkan adanya umat beragama yang menunaikan ibadah di tempat ibadah yang tidak memenuhi persyaratan.

Dalam beberapa kasus, pembiaran pelanggaran terjadi karena ”balas budi politik”, proses yang tidak transparan dan penyuapan. Kekerasan bisa menjurus ke konflik ketika pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan masalah secara netral. Bentuk pembiaran yang lainnya adalah tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan. Fenomena pembiaran terjadi karena dua faktor.

Pertama, faktor politik yang berdampak pada kegamangan aparat keamanan menindak tegas pelaku kekerasan karena sensitivitas isu-isu keagamaan. Kedua, masalah psikologis sebagai ekses dari kekerasan komunal dengan aparat keamanan. Dalam beberapa kasus, opini publik lebih berpihak kepada massa dan menyalahkan aparat. Karena itu, aparat keamanan memilih ”diam” keselamatan diri dan korps.

Apa pun alasannya, pembiaran tindak kekerasan oleh aparat keamanan tidak dapat dibenarkan. Aparat keamanan selaku aparatur negara tidak boleh takluk pada kehendak segelintir orang atau kelompok tertentu. Tugas aparat keamanan adalah menjamin kedaulatan hukum dan negara. Pembiaran tindak kekerasan bisa menjadi preseden terjadinya aksi-aksi kekerasan yang lainnya.

Beribadah di tempat yang tidak sesuai peraturan adalah perbuatan melanggar hukum. Tapi, menyerang dan menghalangi kegiatan ibadah adalah perbuatan kriminal yang bertentangan dengan ajaran agama dan hak asasi manusia. Di atas semua itu, hegemoni keagamaan bisa dihindari jika ada perubahan mindset dalam diri umat beragama.

Setiap warga negara dan penyelenggara negara harus mematuhi dan menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Beragama adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Kebenaran bukanlah milik pribadi atau kelompok mayoritas. Siapa pun berhak memilih agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Menghormati perbedaan keyakinan pada hakikatnya adalah penghormatan kepada kemanusiaan dan pengakuan kebenaran firmanTuhan.(*)

Abdul Mu’ti
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah
sumber : wwww.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action