wirausaha online

18 Januari, 2010

Entrepreneur Organik dan Kesejahteraan Petani


Kata entrepreneur akhir-akhir ini menjadi pesona yang menggiurkan masyarakat. Hal ini punya alasan karena dalam faktanya mereka yang mendapat julukan entrepreneur adalah orang-orang sukses dalam dunia bisnis. Keinginan hidup sejahtera di tengah-tengah keterpurukan ekonomi saat ini membuat mereka merasa perlu menggali potensi dari para entrepreneur sukses. Kalau dirujuk dari akar bahasa, entrepreneur itu sendiri berasal dari bahasa Prancis; entrependere. Secara simple bisa diartikan sebagai usaha yang di dalamnya mengandung potensi sekaligus risiko yang sulit. Dalam bahasa Indonesia selama ini kata entrepreneur diterjemahkan sebagai wirausaha, pelakunya adalah wirausahawan.

Selama ini kita mengenal dua kategori entrepreneur, yakni entrepreneur murni dan entrepreneur sosial. Yang pertama merujuk pada sosok wirausahawan yang sukses secara material untuk dirinya sendiri. Sedangkan yang kedua, selain sukses ekonomi secara pribadi, entrepreneur sosial adalah mereka yang memiliki jiwa sosial karena mendermakan hartanya atau membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Tetapi menurut saya, mestinya ada satu kategori lagi, yakni istilah Entrepreneur Organik. Kategori ini layak dialamatkan pada sosok entrepreneur yang selain mampu mempraktikkan jiwa Entrepreneur Sosial di atas, juga mampu menciptakan beragam pekerjaan melalui pemberdayaan dan menghasilkan entrepreneur-entrepreneur mandiri yang mengikuti jejak langkahnya.

Letak perbedaan kontras antara Entrepeneur Sosial dengan Entrepreneur Organik juga bisa dilihat pada proses. Kalau Entrepreneur Sosial setelah menikmati kesuksesan baru kemudian bekerja untuk kepentingan orang lain, Entrepreneur Organik memproses secara bersama sejak ia memulai usahanya. Istilah ini merujuk dari definisi ‘Intelektual Organik’ yang diciptakan Antonio Gramsci. Cendekiawan Kiri dari Italia itu membedakan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Yang pertama adalah mereka para intelektual kampus, yang mahir dalam rumus, teori, wawasan dan sedikit paham lapangan. Sedangkan Intelektual Organik adalah sosok intelektual yang selain memiliki kemahiran diskursus pengetahuan, juga memahami serta bermain langsung dalam lapangan.

Intelektual Organik ini tidak mempercayai transformasi sosial hanya dengan pola pendidikan eksklusif seperti diskusi dan pelatihan singkat. Intelektual Organik hanya percaya, kemajuan rakyat akan tercapai kalau digerakkan melalui kombinasi teori dan praktik secara langsung dalam kurun perjuangan panjang bertahun-tahun. Karena kebutuhan kepemimpinan langsung inilah Intelektual Organik merasa wajib terjun ke gelanggang kehidupan massa rakyat; memotivasi, memberikan arah dasar gerakan, memimpin langsung dengan segala risiko dan melindungi kehidupan warga. Kalau Intelektual Organik sifatnya lebih luas dalam kepemimpinan politik, maka Entrepreneur Organik adalah mereka yang memimpin secara khusus di bidang ekonomi.

Di Kaki Gunung Patuha

Adakah sosok Entrepreneur Organik di Indonesia? Tentunya ada. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin berbagi dengan satu sosok yang tak jauh dari lingkungan kita, di Bandung. Makhluk itu bernama Fuad Afandi, pemimpin Pondok-Pesantren Al-Ittifaq, di desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. “Kesuksesan” ulama dari lereng Gunung Patuha dalam dunia agribisnis dan kegiatan sosial paling tidak telah menandaskan ada kekuatan kepemimpinan sejati dari seorang kiai yang mampu memberdayakan kehidupan masyarakat untuk tujuan materi dan ruhani. Ratusan hektare tanah di Rancabali yang pada tahun 1970-an tidak digarap kini menjadi lahan yang mampu menyejahterakan ribuan keluarga petani, bahkan mendorong kemajuan di bidang jasa dan bisnis lainnya. Al-Ittifaq, yang berarti kerja sama telah membuktikan bahwa masyarakat pedalaman yang terbiasa hidup terkungkung dalam imajinasi alam agraris kini telah menjadi masyarakat yang lebih egaliter, moderat, berwawasan dan tentu saja lebih beradab. Dalam masa perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan sejak tahun 1970-an, Fuad Afandi telah membuktikan koperasi bukan sekadar slogan politik, melainkan benar-benar menjadi pilar kesejahteraan kaum tani.

Lebih dari 300 anak-anak bangsa dari golongan dluafa ia berdayakan menjadi entreprenuer-entrepreneur muda tanpa biaya sepeser pun. Jaminan makanan, pakaian dan papan disediakan secara khusus. Ratusan santri dluafa itu mengelola puluhan hektar tanah yang ditanami 28 jenis sayuran sesuai dengan permintaan pasar. Pola kerja sama yang diterapkan dengan mengikuti perkembangan pasar modern membuat hasil panen stabil.

Selain membuka pendidikan ekonomi dan agama bagi kaum dluafa, Fuad Afandi juga membuka pendidikan modern berkualitas tinggat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar (yang mampu) untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus ke kota. Orang boleh bilang bahwa menjadi petani itu berarti menjadi miskin. Tetapi di tangan sang Entrepreneur Organik jebolan kelas 4 Sekolah Rakjat (SR) itu ternyata kesejahteraan petani benar-benar mewujud. Seandainya Deng Xiaoping masih hidup dan menengok kehidupan petani di kaki Gunung Patuha, barangkali Deng akan bangga karena ucapannya terbukti: “menjadi kaya itu mulia.” Dan para petani itu mulia karena tidak terjebak dalam kubang kemiskinan menjadi kuli-kuli miskin di kota.

Faiz Manshur
Penulis Buku Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses KH Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat "Sayuriah"-nya
sumber : www.okezone.com

12 Januari, 2010

Susno Duadji : Polisi Kontroversial


Kesaksian mantan Kabareskrim Susno Duadji dalam persidangan Antasari Azhar mengundang kontroversi. Secara kebetulan, segera setelah itu fasilitas ajudan dan mobil Susno ditarik Mabes Polri. Makanya tafsiran jadi “ke mana-mana”.

Apalagi Kapolri membentuk tim khusus untuk mengkaji kehadirannya yang mungkin dilanjutkan dengan persidangan internal. Selalu ada yang pro dan kontra terhadap kejadian serupa ini. Akankah Susno Duadji berhenti dari Polri? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kontroversi sebagai perdebatan, persengketaan, pertentangan. Agaknya dalam kasus Susno terjadi ketiga-tiganya: diperdebatkan, disengketakan, dan dipertentangkan. Susno Duadji memang kontroversial.

Dimulai dari penampilan hingga “kelakuannya” memang sering kali mengundang kontroversi. Tengok saja berbagai perjalanan jabatannya, terutama sejak menjabat sebagai kapolda hingga Kabareskrim. Saya tidak bermaksud bicara kesukuan. Namun kenyataannya memang suku/asal seseorang terkadang erat berkaitan dengan sepak terjangnya.

Pemimpin kita telah mempertontonkan bahwa pada sepak terjang masing-masing ada juga kontribusi latar belakang budayanya. Seandainya ada yang menilai Susno Duadji adalah sosok yang kontroversial, mungkin itu erat kaitannya dengan lingkungan daerah yang membesarkan beliau. Suatu lingkungan yang terbuka, direct, tanpa basa-basi. Pribadi yang berani mengambil risiko. Bagi sebagian orang, kelakuan Susno sering kali kontroversial.

Dalam kasus Bibit-Chandra, publik telanjur menduga dan memiliki persepsi “keterlibatan Polri”. Persepsi yang belum tentu benar. Dalam kondisi ini pastilah semua jajaran Polri diharapkan diam seribu bahasa. Irit bicara. Jika ingin berbicara harus terpola dan melalui satu pintu saja. Dalam kondisi Polri tiarap dan sensitif ini, justru Susno “menyelonong di siang bolong”, muncul di persidangan Antasari.

Berpakaian dinas lengkap pula. Gegerlah Indonesia. Mabes Polri seakan diguncang tsunami. Apakah tindakan Susno Duadji yang hadir di persidangan Antasari tergolong patut dipersalahkan? Ataukah tindakan itu semata-mata dikarenakan beliau sakit hati dicopot dari posisi Kabareskrim? Apalagi kemudian juga dikait-kaitkan dengan batalnya beliau menjadi Wakapolri.***

Ada beberapa hal yang ingin saya bahas. Masalah pertama adalah soal sosok kontroversial Susno Duadji. Bagi saya kontroversi tidak dikonotasikan negatif. Bahkan dalam hal tertentu “hentakan-hentakan” itu dibutuhkan di tengah-tengah negeri yang terus berbenah ini. Bayangkan seandainya Indonesia hanya diisi oleh para pemimpin yang cuma mencari aman, tidak berani mengambil risiko (risk taking).

Perilaku “biasa-biasa saja” dapat diterjemahkan kontroversial di tengah kelompok orang yang hanya ingin berteduh di tengah adem ayemnya kekuasaan. Menjadi sosok yang “meletup-letup” tanpa mengenal rasa takut pastilah melahirkan kontroversi. Susno Duadji memang memiliki pengalaman panjang sebagai polisi yang kontroversial. Kita simak beberapa hal saja. Pertama ketika beliau menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.

Provinsi ini, ketika itu, dalam kondisi sangat rawan pungutan liar, termasuk dalam urusan lalu lintas. Susno mengumpulkan semua polisi terkait dengan bidang tugasnya. Mulai dari pangkat ajun komisaris polisi (AKP) hingga komisaris besar (kombes). Mereka diminta menandatangani akta kesepakatan bersama untuk tidak melakukan pungli. Di saat itu pernyataan Susno yang terkenal, “Jangan pernah setori saya.” Kontroversial sekali karena kebijakan dan komentar itu menyodok ke mana-mana. Termasuk menampar muka Polri. Kedua, di tengah masyarakat dan para penggiat hak asasi manusia (HAM) mewanti-wanti kelakuan Polri yang ringan menembakkan senjatanya, justru Kapolda Susno Duadji “bikin sensasi”. Dia malah memerintahkan “tembak di tempat” terhadap para penjahat yang mencoba melarikan diri dari kejaran polisi.

“Senjata polisi dibeli dari uang rakyat yang memang untuk menembak orang (jahat), bukan hanya untuk petantang-petenteng. Jika pada saatnya gunakan senjata itu. Kalaupun salah tembak, itu soal sial saja,” ungkapnya saat itu. Bukankah ungkapan-ungkapan itu tergolong kontroversial? Namun dalam soal ketegasan, patut dipuji. Masyarakat menilai sebagian dari polisi kita memang agak lembek ketika harus bersikap keras.

Ketika menjadi Kabareskrim, kekontroversialan Susno Duadji tidak juga berhenti walaupun bagi saya, itulah watak Bhayangkara sejati yang tidak pernah memikirkan risiko duniawi yang mungkin terjadi. Susno kemudian mendapat gelar sebagai pencipta ungkapan “cicak melawan buaya”.

Buaya diidentikkan dengan polisi dan cicak dianalogikan sebagai KPK. Ini berdasarkan pernyataan Susno, “Ibaratnya di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.” Pernyataan yang kontroversial dan segera meledak, laku dijual dalam berbagai rupa.***

Tanda-tanda Susno yang akan semakin berani sudah ada. Ketika diperiksa oleh Tim 8, dia mulai menunjukkan amarahnya karena dituduh menerima uang dalam jumlah miliaran rupiah dalam kasus Bank Century. Dia marah besar. Sumpahnya juga meledak di DPR RI ketika dilakukan pertemuan antara jajaran Polri dengan para wakil rakyat.

Kegarangan dan kekontroversialan itu makin menjadi setelah dia (benar-benar) tidak aktif lagi sebagai Kabareskrim Polri. Ia diberhentikan melalui telegram rahasia bernomor 618/ XI/2009 tanggal 24 November 2009. Susno “bernyanyi ke mana-mana” di media secara luas. Tidak sedikit pun ada ekspresi takut darinya.

Puncak kontroversi itu adalah kesaksiannya dalam persidangan Antasari, Kamis, 7 Januari 2010. Dia memenuhi panggilan untuk bersaksi. Berpakaian lengkap. Kesaksian jenderal berbintang tiga di tengah hiruk-pikuk opini publik tentang Polri pastilah mengundang kontroversi. Sebagaimana dugaan banyak orang, kehadiran Susno sebagai saksi Antasari menggegerkan dunia kepolisian. Pro dan kontra muncul ke permukaan.

Jika semata-mata kedatangan itu memenuhi panggilan persidangan, tidak ada yang patut mempersalahkan Susno. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur pentingnya keterangan saksi. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri.

Lebih lanjut Pasal 65 KUHAP mengatur, “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.” Hukum juga dapat memaksa seseorang yang mangkir atas panggilan sebagai saksi atau siapa saja yang menghalanghalangi seseorang untuk bersaksi di pengadilan.

Dalam kasus Susno, para pengacara telah mengirimkan surat kepada Kapolri agar Susno diizinkan untuk memberi kesaksian dalam kasus Antasari. Kita juga mengetahui dari media bahwa Susno telah pula meminta izin melalui SMS. Mungkin kedua hal ini telah menjadi cukup alasan baginya untuk menjalankan kewajiban hukumnya. Jika menunggu jawaban pasti dari Kapolri, ada beberapa kemungkinan: tidak diizinkan atau diizinkan dengan catatan-catatan.

Atau malah permohonan izin itu diambangkan. Padahal, kesaksian di persidangan merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap orang yang diminta. Namun, tentu persoalan menjadi tidak sesederhana itu apabila “terawangan” kita lebih luas lagi. Kehadiran Susno di persidangan menjadi soal bukan hanya semata-mata soal izin itu. Kita sedang menyaksikan “peperangan internal” yang hebat di tubuh Polri.

Tengoklah insiden spanduk di Mabes Brimob Kelapa Dua ketika berlangsung suatu upacara besar tahun lalu. Ada spanduk yang dengan terang-terangan memberikan dukungan kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Apa perlu suatu satuan di bawah komando menuliskan kata-kata semacam itu? Tafsirannya bisa ke mana-mana.***

Mestinya penilaian terhadap sosok Susno dilakukan secara utuh. Bukan sekadar izin tertulis yang tidak dimilikinya ketika bersaksi di persidangan Antasari. Ada juga prestasi yang diukirnya. Ketika menjadi Kapolda Jawa Barat, persepsi masyarakat terhadap polisi cukup meningkat. Jika benar informasi yang ada, di saat menjabat sebagai Kabareskrim dia berhasil mengembalikan uang negara sekira Rp15 triliun, lebih dari dua kali lipat dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7 triliun.

Bagi saya, Susno Duadji sosok kontroversial sekaligus fenomenal. Tak jarang bertindak nyeleneh dan berisiko. Reformasi di tubuh Polri memang harus dengan tindakan nyata yang mungkin memunculkan multitafsir. Kini tidak banyak lagi pribadi yang berani. Sebagian dari kita tergadai oleh jabatan, terpatri oleh materi. Susno berhadapan dengan lingkup internal Polri yang tak semuanya menerima perubahan.

Mestinya pimpinan Polri menyikapinya secara bijak. Memang, di satu sisi pembentukan tim pemeriksa Susno dapat ditafsirkan sebagai upaya Polri menunjukkan kesetaraan perlakuan terhadap anggotanya, tapi bukan pula mustahil memunculkan dugaan sebaliknya. Bukankah selama ini budaya Polri di semua lini adalah atasan can do no wrong? Kritikan sering kali diidentikkan dengan perlawanan. Akan jelas risiko akibat melawan atasan. Kultur berkarat ini justru dilawan olehnya. Susno Duadji memang polisi kontroversial.(*)

Prof Amzulian Rifai, PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
sumber : http://www.okezone.com

06 Januari, 2010

Magnet Silaturrahmi GUSDUR


Saya sudah lupa hari dan tanggalnya, tetapi waktu itu adalah awal tahun 2001, saat saya menjabat sebagai menteri pertahanan di bawah kepresidenan Gus Dur.

Kepala Staf Angkatan Udara saat itu, Hanafi Asnan, menelepon saya. “Pak Mahfud, saya mendapat berkah, seperti kejatuhan bulan dan bintang,” kata Hanafi. “Ada apa, Pak,” tanya saya. “Presiden tiba-tiba minta mampir ke rumah Ibu saya di Madura,” jawab Hanafi. Orang mampir ke rumah orang tentulah hal biasa. Namun peristiwa itu menjadi surprise bagi Hanafi karena yang akan mampir ke rumah ibunya adalah Presiden. Padahal Gus Dur tak pernah kenal dengan ibunda Hanafi kecuali bahwa Hanafi adalah bawahannya yang berasal dari Madura.

Apalagi rencana mampir itu diberitahukan kepada Hanafi hanya dua hari sebelum keberangkatan Gus Dur ke Madura. Saat itu Presiden Gus Dur dijadwalkan kunjungan kerja ke Madura bersama Menteri Kehutanan Marzuki Usman untuk acara menanam seribu pohon dalam program penghutanan. Ketika rencana keberangkatan dilaporkan dan dimatangkan, tiba-tiba Presiden meminta diselipkan acara mampir ke rumah Hanafi Asnan di Socah, Bangkalan.

Meski diberi tahu bahwa KSAU Hanafi Asnan tak ikut dalam rombongan, Gus Dur mengatakan bahwa dirinya akan bersilaturahmi kepada ibu Pak Hanafi. Itulah sisi lain kehidupan Gus Dur yang jarang diperhatikan orang, yakni suka bersilaturahmi kepada siapa pun. Banyak yang meyakini bahwa kegemaran bersilaturahmi tanpa jarak “antara orang besar dan orang biasa” itulah yang mengakibatkan Gus Dur menjadi milik dan dicintai oleh begitu banyak orang.***

Sebagai politikus dan pejuang Gus Dur selalu dapat membedakan antara urusan politik dan hubungan pribadi. Dia bisa keras, tegas, dan cenderung berkepala batu dalam sikap-sikap politiknya, tetapi selalu menjaga hubungan pribadi melalui silaturahmi yang selalu hangat dan bersahabat. Bukan hanya kawan politiknya yang diakrabi, tetapi lawan-lawan politiknya pun dihormati dengan silaturahmi. Kita tentu masih ingat nama Abu Hasan, pesaing Gus Dur dalam perebutan kursi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU (1994) di Cipasung.

Sebagai calon ketua umum yang menurut berita diskenariokan oleh kekuatan luar untuk menjinakkan NU, Abu Hasan ngotot untuk menjadi Ketua Umum PBNU. Setelah kalah dalam pemilihan yang demokratis di muktamar Abu Hasan tidak mau terima. Dia pun membentuk PBNU tandingan dengan nama KPPNU. Namun berkat dukungan arus bawah terhadap Gus Dur, meski memakan waktu agak lama, akhirnya KPPNU itu bubar tanpa komunike karena tak bisa bekerja tanpa dukungan umat. Yang mengharukan, setelah KPPNU runtuh dan PBNU di bawah Gus Dur berjaya, justru Gus Dur-lah yang datang bersilaturahmi ke rumah Abu Hasan tanpa mengungkit kelakuan dan cercaan-cercaan pedas yang pernah dilontarkan Abu Hasan terhadap dirinya.

Dirangkulnya Abu Hasan sebagai sahabatnya. Saya juga masih ingat ketika terjadi konflik PKB Jawa Timur yang melibatkan Kiai Fawaid. Saat itu Kiai Fawaid terpilih sebagai Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur, tetapi tidak ada kecocokan dengan Gus Dur dan Ketua PKB Jawa Timur Choirul Anam dalam susunan kepengurusan. Kiai Fawaid merasa hak-haknya sebagai Ketua Dewan Syura hasil musyawarah wilayah (muswil) dilanggar, apalagi Gus Dur sempat marah dan menyatakan tak akan berhubungan lagi dengan Kiai Fawaid.

Pewaris tokoh NU karismatik Kiai As’ad Syamsul Arifin itu pun keluar dari PKB dan bergabung dengan PPP. Pada saat Kiai Fawaid bersikap keras dan resmi menyatakan bergabung ke PPP, Gus Dur tetap menyambung silaturahminya dengan Kiai Fawaid. Pada suatu tengah malam secara mendadak Gus Dur berkunjung ke rumah Kiai Fawaid di Sukorejo meskipun harus menempuh perjalanan darat yang sangat jauh. Gus Dur menghormati pilihan Kiai Fawaid keluar dari PKB dan silaturahmi terus dipelihara.***

Untuk soal silaturahmi saja saya punya seribu kenangan dengan Gus Dur. Gus Dur sering ke rumah saya baik di Yogyakarta maupun di Madura. Namun Muktamar II PKB tahun 2005 pernah menimbulkan masalah psikologis. Saat itu saya menolak ajakan Gus Dur yang meminta saya untuk menjadi pengurus DPP PKB hasil Muktamar Semarang itu. Meskipun mungkin terlalu subjektif, saya menilai Muktamar Semarang tidak fair sehingga saya tak bersedia menjadi pengurus DPP PKB dan memilih menjadi anggota biasa saja.

Ada pendukung hasil Muktamar Semarang yang menciptakan opini dan insinuasi bahwa saya membangkang dan dimarahi atau dimusuhi Gus Dur. Namun tak banyak yang tahu bahwa dalam situasi “perang dingin” seperti itu Gus Dur justru mengunjungi rumah saya di Yogyakarta. Suatu sore saya ditelepon oleh sekretaris pribadi Gus Dur, Munib Huda, yang mengabarkan bahwa Gus Dur ingin minum teh di rumah saya karena kebetulan ada di Yogyakarta. Kami pun bercengkerama sambil menikmati rempeyek kacang dengan tetap pada posisi masing-masing dalam menyikapi hasil Muktamar Semarang. “Silaturahmi jangan sampai putus,” kata Gus Dur.

Gus Dur dan Ibu Sinta tetap sering bermain ke rumah saya seperti halnya saya dan istri tetap selalu berkunjung ke rumah keluarga Gus Dur. Ketika keluar dari PKB karena menjadi hakim konstitusi pun saya dilepas oleh Gus Dur melalui silaturahmi yang manis dan sangat mengesankan. Ada lagi. Pada suatu hari saya menghubungi Gus Dur dan memulai menyapa dengan pertanyaan rutin, “Gus Dur ada di mana?” Ternyata Gus Dur sedang menengok orang tua Choirul Huda, sopir pribadinya, yang sedang sakit di sebuah desa di kawasan Jombang.

Gus Dur tak pernah lelah bersilaturahmi kepada siapa pun, mulai dari kota besar sampai ke desa terpencil, mulai dari sahabat karib sampai ke lawan-lawan politik, mulai dari orang-orang besar sampai orang-orang kecil.

Jadi selain karena modal politik- sosiologisnya sebagai tokoh yang berdarah biru NU, kecerdasan dan kepandaiannya yang luar biasa, kehidupannya yang bersahaja, serta keterbukaan dan kesantunannya terhadap semua golongan, perihal kegemaran untuk selalu bersilaturahmi menjadi penguat bagi munculnya keseganan dan kecintaan masyarakat terhadap Gus Dur. Belum lama Gus Dur wafat, tapi kita sudah sangat merindukannya.(*)

Moh Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi RI
sumber : www.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action