wirausaha online

20 Oktober, 2009

Checks and Balances dalam Sistem Presidensial


Sesuai dengan kalender ketatanegaraan, besok, 20 Oktober 2009, calon presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2009 akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014.

Pelantikan itu merupakan momentum awal bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk menjalankan pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Setelah pelantikan, agenda utama yang jauh hari telah mendapat perhatian publik adalah pembentukan kabinet yang berisi menteri-menteri dan jabatan lain setingkat menteri.

Perbincangan komposisi kabinet tidak hanya seputar siapa yang akan dipilih memegang jabatan kementerian dalam kabinet, tetapi juga menyentuh bangunan demokrasi dan ketatanegaraan, terutama tentang posisi partai oposisi dan keberlangsungan mekanisme checks and balances. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah bagaimanakah mekanisme checks and balances dilakukan dalam sistem presidensial? Apakah untuk itu mengharuskan adanya partai oposisi? ***

Perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan sistem parlementer adalah pada pemegang dan penentu kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden. Kekuasaan tersebut terpisah dari kekuasaan legislatif yang dipegang oleh parlemen. Sebaliknya, ciri utama sistem parlementer adalah pada kekuasaan pemerintahan yang ada pada parlemen itu sendiri.

Oleh karena itu, kabinet adalah bagian dan bergantung kepada parlemen. Dengan sendirinya, dalam sistem parlementer terjadi penyatuan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif. Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam parlemen tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari prinsip supremasi parlemen.

Dalam penyatuan itu dengan sendirinya tidak mungkin diterapkan prinsip checks and balances antara parlemen dan kabinet karena pada hakikatnya kabinet adalah bagian dari parlemen. Bahkan apa yang dilakukan oleh kabinet sepenuhnya bergantung pada keputusan parlemen. Dalam struktur parlementer yang demikian, terdapat potensi yang memungkinkan munculnya diktator mayoritas.

Pada titik inilah keberadaan partai oposisi sangat diperlukan sebagai instrumen checks and balances. Partai oposisi adalah partai yang tidak terlibat dalam kabinet karena kursi yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenangi suara dalam pembentukan kabinet. Dengan sendirinya partai itu juga akan selalu kalah dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Oleh karena itu, posisi terbaik yang harus diambil adalah menjadi oposisi untuk meraih simpati rakyat demi kemenangan pada pemilu selanjutnya.

Oposisi dalam hal ini tidak saja terhadap kabinet pemerintahan, tetapi juga terhadap kelompok mayoritas di parlemen. Pengawasan dan pengkritisan yang dilakukan partai oposisi tidak terbatas pada pelaksanaan kebijakan atau undang-undang, tetapi juga terhadap kebijakan dan undang-undang itu sendiri yang pada satu titik dapat menjatuhkan kabinet dengan menyampaikan mosi tidak percaya.

Adapun dalam sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan parlemen. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen kecuali karena alasan-alasan tertentu dan dengan mekanisme yang khusus pula. Dalam sistem presidensial di Indonesia, untuk mengimbangi dan mengawasi kekuasaan presiden, terdapat DPR dan DPD sebagai lembaga parlemen atau lembaga legislatif yang memiliki fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Melalui fungsi legislasi, kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan dibatasi dan diimbangi melalui undang- undang yang dibuat oleh DPR bersama-sama presiden dan untuk beberapa bidang tertentu juga melibatkan DPD sebagai representasi daerah. Pengimbangan terhadap kekuasaan presiden juga terjadi dalam proses pembuatan APBN sebagai acuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Setiap RAPBN harus disetujui DPR dengan masukan dari DPD untuk dapat ditetapkan sebagai APBN. Dengan demikian sesungguhnya DPR dan DPD juga ikut menentukan kebijakan program pemerintahan dan penganggaran yang tertuang dalam APBN. Melalui fungsi pengawasan, DPR dan DPD akan senantiasa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan.

Pengawasan ini dimaksudkan agar undang-undang dan kebijakan yang telah dibuat benar-benar dilaksanakan dan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintahan karena salah satu ciri sistem presidensial yang dibangun adalah menentukan masa jabatan presiden secara pasti (fix term) kecuali karena alasan pelanggaran hukum dan ketidakmampuan menjabat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Menjadi kewajiban seluruh anggota DPR dan DPD untuk melaksanakan ketiga fungsi yang dimiliki untuk berjalannya mekanisme checks and balances tanpa memandang induk partai politik apakah memiliki tokoh dalam kabinet atau tidak. Bahkan, anggota DPR dari partai presiden pun harus melaksanakan ketiga fungsi tersebut.

Struktur kelembagaan presidensial yang demikian menjadikan ada atau tidak adanya partai oposisi tidak relevan dengan upaya menciptakan checks and balances. Semua anggota DPR, dari partai oposisi ataupun bukan, tetap harus menjalankan ketiga fungsi yang dimiliki sebagai bagian dari mekanisme checks and balances.

Bahkan, menjadi atau tidak menjadi partai oposisi dalam sistem presidensial sama-sama tidak dapat menjatuhkan pre-siden dan wakil presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi melalui mekanisme impeachment.***

Menteri memang merupakan jabatan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa menteri bukan pegawai tinggi biasa. Menteri-menterilah yang terutama akan menjalankan pemerintahan (pouvoir executif) dalam praktik. Oleh karena itu Presiden SBY tentu akan sangat selektif dalam memilih menteri-menterinya dan adalah hak Presiden sepenuhnya untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan mandat konstitusi.

Tentu dalam pembentukan kabinet nantinya Presiden akan sangat memperhatikan kualitas kepemimpinan dan kompetensi yang dimiliki seseorang. Namun, mungkin perlu pula ada pertimbangan politis di dalamnya. Bagaimanapun postur kabinet yang akan datang adalah hak Presiden untuk menentukan sesuai dengan mandat rakyat dan konstitusi.

Kiranya tidak perlu ada kekhawatiran hal itu akan melahirkan kekuasaan yang terlalu kuat atau terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Jika semua lembaga negara, terutama kekuasaan legislatif, menjalankan fungsinya, dengan sendirinya kekhawatiran itu dapat dicegah karena sesungguhnya mekanisme checks and balances telah built in dalam sistem presidensial yang dibangun. Selamat menjalankan roda pemerintahan.(*)

Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI

sumber : www.okezone.com

09 Oktober, 2009

Desensitisasi...


SEHARI setelah gempa bumi di Sumatera Barat, saya menerima beberapa pesan singkat (SMS) yang sama melalui handphone, bahwa gempa bumi itu terjadi pada pukul 17.16 WIB, lalu dikaitkan dengan surat dan ayat Alquran: 17:16, yang artinya: Dan apabila Kami menghendaki untuk membinasakan satu negeri, maka Kami menyuruh orang-orang yang hidup mewah lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu. Maka berlakulah ketentuan Allah atasnya, lalu Kami menghancurkannya sehancur-hancurnya.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini sepenuhnya kebenaran isi Alquran yang menyebutkan bahwa Allah akan menghukum suatu kaum yang durhaka pada-Nya, dan sangat bisa jadi sekelompok masyarakat yang tidak berdosa akan ikut menderita karenanya. Begitulah salah satu bunyi ayat Alquran.

Namun ketika saya menerima edaran SMS tersebut, dan ternyata banyak teman juga menerima, hati saya bertanya. Apakah betul pemahaman saya terhadap ayat Alquran tersebut ketika mengaitkannya dengan musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan sekitarnya? Kesan yang muncul dari SMS itu pengirimnya berpandangan bahwa Allah tengah menghukum dosa mereka yang hidup mewah dan durhaka pada Allah.

Ada lagi yang menulis, mereka jadi tumbal dari dosa-dosa yang dilakukan oleh para elit di negeri ini. Apakah bijak di saat saudara kita tertimpa musibah, lalu mengedarkan SMS ayat Alquran yang seakan membenarkan terjadinya musibah atas mereka lantaran ada kecocokan antara jam peristiwa dengan nomor surat dan ayat Alquran?

Lalu, apakah ketika terjadi gempa di Jawa Barat, Yogyakarta dan beberapa wilayah Indonesia yang sering terkena gempa juga ada korelasi kecocokan waktu dan nomor ayat Alquran? Karena terdapat daerah yang diduga akan terkena gempa susulan, bagaimana mencari korelasi antara ayat dan peristiwa itu?

Lebih jauh lagi, bagaimana memahami negara-negara lain yang juga menjadi langganan peristiwa gempa dan angin topan yang selalu menelan korban itu? Dalam tradisi Islam memang ada pemikiran yang selalu mencoba mengaitkan antara ayat qauliyah dan ayat kauniyah, antara kitab suci yang tertulis dan kitab suci yang terhampar dalam jagad semesta. Namun berbagai tafsiran itu tetaplah dalam batas tafsiran, tidak ada jaminan meraih kebenaran mutlak.

Semua penafsiran selalu berusaha mencari kebenaran, tetapi haruslah tetap bersikap rendah hati dan bijaksana. Seorang teman yang saya duga berasal dari Sumatera Barat menulis dalam FB saya, ketika negara-negara lain yang bukan muslim tengah menggalang dana bantuan dan sebagian sudah sampai di tempat, beredarnya SMS di atas sangat menyinggung perasaannya.

Banyak yang jadi korban gempa adalah orang yang hidupnya sederhana. Mereka warga masyarakat yang baik. Bahwa ada misteri di balik gempa yang sangat dahsyat itu, kita serahkan saja pada Allah. Otak manusia tidak sanggup menjangkaunya. Para ilmuwan telah berusaha mempelajari adanya lempengan bumi yang bergerak dan itu bisa mengakibatkan permukaan bumi berantakan.

Mirip hidangan yang tersedia di atas meja menjadi berantakan ketika kaki mejanya ada yang patah. Ilmuwan pun sulit meramal kapan gempa akan terjadi. Jadi, sangat wajar dan benar kalau umat yang beriman lalu mengembalikan semua tragedi itu pada Tuhan sambil melakukan introspeksi. Buah introspeksi itu bagi masyarakat Jepang yang menjadi langganan gempa bumi adalah membuat konstruksi bangunan yang tahan gempa.

Orang Belanda yang negaranya menempel di pantai lalu membuat tanggul dan kanal agar kotanya tidak tenggelam oleh air laut yang pasang. Demikianlah, karena sudah lama diketahui bahwa beberapa wilayah Indonesia ini memang berada di garis yang berpeluang terkena gempa, maka perlu pendekatan ilmiah-rasional tanpa melupakan berdoa dan bersikap pasrah pada Allah, karena tragedi kehidupan itu bisa terjadi di mana saja dalam bentuk apa saja.

Sekali lagi, saya tidak menghujat dan meragukan kebenaran ayat Alquran, tetapi perlu kepekaan sosial dalam menafsirkannya jangan sampai kitab suci yang mulia dan diturunkan dari Allah Yang Mulia itu malah menyakiti teman kita yang terkena musibah. Inilah yang saya maksudkan dengan istilah "desensitisasi", yaitu hilangnya sensitivitas moral-emosional ketika melihat problem sosial.

Sekarang ini fenomena desensitisasi mudah sekali dijumpai dalam ranah politik, birokrasi dan juga masyarakat. Kolega saya, Amsal Bahtiar, belum lama ini ke rumah sakit untuk periksa kesehatan sebagai salah satu syarat ibadah haji. Dia heran, begitu panjang antreannya, dan di antaranya adalah orang-orang yang lanjut usia.

Mereka ingin periksa kesehatan untuk ibadah haji. Tetapi, kata Amsal, mengapa yang muda-muda itu tidak peka, membiarkan orangtua ikut antre panjang? Padahal sama-sama ingin beribadah haji? Ini salah satu contoh desensitisasi. Ada lagi yang memberi komentar, di saat warga Sumatera Barat menderita kekurangan bantuan, tak jauh dari situ Golkar tengah mengadakan kongres memperebutkan ketua umum dalam suasana yang sarat dengan permainan uang untuk membeli suara.

Ini juga bentuk lain dari desensitisasi. Dalam kajian psikologi, desensitisasi ini muncul dan kian menguat ketika masyarakat terbiasa dihadapkan perilaku menyimpang dan peristiwa kekerasan sehingga terjadi kekebalan dalam perasaannya. Mereka tidak lagi peka melihat penyimpangan dan penderitaan (emotionally and morally insensitive).

Akibat lebih lanjut lagi akan memunculkan apa yang disebut compassion fatigue, keletihan untuk merasa terharu dan kasihan ketika melihat penderitaan yang dialami sesama. Empati dan dorongan untuk menolong sesama adalah salah satu pesan pokok agama. Ketika dua sifat ini hilang, ambruklah moralitas masyarakat dan bangsa. Apakah masyarakat kita tengah mengarah ke sana? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

sumber : http://www.okezone.com

07 Oktober, 2009

Munas dan Masa Depan Partai Golkar


Partai Golongan Karya tengah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-8 di Pekanbaru, Riau. Masih adakah peluang Golkar mengukuhkan diri kembali sebagai parpol terbesar dan menentukan arah politik negeri ini?

Pertanyaan di atas sangat wajar diajukan mengingat kekalahan beruntun Golkar dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2005-2009, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Target merebut 60 persen jabatan kepala daerah melalui pilkada ternyata hanya tercapai sekira 35 persen.

Target 30 persen perolehan suara pemilu legislatif hanya bisa dicapai sekira separuhnya. Sementara itu, target memenangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres 2009, jauh panggang dari api, karena pasangan yang diusung Golkar dan Hanura tersebut hanya menduduki peringkat ketiga perolehan suara di bawah Yudhoyono-Boediono dan Megawati-Prabowo.

Karena itu, Munas Golkar di Pekanbaru merupakan momentum penting bagi parpol warisan Orde Baru ini untuk introspeksi dan evaluasi diri, mengapa kepercayaan publik terus merosot dari waktu ke waktu. Padahal secara organisasi, Golkar dapat dikatakan sebagai parpol yang memiliki organisasi dan kepengurusan terlengkap di Tanah Air.

Kehilangan Induk

Kebesaran Golkar pada era Orde Baru harus diakui tak lepas dari perlakuan istimewa mantan Presiden Soeharto, yang tak hanya menjadikan Golkar sebagai "partai penguasa", melainkan juga turut memenangkannya dalam setiap pemilu. Selain itu, Golkar juga didukung secara resmi oleh militer dan birokrasi negara. Tidak mengherankan jika memasuki era reformasi, Golkar ibarat anak ayam kehilangan induk.

Namun, berkat kerja keras dan kepemimpinan Akbar Tandjung (1999-2004), Golkar tak hanya berhasil melewati masa krusial dan kritis, juga memenangi Pemilu 2004. Terlepas dari kasus dana Bulog yang pernah dialami mantan Ketua Umum PB HMI ini, Akbar relatif berhasil menggerakkan mesin partai sehingga terhindar dari kutukan sejarah. Periode Jusuf Kalla (2004-2009) semestinya bisa menjadi momentum bagi Golkar untuk bangkit.

Akan tetapi, kesibukan JK sebagai wakil presiden, serta juga Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono sebagai ketua DPR, tampaknya berdampak pada tidak terurusnya organisasi partai berlambang pohon beringin ini. Para pengurus daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, lagi-lagi mengalami periode "anak ayam kehilangan induk".

Akibatnya, seperti kita saksikan, hingga saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2009, tidak pernah jelas apakah Golkar benar-benar hendak mengajukan calon presiden sendiri, atau melanjutkan koalisi longgar dengan Presiden Yudhoyono.

Ketidakjelasan tersebut tampak mencolok pada keputusan-keputusan Rapimnas dan Rapimnas Khusus Golkar yang tidak saling mendukung satu sama lain. Keputusan mengajukan JK sebagai calon presiden, baru dilakukan pada saat-saat terakhir ketika para simpatisan dan pendukung Golkar telah berpaling dari Yudhoyono.

Redefinisi Peran

Sebab itu, dalam kondisi terpuruk seperti saat ini tak ada pilihan lain bagi Golkar kecuali melakukan redefinisi dan reaktualisasi peran serta posisi diri partai ini dalam pentas politik nasional. Artinya, jika Golkar sungguh-sungguh memiliki komitmen untuk menjadi penentu arah politik nasional, semestinya para elite partai tidak terperangkap pada persaingan merebut jabatan ketua umum belaka.

Di samping itu, terlalu besar risiko bagi Golkar jika para elite membiarkan partai beringin sekadar sebagai kuda tunggangan para politisi oportunistik, yang akhirnya berpotensi menghancurkan masa depan Golkar. Itu artinya, Munas ke-8 Partai Golkar di Pekanbaru seharusnya mengagendakan pula diskusi-diskusi serius tentang visi, platform politik, dan format Golkar ke depan sebelum benar-benar menjadi parpol gurem.

Sebagai parpol tertua di negeri ini, orientasi politik Golkar semestinya tidak semata-mata kekuasaan dalam pengertian sempit. Sebaliknya, Golkar dituntut mengambil peran dan tanggung jawab politik lebih besar dalam memberi arah politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan keamanan negeri ini ke depan. Kalau tidak, maka partai beringin tak lebih dari sekadar kendaraan politik belaka bagi para petualang politik yang tidak bertanggung jawab.

Menjaga Jarak

Mengubah tradisi Munas dari ajang pergantian ketua umum menjadi forum pertukaran pikiran memang tidak mudah. Apalagi kecenderungan yang sama juga dilakukan parpol-parpol lain di negeri ini.Namun, barangkali justru di situlah tantangan terbesar yang dihadapi Golkar di Pekanbaru pekan ini, sekaligus menciptakan tradisi baru bagi partai beringin.

Tantangan besar lainnya adalah keberanian Golkar menjaga jarak dengan pemerintahan Yudhoyono tanpa harus berdiri secara formal sebagai oposisi. Apalagi istilah oposisi sendiri masih menjadi stigma kolektif di lingkungan internal Golkar. Melalui pilihan menjaga jarak dengan pemerintah, Golkar tidak hanya "terselamatkan" jika periode kedua pemerintahan Yudhoyono kurang berhasil, melainkan juga bisa merumuskan kebijakan-kebijakan alternatif melalui peran parlementer di DPR.

Tantangan terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah kemampuan Golkar melembagakan tradisi demokrasi partai secara internal. Kecenderungan Golkar mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dalam rangka lolosnya calon-calon ketua umum yang seharusnya tidak lolos, bagaimanapun perlu dikoreksi. Persoalannya kini terpulang kepada para peserta Munas Pekanbaru, apakah benar-benar hendak menyelamatkan Golkar, atau malah menguburkannya.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Sumber : http://www.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action