wirausaha online

29 Desember, 2009

Dari Tahun Kebohongan Menuju Tahun Ujian


HARI demi hari sepanjang 2009 telah kita lalui. Ada dinamika politik yang membanggakan, ada pula yang memuakkan. Tiga hari lagi kita akan memasuki 2010, tahun yang penuh tantangan, khususnya bagi penguasa negeri.

Sampai pertengahan 2010 politik di tingkat pusat pemerintahan masih akan penuh gonjang-ganjing terkait skandal Bank Century. Pada tingkat lokal, adanya 248 Pilkada langsung di seluruh Indonesia menambah suasana dinamis politik Indonesia. Akankah politik Indonesia stabil pada 2010? Akankah Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Kasus Bank Century membuat putusan win-win solution di antara pemilik kartel-kartel politik?

Ataukah hasil jalur hukum tata negara di DPR yang dipadu jalur hukum pidana melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu akan mengarah pada pemakzulan (impeachment) penguasa negeri? Berbagai pertanyaan itu masih tersimpan di benak rakyat, pengamat politik dan penguasa. Nuansa damai tampak nyata saat kita melaksanakan pemilu legislatif ketiga kalinya dan pemilu presiden/wakil presiden langsung di era reformasi.

Pemilu legislatif yang berlangsung 9 April 2009 dan pemilu presiden/wakil presiden pada 8 Juli 2009, berlangsung nyaris tanpa tumpahan darah setes pun, kecuali akibat kecelakaan pada masa kampanye. Ini menunjukkan betapa rakyat Indonesia telah benar-benar dewasa dalam melaksanakan hak-hak demokrasi. Kalaupun nama-nama mereka tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT), baik pada masa pemilu legislatif maupun pemilu presiden, mereka hanya dapat mengelus dada tanpa melakukan keonaran politik.

Jika pun ada yang tidak ikut memilih, mereka juga tidak mau sesumbar sebagai bagian dari golongan putih karena ketidakpercayaan mereka pada sistem pemilu yang amburadul. Yang patut dicela dari dua perhelatan demokrasi itu antara lain berikut ini. Pertama, profesionalisme Komisi Pemilihan Umum (KPU) amat diragukan.

Para anggota KPU lebih mengutamakan jalan-jalan ke mancanegara ketimbang menyelesaikan secara tuntas DPT yang bermasalah. Kedua, DPT bermasalah menimbulkan tanda tanya besar apakah Pemilu 2009 benar-benar jujur dan adil. Ketiga, siapa yang memenangkan tender pengadaan teknologi informasi untuk KPU juga menimbulkan persoalan bukan hanya dari sisi finansial, melainkan juga dari sisi politik, khususnya apakah data yang diungkapkan KPU absah atau meragukan.

Analisis akhir dari dua perhelatan politik akbar di tahun 2009 itu ialah rakyat sudah amat dewasa dalam berpolitik, namun masih banyak kelemahan dalam pelaksanaan dua pemilu nasional di usia demokrasi yang ke-11 tahun. Kelemahan itu yang kemudian menimbulkan persoalan legitimasi politik, benarkah Partai Demokrat dapat melambung dengan perolehan kursinya sampai 300 persen dibandingkan Pemilu 2004?

Tanpa suatu perubahan politik yang amat drastis, seperti perubahan pemerintahan pada 21 Mei 1998 yang kemudian melambungkan perolehan suara PDI Perjuangan pada Pemilu 1999, tampaknya sulit bagi sebuah partai politik memperoleh suara tiga kali lipat dengan cara-cara normal. Perolehan suara 60,8 persen yang diperoleh pasangan SBY-Boediono juga ada yang mempersoalkannya. Tengok pernyataan George J Aditjondro, penulis buku Membongkar Gurita Bisnis Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (Seputar Indonesia, 28/12/2009)

Kebohongan Politik

Suasana damai pada masa pemilu ternyata tidak membawa negeri ini ke situasi stabilitas pemerintahan. Usai Pemilu Presiden 2009, tampak jelas betapa satu demi satu peristiwa politik telah mengganggu jalannya pemerintahan. Bulan madu yang diharapkan paling tidak terjadi pada 100 hari pertama pemerintahan ternyata sudah dilingkupi suasana saling curiga di antara anggota koalisi.

Kata kunci dari sirnanya bulan madu itu adalah dugaan adanya kebohongan politik di tingkat elite. Akhir masa pemerintahan SBY-JK atau Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004–2009) merupakan titik awal dari terjadinya kebohongan politik itu. Tengok misalnya pernyataan Presiden SBY setelah terjadinya bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, 26 Juli 2009.

Dia mengatakan bahwa menurut informasi intelijen, dia menjadi target pembunuhan oleh “drakula yang haus darah” dengan menunjukkan foto yang dibuat teroris yang menjadikannya sebagai target. Ternyata foto itu bukan foto baru, melainkan foto-foto menjelang Pemilu 2004, di mana bukan hanya SBY yang digambarkan menjadi sasaran tembak teroris, melainkan semua calon presiden dan wakil presiden yang bersaing pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun itu.

Terorisme memang menjadi fenomena politik menarik sepanjang 2009. Kita harus angkat topi kepada Kapolri dan jajarannya atas keberhasilan mereka menangkap atau membunuh para pelaku teror bom, termasuk tokoh teroris asal Malaysia, Noordin M Top. Namun kita juga menangkap adanya fakta yang meragukan soal kapan Ibrohim, tukang pengantar kembang di Hotel JW Marriott, mati terbunuh, tanggal 12 Agustus 2009 seperti tertulis di batu nisannya, atau 8 Agustus saat polisi melakukan penyergapan di rumah kosong di Jawa Tengah.

Benarkah juga ada kelompok teroris beraksi di Jati Asih, Bekasi, dengan sasaran rumah kediaman Presiden SBY di Cikeas? Ungkapan kebohongan politik juga tampak saat pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II (2009–2014). Jauh sebelum kabinet disusun, baik presiden terpilih, SBY, maupun tokoh Partai Demokrat sesumbar bahwa kabinet yang akan dibentuk adalah kabinet kerja yang memasukkan kaum profesional nonpartai 65% dan 35% lainnya kaum profesional dari partai-partai politik.

Ternyata, kabinet yang disusun pada 22 Oktober 2009 itu jauh panggang dari api! Susunan kabinet lebih merupakan ungkapan balas jasa politik kepada partai-partai politik pendukung, ketimbang mengangkat kaum profesional murni. Ini yang antara lain menimbulkan konsekuensi politik baru yang menjadi penambah bumbu tak sedap pada dinamika politik pascapembentukan kabinet.

Kriminalisasi KPK dan Centurygate

Nuansa politik pada paruh kedua 2009 juga diwarnai persoalan kriminalisasi terhadap KPK dengan memasukkan dua Wakil Ketua KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai pelaku kriminal. Persoalan hukum itu akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. Tak cuma itu, pelemahan KPK tampaknya tertata rapi dengan memasukkan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Tipikor yang amat melemahkan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.

Rakyat semakin geram dengan adanya upaya Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) untuk membuat peraturan pemerintah (PP) yang antara lain mengharuskan KPK mendapatkan persetujuan dulu dari Kejaksaan Agung sebelum melakukan penyadapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Analisis para pakar hukum antara lain mengatakan, di masa normal, peraturan ini memang perlu ada, tapi di masa tidak normal seperti sekarang ini, aturan itu belum perlu ada.

Jika aturan itu diberlakukan, sulit bagi KPK melaksanakan tugas-tugasnya secara independen. Masalah kriminalisasi KPK diduga kuat ada kaitannya dengan upaya KPK untuk membongkar secara tuntas kasus skandal Bank Century. Tak sedikit orang yang berharap agar KPK jangan lamban atas kasus yang sedemikian besar dan memancing perhatian publik ini.

Alasan publik agar KPK lebih cepat bekerja adalah agar KPK lebih mendahului proses politik dan hukum tata negara yang kini sedang berlangsung di DPR. Jika dua proses itu berjalan beriringan dan benar, kita tunggu saja apa hasilnya pada Februari atau Maret 2010 mendatang, ketika mandat Pansus Hak Angket Bank Century berakhir. Kini mulai tampak betapa partai-partai politik pasang kuda-kuda untuk menyelamatkan partai masing-masing dari skandal Bank Century ini.

Dari sisi Presiden SBY dan Partai Demokrat, misalnya, ada imbauan agar mereka memiliki etika berkoalisi yang baik. Satu hal yang aneh, imbauan itu diungkapkan oleh Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, yang digaji dengan uang negara. Pertanyaannya, bolehkah seorang juru bicara resmi membuat pernyataan yang terkait dengan persoalan politik di lingkup internal koalisi dan bukan terkait urusan negara?

Bukankah Presiden SBY dan Partai Demokrat sendiri yang mengajak “buka-bukaan” soal skandal Bank Century sehingga layak bila semua anggota koalisi menuruti ajakan SBY tersebut? Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi dari skandal Bank Century ini. Pertama, Pansus ini digembosi di tengah jalan karena kartel politik akhirnya menyetujui win-win solution untuk tidak melanjutkan persoalan itu.

Kedua, para anggota Pansus pantang mundur, maju tak gentar membela yang benar sehingga mereka tetap ingin menuntaskan tugasnya yang terus dipantau rakyat secara langsung. Ketiga, proses di DPR berjalan seiring dengan proses hukum pidana di KPK yang menjurus ke kemungkinan adanya pemakzulan terhadap Presiden RI. Retorika politik Presiden SBY selama kurun waktu 2009 ini tampaknya mendapatkan perhatian besar dari pengamat politik dan rakyat.

Rakyat semakin cerdas untuk menilai, apakah pernyataan Presiden mengandung kebenaran ataukah patut diragukan kebenarannya. Ini termasuk ucapannya terkait dengan buku George J Aditjondro tersebut. Di masa Orde Baru, Mas George, begitu saya memanggilnya, pernah lari ke Australia karena rezim yang ada dulu otoriter. George juga pernah menulis buku yang mirip dengan “Gurita Cikeas”, yakni mengungkap bisnis keluarga Cendana.

Jika dulu harus menyelamatkan dirinya ke Negeri Kanguru, kini dia berani menantang, “Kalau datanya salah, silakan buat buku tandingan. Belajarlah dari HAMKA.” George siap untuk menghadapi pengadilan jika dia dituduh melakukan fitnah atau pencemaran nama baik. Siapkah SBY dan pendukungnya mengajukan George ke pengadilan? Jika ini terjadi, dia akan menambah semarak dinamika politik Indonesia pada 2010 yang sebagian besar terfokus pada satu nama: SBY! Selamat Tahun Baru 2010.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
seumber : www.okezone.com

04 Desember, 2009

Ongkos Mahal Berdemokrasi


MESKI demokrasi bagaikan pedang sakti yang senantiasa diburu, dipuji, dan diperjuangkan di kalangan ilmuwan sosial, ketika sudah di tangan dan diberdayakan untuk meratakan jalan bagi kesejahteraan bangsa, pada kenyataannya, tidak seindah dan semulus yang dibayangkan.

Secara teoretis demokrasi menjadi pilihan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara di zaman modern karena beberapa alasan. Pertama, dengan adanya pemilihan umum secara reguler diharapkan akan terjadi seleksi dan pergantian kepemimpinan secara berkala, rasional, dan terbuka sehingga tidak akan terjadi kepemimpinan yang absolut seumur hidup yang otoriter. Kedua, melalui pemilihan umum (pemilu), warga negara dilibatkan untuk menyalurkan hak-hak pilihnya sehingga muncul hubungan timbal balik antara warga dan pemimpinnya, yaitu hak menagih janji bagi warga dan kewajiban memenuhi janji bagi yang terpilih.

Ketiga, dengan demokrasi proses seleksi kepemimpinan diharapkan berdasarkan integritas, keahlian, dan prestasi, bukan hubungan darah dan otoritas keagamaan. Dengan demikian proses demokratisasi memungkinkan setiap warga untuk bersaing menggunakan hak dan menonjolkan kemampuannya. Di situ prinsip kesamaan hak dan partisipasi warga dijamin. Keempat, salah satu pilar demokrasi adalah menguatnya dan berfungsinya lembaga perwakilan rakyat yang berperan menyuarakan aspirasi rakyat untuk mengawasi dan memberi masukan terhadap jalannya pemerintahan. Lewat pengawasan ini diharapkan pemerintah tetap setia melaksanakan janji dan amanah selama kampanye dengan mendasarkan pada undang-undang (UU) yang ada.

Kelima, dengan adanya wakil rakyat, mereka menjadi jembatan penghubung antara aspirasi rakyat dengan pemerintah. Tugas mereka adalah selalu membaca dan mendengarkan kebutuhan rakyat, lalu diperjuangkan agar direspons oleh pemerintah karena pada dasarnya baik pemerintah maupun wakil rakyat adalah pelayan rakyat. Satu catatan sangat penting, dalam melaksanakan demokrasi semuanya harus menaati undangundang (UU), hukum, dan aturan main yang telah disepakati bersama. Tanpa kepastian hukum, demokrasi akan roboh, bisa berubah menjadi anarki kelompok, massa atau oligarki dengan cara mempermainkan pasal-pasal UU.

Sabar, Kritis dan Visioner

Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, saya masih ingat mata kuliah tata negara bahwa demokrasi, dengan segala cacat bawaan yang ada, adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Sistem kerajaan sudah usang dan tidak punya masa depan. Lalu teokrasi juga tidak jelas konsep dan aplikasinya, terlebih bagi Indonesia.

Dalam suatu wawancara dengan almarhum Mohamad Roem- waktu itu saya sebagai wartawan--, dia mengatakan sistem teokrasi yang benar itu hanya terjadi selama hidup Rasulullah Muhammad. Semuanya berasal dari wahyu Allah. Namun setelahnya sudah diserahkan pada ijtihad para ulama dan pemimpin. Makanya tak lama kemudian yang muncul adalah kerajaan. Beberapa negara muslim di Timur Tengah juga mengambil bentuk kerajaan. Raja memiliki kekuasaan penuh dengan referensi paham dan keyakinan agama yang dianutnya. Namun kepentingan dinasti yang menjadi prioritas. Hari ini kita tengah berjalan tertatih-tatih sambil menggerutu, berkeluh kesah, dan marah dengan penuh caci mengapa demokrasi yang kita perjuangkan belum juga mendatangkan hasil yang kita bayangkan?

Begitu mahal ongkos yang telah dikeluarkan rakyat dan negara, baik uang, pikiran, emosi maupun budaya, untuk mengawal jalannya demokrasi agar segera menyajikan hasilnya demi memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Namun yang dijumpai malah ribut-ribut, gaduh, serta pemerintahan yang tidak efektif. Pendeknya, pemerintahan produk pemilu yang demokratis dan diidentikkan sebagai hasil pilihan rakyat sampai hari ini masih saja mengecewakan dan menyakiti rakyat. Ini semua mesti kita terima dengan sabar dan kritis.

Bagi negara kecil yang penduduknya homogen dari segi budaya dan agama, mungkin sekali lebih mudah dan lebih cepat melakukan konsolidasi dalam berbagai bidang sosial, budaya, dan politik. Akan tetapi bayangkan saja, luas Indonesia yang terbentang dari Aceh sampai Papua, yang ekuivalen antara Teheran dan London, dengan beragam etnik dan ribuan pulau, sungguh memerlukan kesabaran untuk menciptakan kohesi kehidupan berbangsa. Sejak kemerdekaan tahun 1945 bangsa ini disibukkan terus-menerus oleh berbagai konflik yang muncul dari benturan pluralitas agama dan ideologi.

Ditambah lagi sekarang pengaruh itu datang secara deras dari pengaruh global. Maka semua itu semakin meningkatkan suasana gaduh dalam alam demokrasi yang semua orang merasa leluasa untuk bersuara. Namun, menarik diamati, kita mulai terbiasa dengan kegaduhan kritik dan argumen terhadap proses politik yang tengah berlangsung. Dulu kemarahan itu selalu ingin disalurkan melalui demonstrasi dengan mengerahkan massa di jalanan. Sekarang, meskipun massa jalanan masih tetap ada, media televisi dan surat kabar ikut ambil bagian untuk menyalurkan berbagai kritik dan emosi massa.

Peran media massa sangat positif untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara dan dapat mengurangi potensi benturan fisik antarpihak yang bersengketa. Saya terkesan dengan tampilnya para aktivis muda yang kritis yang tidak mau terjebak dalam tindakan destruktif dalam melakukan kritik. Begitu pun para presenter televisi yang masih sangat muda, tampan, cantik, dan cerdas, semua itu memberikan harapan bagi proses pendewasaan berdemokrasi di Indonesia. Dinamika politik yang tengah berlangsung saat ini selama dikawal untuk tetap berada dalam jalur hukum, dijaga etika sosialnya, disikapi semuanya dengan sabar dan kritis serta visioner bagi kejayaan masa depan bangsa, rasanya kita punya alasan untuk optimistis bagi kebangkitan Indonesia.

Satu catatan penting, ibarat bibit pohon, demokrasi akan tumbuh kokoh dan rindang jika pendidikan warganya bagus, ada ketegasan hukum, dan didukung oleh parpol yang kuat. Tiga syarat ini mesti dipenuhi agar bangsa ini tidak terlalu lama tersandera oleh perpecahan dan korupsi sehingga kita hanya sibuk berjalan dan bertengkar di tempat dengan ongkos amat mahal. Selesai bergabung dalam Tim Delapan, saya memang merasakan kelelahan fisik dan mental. Selama dua minggu bekerja penuh untuk memenuhi target yang diamanatkan kepada kami oleh Presiden dengan hasil yang telah kita ketahui bersama.

Namun yang membuat lelah hati dan mental adalah rasa kesal, sedih dan kasihan, mengapa masih saja banyak politikus dan pejabat tinggi negara yang mengkhianati kepercayaan rakyat, menggadaikan nurani, akal sehat, dan wibawa jabatannya hanya untuk berburu uang haram serta menyengsarakan rakyat? Jabatan dan kepercayaan itu begitu mulia dan efektif sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan, melayani rakyat, dan membangun negara. Berbagai fasilitas materi pun disediakan. Namun ego dan nafsu mengejar self-glory lebih menonjol ketimbang nuraninya sehingga tidak segan mengorbankan kanan-kiri serta rakyat.

Dalam hati muncul pertanyaan, prestasi dan kualitas hidup macam apa yang hendak dibanggakan dan diwariskan kepada keluarga dan generasi bangsa jika jabatan yang dikejar pada akhirnya hanya untuk sarana memenuhi selera hidup yang begitu rendah? Melihat fakta-fakta seperti itu, hati pun menjadi lelah, marah, dan kasihan.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
sumber : http://www.okezone.com

01 Desember, 2009

Lakon Baru : "Centurygate"


GUYONAN politik yang tersebar melalui pesan singkat dari ponsel ke ponsel dalam sebulan terakhir ini tampaknya mendekati kebenaran.

Isi guyonan politik itu, saya sadur sedikit agar kalimatnya tak terlalu menyeramkan, "Program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono: 30 hari pertama menyelesaikan kasus cicak versus buaya. 30 hari kedua sibuk soal skandal Bank Century atau ?~Centurygate'. 30 hari ketiga soal kasus Anggodo Widjaja. 10 hari terakhir menghadapi DPR dan MPR." Lakon "cicak vs buaya" belum seluruhnya rampung.

Bak sinetron kejar tayang, baik Istana maupun institusi-institusi penegak hukum masih sibuk mempersiapkan episode-episode berikutnya. Lakon kasus Anggodo Widjaja pun kini sedang ditayangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat para pemirsa masih bertanya-tanya bagaimana akhir dari lakon cicak vs buaya dan lakon Anggodo Widjaja, kini lakon baru pun muncul," Centurygate".

Pembabakan "Program 100 hari PemerintahanSBY-Boediono" versi guyonan politik itu tak berjalan secara linear. Sejak beberapa hari lalu DPR sudah mulai sibuk mengajukan hak angket terkait dengan skandal Bank Century. Kisahnya pun mirip drama dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan beberapa jaringan televisi swasta.

Ada upaya sabotase politik dari partai pendukung utama pemerintah yang menginginkan agar panitia hak angket dipimpin partainya SBY. Ada yang membela para pengusul awal dengan mengatakan adalah tidak etis secara politik jika fraksi di DPR yang tadinya menolak hak angket tiba-tiba mendukungnya dan ingin menjadi ketua panitia. Ada yang meminta perlindungan DPR jika dia terpaksa membeberkan aliran dana dari Bank Century sampai ke aliran dana terakhir, baik institusi ataupun individu.

Ada pula yang meminta perlindungan agar upaya mereka untuk mengungkapkan kejernihan jiwa, kebenaran, dan keadilan dilindungi oleh Yang Mahaperkasa, Tuhan sekalian alam. Lakon "Centurygate" memang penuh lika-liku, mirip cerita detektif Hercule Poirot karya Agatha Christie, kisah detektif Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, atau cerita detektif Conan karya Aoyama Gosho.

Aktornya pun beragam, ada Presiden, ada Wakil Presiden, ada Gubernur Bank Indonesia, ada Menteri Keuangan, ada Pengusaha Busuk, ada institusi-institusi yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), DPR, ada pula akademisi dan aktivis LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi alias Kompak.

Kita belum tahu apakah penguasa negeri ini juga menjadi salah satu aktor yang memainkan "peran antagonis" dalam lakon "Centurygate", hanya PPATK yang dapat menyimpulkannya dari aliran dana Bank Century. Namun, jika menilik pernyataan Kepala PPATK Yunus Husein, yang meminta perlindungan DPR, tentu lakon "Centurygate" ini bukan lakon biasa.

Jika ini hanya soal bahwa sesuai aturan hukum PPATK harus merahasiakan temuannya, kecuali kepada Presiden, mengapa Kepala PPATK tidak meminta perlindungan yang sama saat mengungkap kasus Miranda Goeltom yang diduga melakukan money politics saat fit and proper test oleh panitia di DPR untuk menduduki jabatan penting di Bank Indonesia? Sisi lain yang menarik dari lakon "Centurygate" ialah adanya dukungan penuh dari semua fraksi di DPR mengenai usulan hak angket atas skandal bank tersebut, padahal awalnya Partai Demokrat menentangnya.

Mengapa pula tiba-tiba Partai Demokrat ingin memimpin panitia hak angket jika memang kasus ini hanya persoalan perbankan dan ekonomi semata. Kita semua tentu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Adakah persoalan ini terkait dengan aliran "dana haram" dari pengusaha busuk ke Partai Demokrat atau individu keluarga Istana? Dalam ilmu politik ada istilah "bribes and kickbacks".

Artinya, adanya pengusaha-pengusaha yang melakukan penyogokan melalui dana kampanye politik para kandidat yang maju dalam memperebutkan kursi-kursi jabatan kepala pemerintahan seperti presiden/wakil presiden, gubernur, bupati, wali kota, jabatan-jabatan di lembaga legislatif atau jabatan-jabatan publik lain.

Harapan pengusaha adalah mendapatkan bola "tendangan balik" (kickbacks) dari penguasa/pejabat yang terpilih dalam bentuk konsesi-konsesi ekonomi atau proyek-proyek yang menguntungkan, dengan atau tanpa ikut tender. Money politics semacam ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, melainkan juga di negara maju dengan sistem demokrasi yang lebih dewasa, termasuk di Amerika Serikat.

Tidaklah mengherankan jika sejak awal adanya kontrak sosial antara penguasa dan rakyat seperti yang digagas Montesquieu atau Jean-Jacques Rousseau, sebagian besar aturan hukum yang diciptakan di dunia mengatur praktik politik penguasa atau yang memiliki jabatan publik. Tak mengherankan pula bila kemudian muncul gagasan mengenai pemerintahan yang bersih (clean government), kepemerintahan yang baik (good governance) atau tanggung-gugat publik (public accountability).

Kita berharap jalinan lakon "Centurygate" yang berliku-liku dan penuh pernik-pernik politik itu bukanlah "panggung sandiwara" yang penuh kebohongan publik. Kita bukan lagi berada di dalam suatu sistem politik yang tertutup dan otoriter atau sistem yang pada masa Eropa sebelum lahirnya Renaissance berlaku "court-politics" di mana ada penguasa negerinya dapat menjadikan sabda atau pernyataan politiknya lebih tinggi daripada hukum.

Saya teringat laporan investigatif tentang hak angket DPR RI mengenai "Centurygate"yang ditayangkan salah satu jaringan televisi swasta ibukota (MetroTV), Sabtu (28/11/2009). Hal yang mengagetkan saya ialah peribahasa yang dituturkan oleh pembawa acaranya, "Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah!" Terserah pembaca, apa makna peribahasa itu! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
sumber : www.okezone.com

19 November, 2009

Jangan Jadikan Politik sebagai Panglima


BAGI Presiden, menanggapi tuntutan masyarakat luas terhadap rekomendasi Tim Delapan sangat mudah.

Kalau hanya untuk mengembalikan popularitas, menjaga, bahkan menambah popularitas, semua rekomendasi itu ditindaklanjuti. Hanya saja, yang jadi masalah, apakah itu solusi? Sebab, persoalannya bukan populer atau tidak populer, tapi ini negara demokrasi modern di mana tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui pengadilan. Kalau menyangkut konflik institusi publik, tidak ada lembaga yang tepat yang bisa menyelesaikannya selain pengadilan.

Untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar, siapa yang terbukti dan tidak terbukti salah, sebaiknya forum pengadilan. Saya melihat semua hasil kesimpulan, rekomendasi Tim Delapan itu, bagus sekali. Harapan kita seandainya itulah putusan dari pengadilan, itu yang paling tepat. Namun, kalau diputuskan di luar forum pengadilan, itu menimbulkan masalah. Misalkan itu dikatakan suara publik, bedabeda tipis dengan politik. Kepentingan politik dari penguasa, kepentingan politik dari masyarakat, kepentingan politik dari dunia usaha berbeda.

Civil society dan market masing-masing punya kepentingannya. Kalau di antara itu ada konflik, terjadi perselisihan, pengadilan yang menyelesaikannya. Tidak bisa kita membiarkan pengambilan keputusan sepihak. Misalnya berpihak kepada negara saja, berpihak kepada masyarakat saja, atau secara apriori berpihak kepada market saja, itu tidak tepat. Harus ada mekanisme di mana kepentingan diatur dengan benar. Demikian itu cara yang paling beradab.

Sebaiknya tidak terlalu melihat rendah kepada pengadilan atau tidak percaya kepada hakim. Tidak ada negara modern kecuali memercayakan semua kepada pengadilan. Saya punya keyakinan bahwa tidak mungkin ada hakim yang berani mengatakan bahwa yang benar itu kesalahan dan yang salah itu kebenaran. Percaya kepada hakim, itu cara yang paling beradab. Kembali ke persoalan rekomendasi, jika Presiden ingin populer mudah sekali, sesuaikan saja semua kepada suara di media.

Selesai persoalan. Namun, hal itu tidak menyelesaikan seluruh masalahnya. Karena itu, menurut saya, biarkan saja kesimpulan dari Tim Delapan itu diputuskan di pengadilan. Jadi penilaian alat bukti bahwa itu tidak benar, bahwa itu tidak terbukti, bahwa itu ada rekayasa, itu semua biar menjadi putusan pengadilan dan putusan pengadilan itu mengikat secara hukum. Adapun putusan Tim Delapan itu hanya mengikat secara moral. Dalam kasus ini, saya melihat ada lima hal yang harus diurai untuk menyelesaikannya. Pertama, konflik kewenangan antarlembaga (KPK-Polri).

Menurut saya, itu kewenangan Mahkamah Konstitusi. Kedua, tuduhan kepada Bibit dan Chandra, apa betul menyadap secara tidak sah, apa betul ada penyalahgunaan wewenang? Kalau dilihat sebagai persoalan institusi, ini adalah sengketa kewenangan dan untuk menyelesaikannya, tempatnya di Mahkamah Konstitusi. Berikutnya, apa betul menerima suap, ini adalah perkara yang harus diselesaikan di pengadilan. Untuk membuktikan bahwa apakah ada rekayasa, itu harus menjadi kesimpulan pengadilan, bukan di forum penasihat. Pengadilan yang harus memutus.

Ketiga, ada perkara tindak pidana korupsi oleh Anggoro Widjaja yang sudah ditangani KPK, itu harus diteruskan proses hukumnya. Itu mekanisme sendiri, jadi jangan berhenti proses hukumnya. Keempat, menyangkut Anggodo Widjaja, dia memang disebut dalam rekaman pembicaraan bahwa dia itu main uang. Dia menyebutkan memberikan uang melalui Ari Muladi. Terlepas dari apakah itu diterima atau tidak uangnya, yang jelas dia sudah terbukti dan mengaku sendiri melakukan tindak pidana menyuap. Itu harus diproses, polisi yang harus memproses.

Yang menjadi persoalan, polisi tidak melakukan itu sehingga menimbulkan ketidakpercayaan. Saya melihat bahwa polisi tidak memandang itu sebagai perkara, polisi hanya bela diri dari serangan masyarakat yang ingin membebaskan Bibit dan Chandra melalui mekanisme di luar pengadilan. Kelima, menyangkut perilaku pejabat-pejabat hukum yang bermasalah. Terlepas dari pembuktian apakah terbukti atau tidak, ini ada masalah pejabat di polisi dan kejaksaan bahwa mereka sering berhubungan dengan orang-orang seperti Anggodo. Ini persoalan sendiri.

Jadi kalau itu bukan pelanggaran hukum, setidaknya pelanggaran kode etik yang harus ditindak oleh pimpinan. Ada lima jenis perkara yang penanganannya harus dilakukan sendiri oleh lembaga yang berwenang. Selama ini, banyak yang hanya terjebak pada ingin membuktikan apakah benar Bibit dan Chandra itu terima suap. Sementara ada orang yang sudah mengaku melakukan pidana, tapi tidak ditangkap. Mereka malah berkeliaran masuk televisi. Bukankah dia mengaku, seharusnya dia ditangkap. Bahwa itu suapnya sampai atau tidak, itu perkara lain.

Dengan begitu, masyarakat tahu bahwa penegakan hukum itu jalan. Jadi jangan larut pada persoalan Bibit dan Chandra. Kita harapkan Presiden melihat kepentingan yang lebih luas. Jangan hanya satu kepentingan. Rekomendasi Tim Delapan itu pasti akan ditindaklanjuti. Hanya saja menindaklanjutinya ini berapa persen, apa 50 atau 80%, kita belum tahu. Yang jelas, Presiden pasti akan merespons positif rekomendasi itu. Jika menjalankan semua rekomendasi, berarti ada mekanisme yang dilanggar. Di sini politik menjadi panglima, bukan hukum yang menjadi panglima. Harus diurai satu per satu masalahnya.

Polisi harus terus bekerja, jaksa harus terus bekerja, KPK juga harus terus bekerja. Di luar itu, saya memuji rekomendasi Tim Delapan mengenai pentingnya pemanfaatan peristiwa ini untuk menata kembali sistem penegakan hukum.(*)

JIMLY ASSHIDDIQIE
Guru Besar Hukum Tata Negara UI
sumber : www.okezone.com

11 November, 2009

Dari Tragedi ke Reformasi Kebudayaan


Barangkali Anggoro dan Anggodo, dua kakak beradik keluarga Widjaja, adalah pengusaha cukup kaya. Akan tetapi tentu tidaklah sekaliber miliarder seperti keluarga Soeryajaya, keluarga Riyadi, keluarga Halim, keluarga Sampoerna, keluarga Salim, keluarga Bakrie, dan sederet nama pengusaha top lainnya.

Mungkin keduanya pun tidak termasuk 20, bahkan 50, pembayar pajak terbesar di negeri ini. Namun, kini kita tahu, bahkan pengusaha "kelas" dua seperti mereka pun memiliki kemampuan untuk memengaruhi jalannya proses kenegaraan, dari segi yuridis, di tingkatan puncak. Pihak institusi atau petinggi yang mereka pengaruhi atau sertakan dalam drama "KPK" sungguh tidak sembarangan, levelnya tidak berhenti pada tingkat nasional, tetapi juga regional atau internasional.

Apakah tidak mungkin ada oknum dari "kelas" satu atau top yang juga bekerja dengan pola dan modus serupa, untuk perkara yang jauh lebih "tinggi" lagi? Apa yang bisa membantah kemungkinan ini? Tidak ada. Bukankah ini menjadi sebuah kabar yang sangat buruk, bahkan terburuk dalam sejarah negeri ini, bagaimana ternyata proses-proses formal kenegaraan dapat begitu saja dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan sempit dan menyesatkan dari segolongan, bahkan satu-dua orang saja?

Tidakkah ini menjadi bukti atau semacam katup dari kotak pandora sistem kenegaraan kita yang chaos karena mekanisme dan proses yang ada di dalamnya ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharuskan, sebagaimana yang kita pikirkan selama ini? Maka, lumrah bila kita dengan keras bertanya: negara atau bangunan kebangsaan apa yang kita bangun selama ini?

Bila ternyata hal-hal yang prinsipil dan esensial, termasuk di dalamnya berbagai keputusan strategis di bidang politis, ekonomis, dan yuridis bisa jadi hanya menjadi permainan dari broker, markus, pengusaha degil, atau preman-preman politik dan hukum, di mana kemudian sejarah hebat bangsa ini ditempatkan?

Di mana ide-ide besar founding fathers diposisikan? Di mana kesengsaraan dan perjuangan rakyat kecil diperhitungkan? Di mana sesungguhnya akal dan nurani kita bicara? Tampaknya, riwayat republik dan bangsa ini, di momen ia sedang mencoba mengenang dan merevivalisasi semangat kepahlawanannya, harus bertemu dengan sebuah momen di mana semua cita-cita dan idealisasinya kini telah menjadi basi. Kesemuanya menjadi kardus-kardus artifisial yang menghiasi kemeriahan selebrasi kemajuan (kemodernan) politik, ekonomi atau hidup sosial kita.

Bangunan meriah dan megah itu ternyata rapuh fundamennya. Kita semua tak menyadarinya karena tersihir oleh dunia-semu, simulakra yang di-diseminasi dengan rajin oleh media massa, entertainment, dan komentar para pakar yang buta. Indonesia hari ini adalah sebuah tragedi. Bukan hanya koruptor bebas berkeliaran, bahkan dipuja; pembunuh pun kini dapat menjadi pahlawan; manipulator jadi ulama; penipu jadi cendekiawan; tukang hasut jadi politikus elite; dan seterusnya.

Namun itu lebih karena kita bersama sudah alpa dan lupa pada niat dasar kita kenapa dahulu kita harus merdeka, mengapa kita harus membentuk diri menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara; kita lupa untuk apa ada yang bernama "Indonesia"?

Absennya Landasan Kultural

Marilah kita lihat bagaimana kasus segi tiga "KPK-Polri-Kejaksaan Agung" yang telah menjadi skandal hukum terbesar selama republik ini berlangsung. Hingga hari ini, kita masih melihat aktor-aktor utama yang dianggap melukai "rasa keadilan publik" tetap bebas berseliweran dengan aksi dan retorikanya.

Para penanggung jawab utama tetap bertengger di puncak kuasanya, tanpa rasa sungkan dan malu pada norma, nilai, dan tradisi kehormatan. Tiada integritas kepribadian dan kebesaran jiwa untuk memikul tanggung jawab. Melulu kekuasaan yang dibela, betapapun kekuasaan yang dia bela itu telah cacat dan ternoda di bawah penguasaannya.

Selaiknya, bukan hanya pada tingkat Kabareskrim Polri atau Wakil Jaksa Agung yang antara lain jadi tersangka oleh publik harus diberhentikan. Bahkan di tingkat Jaksa Agung, Kapolri hingga--boleh jadi-Menko Polhukam semestinya mengundurkan diri untuk menunjukkan kehormatan dan integritas kepribadiannya yang tinggi, yang membuat mereka pantas menduduki posisi-posisi penting itu.

Hal ini menunjukkan, kekuasaan-- dari pemerintahan yang ada sekarang-gagal dalam meneguhkan moralitas di dalam dirinya. Gagal dalam membentuk sebuah kultur yang membuat kekuasaan itu sendiri memiliki wibawa, rasa bangga, dipercaya, dan merepresentasi kesejarahannya yang gemilang.

Kekuasaan saat ini berdiri ternyata hanya untuk melayani dirinya sendiri, melupakan esensi dari eksistensinya sendiri, yakni: kehadiran publik. Untuk itu, sebuah kesadaran atau tindakan yang sifatnya fakultatif akan sangat tidak memadai bagi sebuah penyelesaian yang substansial dan fundamental.

Terlebih pola-pola kebijakan yang sangat pragmatis, dalam arti hanya menjadi reaksi atau antisipasi dari situasi kontemporer, sungguh hanya akan sampai pada jalan buntu atau penggandaan masalah yang sama tiada habisnya. Ternyata tampaknya kita harus menerima hal tersebut, katakanlah, saat kita mendapatkan program 100 hari kabinet baru.

Bukan hanya karena jumlah program ditambah sekadar untuk mereaksi perkembangan masalah mutakhir, tetapi juga karena absennya landasan filosofis dan kultural, semacam sebuah cetak-biru atau strategi kebudayaan yang menyeluruh, yang akan memberi kaki-kaki yang kukuh bagi bangunan masa depan yang akan dibangun.

Pemerintahan saat ini menjadi begitu pragmatis dan oportunistis, bukan saja dalam penyusunan isi kabinet maupun program-programnya, tetapi juga hingga pemilihan orang-orang dekat kepresidenan beserta dimensi urusannya. Tak ada dalam daftar dari semua nama dan dimensi itu, mereka yang berkeahlian dalam soal tradisi, kesejarahan, kesenian, atau kebudayaan pada umumnya.

Keahlian yang sesungguhnya dapat memberi semua nama dan dimensi itu alasan-alasan penting dan mendasar: mengapa, hendak ke mana,dan bagaimana sebenarnya sebuah program harus dibuat dan dilaksanakan. Bagaimana sebuah pemerintahan tidak menjadi sebuah urusan yang parsial, tetapi menjadi sebuah universum yang merangkum semua kepentingan umum.

Reformasi Kebudayaan

Bukan untuk persoalan personal jika saya harus sekali lagi dan akan terus mengatakan: Presiden dan pemerintah negeri ini semestinya siuman dari cara berpikir dan bersikap mereka yang meminggirkan dimensi kultural dalam pembangunan bangsa dan negeri ini. Apa yang terjadi belakangan ini, pembongkaran memalukan dalam skandal hukum seputar KPK, menunjukkan betapa budaya hukum kita bukan hanya tidak jalan, tidak berbentuk, rusak, tetapi sesungguhnya: tidak ada.

Sementara kesadaran paling sederhana dari intelektualitas paling standar seharusnya mafhum bahwa sebuah kerja dan organisasi yang berskala besar dan berkesinambungan membutuhkan tradisi atau kultur. Di mana baik sistem maupun para aktornya dapat dijaga dan dijamin kemaslahatan perilaku serta hasil pekerjaannya.

Absennya dimensi ini akan tetap membawa kita pada siklus masalah dan duplikasi kesulitan yang bertambah berat hingga akhirnya menjadi involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Namun, sekali lagi, demikianlah riwayat mutakhir kita. Kata kebudayaan pun tetap disubordinasikan dalam urusan-urusan material.

Berbagai peristiwa hebat yang menghantam bangsa ini, dalam dekade mutakhir, tak juga menerbitkan kesadaran bahwa perubahan tidak cukup, bahkan tidak bisa lagi, hanya dilakukan dalam dimensi-dimensi formal-material, tapi kultural. Diterima atau tak diterima, sadar maupun tidak, peduli atau ditertawakan, perubahan atau reformasi kebudayaan itu semestinya, bahkan niscaya, akan terjadi.

Bukan mereka para pengambil keputusan yang menjadi penentu, tetapi orang banyak, juga waktu. Semoga, ini yang kita harapkan bersama, korban tidak harus jatuh karenanya. Apalagi dari kalangan mereka yang semula tak memercayainya. Semoga.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

sumber : www.okezone.com

05 November, 2009

Ihwal Independensi TPF KPK-POLRI


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya merespons dinamika dan protes masyarakat terkait kasus yang menimpa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dengan membentuk tim independen.

Seperti diketahui, tim ini diketuai oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution dan wakil ketua mantan anggota Komnas HAM Irjen (Purn) Koesparmono Irsan, sekretaris tim Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, dan beranggotakan lima orang. Dalam keterangannya, ketua tim Adnan Buyung Nasution mengungkapkan bahwa tim akan memverifikasi semua fakta hukum yang terjadi mulai dari awal kasus hingga penahanan Bibit-Chandra.

Tim diberi kebebasan dan independensi untuk mencari fakta dan klarifikasi. Untuk itu, kata Buyung, tim akan memeriksa semua dokumen pemeriksaan Bibit-Chandra baik yang ada di kepolisian maupun Kejaksaan Agung, termasuk rekaman percakapan yang dimiliki KPK.

Soal Independensi

Pembentukan tim pencari fakta (TPF) ini harus dipahami sebagai hasil dari tekanan publik. Namun, independensi tim tetap harus dikritisi. Anggota tim, sebagaimana diketahui, dikendalikan oleh orang-orang dalam lingkaran SBY, bahkan orang dekat SBY.

Karena itu, wajar jika banyak kalangan tetap meragukan independensi tim ini. Sebagaimana latar belakang pembentukannya, TPF merupakan jawaban atas kekecewaan publik kepada aparat penegak hukum yang bukan hanya gagal menjalankan tugas dan fungsinya menangani perkara-perkara yang menjadi latar belakang kekisruhan KPK-Polri, tetapi juga "main serang" dan saling menjatuhkan. Karena itu, TPF tidak boleh gagal dan memupuk kekecewaan publik. Ujian pertama terhadap independensi TPF adalah mendesakkan penangguhan penahanan kedua pimpinan KPK sebelum mereka bekerja.

Tanpa desakan dan upaya penangguhan penahanan, secara implisit TPF berarti turut menyetujui langkah Polri melakukan penahanan. Jika TPF dibentuk berangkat dari asumsi dan fakta bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, titik pijak kerja mereka harus jelas dan tegas. Kejelasan dan ketegasan itu ditunjukkan dengan mengembalikan dua pimpinan KPK keluar dari jeruji tahanan terlebih dahulu. Pembentukan TPF bukanlah kepanjangan tangan kekuasaan yang bertugas mencuci piring dan memoles citra penguasa yang sebelumnya telah melakukan pembajakan independensi KPK dengan mengeluarkan Perppu Plt KPK.

Demikian juga TPF dimaksudkan bukan semata-mata untuk "mendamaikan" dua institusi negara, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka memastikan penegakan hukum. Dengan dibentuknya TPF tidak berarti Presiden SBY melepas tanggung jawab begitu saja. Presiden harus mengambil langkah-langkah signifikan dalam mereformasi institusi kepolisian dan kejaksaan, termasuk kemungkinan mengganti dua pemimpin institusi penegak hukum ini.

Mandat TPF

Hingga saat ini, belum jelas apa mandat TPF kasus KPK-Polri kecuali mengumpulkan dan mengklarifikasi dokumen-dokumen yang terkait dengan penahanan Bibit-Chandra. Tanpa mandat yang jelas dan dengan bekal independensi yang minimum, dikhawatirkan TPF hanya akan menjadi peredam gejolak protes masyarakat. Dalam pandangan penulis, tugas tim setidaknya meliputi, pertama, melakukan pengumpulan faktafakta dan penyelidikan terhadap perkara-perkara yang menjadi latar belakang kisruh KPK-Polri.

Kedua, melakukan pengkajian terhadap langkah-langkah hukum yang dilakukan Polri dan menyusun rekomendasi penanganan lanjutan. Ketiga, menyusun rekomendasi untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Polri, Kejaksaan Agung, dan pihak-pihak lain dalam kasus-kasus yang diseterukan. Tim juga harus dibekali beberapa kewenangan. Pertama, mengakses seluruh dokumen yang berhubungan dengan tugasnya di semua institusi. Kedua, melakukan pemanggilan, pemeriksaan setiap orang yang dianggap relevan dengan tugas tim. Ketiga, kewenangan penyelidikan.

Selain soal tugas dan kewenangan, tim juga berkewajiban melaporkan tugasnya kepada Presiden dan publik. Dengan tugas dan kewenangan sebagaimana dipaparkan, TPF tidak hanya berhenti bekerja sampai pada titik di mana kisruh KPK-Polri ini selesai. Lebih dari itu, mereka harus mampu mengantarkan orang-orang yang terlibat dalam skandal politik kriminalisasi KPK ini untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum. Pembelajaran dari tim-tim ad hoc yang dibentuk Presiden, umumnya tim-tim itu hanya mampu menghasilkan rekomendasi yang kemudian menjadi arsip kepresidenan dan memori publik.

Kalaupun tim berhasil menyusun rekomendasi brilian, tindak lanjut dari temuan tim juga akan mendapati ganjalan pada proses penyidikan dan penuntutan sehingga gagal melimpahkan kebenaran dan keadilan tentang sebuah kasus. Kinerja TPF Munir, misalnya, dengan kewenangan yang minimum telah mampu menghasilkan rekomendasi konstruktif yang mampu membuka tabir misteri pembunuhan Munir hingga dugaan aktor intelektualnya. Namun, aparat penyidik dan jaksa penuntut umum gagal mentransformasikan temuan-temuan tim menjadi dokumen hukum pro justisia akibat berbagi soal.

Dalam kasus Munir, harus diakui kinerja aparat penegak hukum yang bertugas menindaklanjuti temuan-temuan TPF tidak sepenuhnya berhasil meski telah berupaya keras. Capaian proses hukum atas pembunuhan Munir, meski belum memuaskan dan memberikan keadilan paripurna, justru sebagian besar disebabkan desakan publik dan pengawalan saksama oleh elemen-elemen masyarakat sipil atas kasus ini. Pembelajaran yang demikian harus dijadikan contoh oleh TPF kasus KPK-Polri, khususnya dalam hal bagaimana memastikan rekomendasi-rekomendasi tim dapat diakses oleh publik dan mampu membangun barisan baru pengawal tindak lanjut rekomendasi tim kelak.

Keberpihakan tim pada kebenaran dan kesungguhannya memastikan rekomendasi itu dijalankan adalah bukti independensi TPF kasus KPK-Polri. Di atas segalanya, komitmen Presiden adalah kunci utama.(*)

Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta

sumber : http://www.okezone.com

20 Oktober, 2009

Checks and Balances dalam Sistem Presidensial


Sesuai dengan kalender ketatanegaraan, besok, 20 Oktober 2009, calon presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2009 akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014.

Pelantikan itu merupakan momentum awal bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk menjalankan pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Setelah pelantikan, agenda utama yang jauh hari telah mendapat perhatian publik adalah pembentukan kabinet yang berisi menteri-menteri dan jabatan lain setingkat menteri.

Perbincangan komposisi kabinet tidak hanya seputar siapa yang akan dipilih memegang jabatan kementerian dalam kabinet, tetapi juga menyentuh bangunan demokrasi dan ketatanegaraan, terutama tentang posisi partai oposisi dan keberlangsungan mekanisme checks and balances. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah bagaimanakah mekanisme checks and balances dilakukan dalam sistem presidensial? Apakah untuk itu mengharuskan adanya partai oposisi? ***

Perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan sistem parlementer adalah pada pemegang dan penentu kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden. Kekuasaan tersebut terpisah dari kekuasaan legislatif yang dipegang oleh parlemen. Sebaliknya, ciri utama sistem parlementer adalah pada kekuasaan pemerintahan yang ada pada parlemen itu sendiri.

Oleh karena itu, kabinet adalah bagian dan bergantung kepada parlemen. Dengan sendirinya, dalam sistem parlementer terjadi penyatuan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif. Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam parlemen tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari prinsip supremasi parlemen.

Dalam penyatuan itu dengan sendirinya tidak mungkin diterapkan prinsip checks and balances antara parlemen dan kabinet karena pada hakikatnya kabinet adalah bagian dari parlemen. Bahkan apa yang dilakukan oleh kabinet sepenuhnya bergantung pada keputusan parlemen. Dalam struktur parlementer yang demikian, terdapat potensi yang memungkinkan munculnya diktator mayoritas.

Pada titik inilah keberadaan partai oposisi sangat diperlukan sebagai instrumen checks and balances. Partai oposisi adalah partai yang tidak terlibat dalam kabinet karena kursi yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenangi suara dalam pembentukan kabinet. Dengan sendirinya partai itu juga akan selalu kalah dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Oleh karena itu, posisi terbaik yang harus diambil adalah menjadi oposisi untuk meraih simpati rakyat demi kemenangan pada pemilu selanjutnya.

Oposisi dalam hal ini tidak saja terhadap kabinet pemerintahan, tetapi juga terhadap kelompok mayoritas di parlemen. Pengawasan dan pengkritisan yang dilakukan partai oposisi tidak terbatas pada pelaksanaan kebijakan atau undang-undang, tetapi juga terhadap kebijakan dan undang-undang itu sendiri yang pada satu titik dapat menjatuhkan kabinet dengan menyampaikan mosi tidak percaya.

Adapun dalam sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan parlemen. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen kecuali karena alasan-alasan tertentu dan dengan mekanisme yang khusus pula. Dalam sistem presidensial di Indonesia, untuk mengimbangi dan mengawasi kekuasaan presiden, terdapat DPR dan DPD sebagai lembaga parlemen atau lembaga legislatif yang memiliki fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Melalui fungsi legislasi, kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan dibatasi dan diimbangi melalui undang- undang yang dibuat oleh DPR bersama-sama presiden dan untuk beberapa bidang tertentu juga melibatkan DPD sebagai representasi daerah. Pengimbangan terhadap kekuasaan presiden juga terjadi dalam proses pembuatan APBN sebagai acuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Setiap RAPBN harus disetujui DPR dengan masukan dari DPD untuk dapat ditetapkan sebagai APBN. Dengan demikian sesungguhnya DPR dan DPD juga ikut menentukan kebijakan program pemerintahan dan penganggaran yang tertuang dalam APBN. Melalui fungsi pengawasan, DPR dan DPD akan senantiasa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan.

Pengawasan ini dimaksudkan agar undang-undang dan kebijakan yang telah dibuat benar-benar dilaksanakan dan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintahan karena salah satu ciri sistem presidensial yang dibangun adalah menentukan masa jabatan presiden secara pasti (fix term) kecuali karena alasan pelanggaran hukum dan ketidakmampuan menjabat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Menjadi kewajiban seluruh anggota DPR dan DPD untuk melaksanakan ketiga fungsi yang dimiliki untuk berjalannya mekanisme checks and balances tanpa memandang induk partai politik apakah memiliki tokoh dalam kabinet atau tidak. Bahkan, anggota DPR dari partai presiden pun harus melaksanakan ketiga fungsi tersebut.

Struktur kelembagaan presidensial yang demikian menjadikan ada atau tidak adanya partai oposisi tidak relevan dengan upaya menciptakan checks and balances. Semua anggota DPR, dari partai oposisi ataupun bukan, tetap harus menjalankan ketiga fungsi yang dimiliki sebagai bagian dari mekanisme checks and balances.

Bahkan, menjadi atau tidak menjadi partai oposisi dalam sistem presidensial sama-sama tidak dapat menjatuhkan pre-siden dan wakil presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi melalui mekanisme impeachment.***

Menteri memang merupakan jabatan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa menteri bukan pegawai tinggi biasa. Menteri-menterilah yang terutama akan menjalankan pemerintahan (pouvoir executif) dalam praktik. Oleh karena itu Presiden SBY tentu akan sangat selektif dalam memilih menteri-menterinya dan adalah hak Presiden sepenuhnya untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan mandat konstitusi.

Tentu dalam pembentukan kabinet nantinya Presiden akan sangat memperhatikan kualitas kepemimpinan dan kompetensi yang dimiliki seseorang. Namun, mungkin perlu pula ada pertimbangan politis di dalamnya. Bagaimanapun postur kabinet yang akan datang adalah hak Presiden untuk menentukan sesuai dengan mandat rakyat dan konstitusi.

Kiranya tidak perlu ada kekhawatiran hal itu akan melahirkan kekuasaan yang terlalu kuat atau terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Jika semua lembaga negara, terutama kekuasaan legislatif, menjalankan fungsinya, dengan sendirinya kekhawatiran itu dapat dicegah karena sesungguhnya mekanisme checks and balances telah built in dalam sistem presidensial yang dibangun. Selamat menjalankan roda pemerintahan.(*)

Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI

sumber : www.okezone.com

09 Oktober, 2009

Desensitisasi...


SEHARI setelah gempa bumi di Sumatera Barat, saya menerima beberapa pesan singkat (SMS) yang sama melalui handphone, bahwa gempa bumi itu terjadi pada pukul 17.16 WIB, lalu dikaitkan dengan surat dan ayat Alquran: 17:16, yang artinya: Dan apabila Kami menghendaki untuk membinasakan satu negeri, maka Kami menyuruh orang-orang yang hidup mewah lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu. Maka berlakulah ketentuan Allah atasnya, lalu Kami menghancurkannya sehancur-hancurnya.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini sepenuhnya kebenaran isi Alquran yang menyebutkan bahwa Allah akan menghukum suatu kaum yang durhaka pada-Nya, dan sangat bisa jadi sekelompok masyarakat yang tidak berdosa akan ikut menderita karenanya. Begitulah salah satu bunyi ayat Alquran.

Namun ketika saya menerima edaran SMS tersebut, dan ternyata banyak teman juga menerima, hati saya bertanya. Apakah betul pemahaman saya terhadap ayat Alquran tersebut ketika mengaitkannya dengan musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan sekitarnya? Kesan yang muncul dari SMS itu pengirimnya berpandangan bahwa Allah tengah menghukum dosa mereka yang hidup mewah dan durhaka pada Allah.

Ada lagi yang menulis, mereka jadi tumbal dari dosa-dosa yang dilakukan oleh para elit di negeri ini. Apakah bijak di saat saudara kita tertimpa musibah, lalu mengedarkan SMS ayat Alquran yang seakan membenarkan terjadinya musibah atas mereka lantaran ada kecocokan antara jam peristiwa dengan nomor surat dan ayat Alquran?

Lalu, apakah ketika terjadi gempa di Jawa Barat, Yogyakarta dan beberapa wilayah Indonesia yang sering terkena gempa juga ada korelasi kecocokan waktu dan nomor ayat Alquran? Karena terdapat daerah yang diduga akan terkena gempa susulan, bagaimana mencari korelasi antara ayat dan peristiwa itu?

Lebih jauh lagi, bagaimana memahami negara-negara lain yang juga menjadi langganan peristiwa gempa dan angin topan yang selalu menelan korban itu? Dalam tradisi Islam memang ada pemikiran yang selalu mencoba mengaitkan antara ayat qauliyah dan ayat kauniyah, antara kitab suci yang tertulis dan kitab suci yang terhampar dalam jagad semesta. Namun berbagai tafsiran itu tetaplah dalam batas tafsiran, tidak ada jaminan meraih kebenaran mutlak.

Semua penafsiran selalu berusaha mencari kebenaran, tetapi haruslah tetap bersikap rendah hati dan bijaksana. Seorang teman yang saya duga berasal dari Sumatera Barat menulis dalam FB saya, ketika negara-negara lain yang bukan muslim tengah menggalang dana bantuan dan sebagian sudah sampai di tempat, beredarnya SMS di atas sangat menyinggung perasaannya.

Banyak yang jadi korban gempa adalah orang yang hidupnya sederhana. Mereka warga masyarakat yang baik. Bahwa ada misteri di balik gempa yang sangat dahsyat itu, kita serahkan saja pada Allah. Otak manusia tidak sanggup menjangkaunya. Para ilmuwan telah berusaha mempelajari adanya lempengan bumi yang bergerak dan itu bisa mengakibatkan permukaan bumi berantakan.

Mirip hidangan yang tersedia di atas meja menjadi berantakan ketika kaki mejanya ada yang patah. Ilmuwan pun sulit meramal kapan gempa akan terjadi. Jadi, sangat wajar dan benar kalau umat yang beriman lalu mengembalikan semua tragedi itu pada Tuhan sambil melakukan introspeksi. Buah introspeksi itu bagi masyarakat Jepang yang menjadi langganan gempa bumi adalah membuat konstruksi bangunan yang tahan gempa.

Orang Belanda yang negaranya menempel di pantai lalu membuat tanggul dan kanal agar kotanya tidak tenggelam oleh air laut yang pasang. Demikianlah, karena sudah lama diketahui bahwa beberapa wilayah Indonesia ini memang berada di garis yang berpeluang terkena gempa, maka perlu pendekatan ilmiah-rasional tanpa melupakan berdoa dan bersikap pasrah pada Allah, karena tragedi kehidupan itu bisa terjadi di mana saja dalam bentuk apa saja.

Sekali lagi, saya tidak menghujat dan meragukan kebenaran ayat Alquran, tetapi perlu kepekaan sosial dalam menafsirkannya jangan sampai kitab suci yang mulia dan diturunkan dari Allah Yang Mulia itu malah menyakiti teman kita yang terkena musibah. Inilah yang saya maksudkan dengan istilah "desensitisasi", yaitu hilangnya sensitivitas moral-emosional ketika melihat problem sosial.

Sekarang ini fenomena desensitisasi mudah sekali dijumpai dalam ranah politik, birokrasi dan juga masyarakat. Kolega saya, Amsal Bahtiar, belum lama ini ke rumah sakit untuk periksa kesehatan sebagai salah satu syarat ibadah haji. Dia heran, begitu panjang antreannya, dan di antaranya adalah orang-orang yang lanjut usia.

Mereka ingin periksa kesehatan untuk ibadah haji. Tetapi, kata Amsal, mengapa yang muda-muda itu tidak peka, membiarkan orangtua ikut antre panjang? Padahal sama-sama ingin beribadah haji? Ini salah satu contoh desensitisasi. Ada lagi yang memberi komentar, di saat warga Sumatera Barat menderita kekurangan bantuan, tak jauh dari situ Golkar tengah mengadakan kongres memperebutkan ketua umum dalam suasana yang sarat dengan permainan uang untuk membeli suara.

Ini juga bentuk lain dari desensitisasi. Dalam kajian psikologi, desensitisasi ini muncul dan kian menguat ketika masyarakat terbiasa dihadapkan perilaku menyimpang dan peristiwa kekerasan sehingga terjadi kekebalan dalam perasaannya. Mereka tidak lagi peka melihat penyimpangan dan penderitaan (emotionally and morally insensitive).

Akibat lebih lanjut lagi akan memunculkan apa yang disebut compassion fatigue, keletihan untuk merasa terharu dan kasihan ketika melihat penderitaan yang dialami sesama. Empati dan dorongan untuk menolong sesama adalah salah satu pesan pokok agama. Ketika dua sifat ini hilang, ambruklah moralitas masyarakat dan bangsa. Apakah masyarakat kita tengah mengarah ke sana? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

sumber : http://www.okezone.com

07 Oktober, 2009

Munas dan Masa Depan Partai Golkar


Partai Golongan Karya tengah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-8 di Pekanbaru, Riau. Masih adakah peluang Golkar mengukuhkan diri kembali sebagai parpol terbesar dan menentukan arah politik negeri ini?

Pertanyaan di atas sangat wajar diajukan mengingat kekalahan beruntun Golkar dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2005-2009, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Target merebut 60 persen jabatan kepala daerah melalui pilkada ternyata hanya tercapai sekira 35 persen.

Target 30 persen perolehan suara pemilu legislatif hanya bisa dicapai sekira separuhnya. Sementara itu, target memenangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres 2009, jauh panggang dari api, karena pasangan yang diusung Golkar dan Hanura tersebut hanya menduduki peringkat ketiga perolehan suara di bawah Yudhoyono-Boediono dan Megawati-Prabowo.

Karena itu, Munas Golkar di Pekanbaru merupakan momentum penting bagi parpol warisan Orde Baru ini untuk introspeksi dan evaluasi diri, mengapa kepercayaan publik terus merosot dari waktu ke waktu. Padahal secara organisasi, Golkar dapat dikatakan sebagai parpol yang memiliki organisasi dan kepengurusan terlengkap di Tanah Air.

Kehilangan Induk

Kebesaran Golkar pada era Orde Baru harus diakui tak lepas dari perlakuan istimewa mantan Presiden Soeharto, yang tak hanya menjadikan Golkar sebagai "partai penguasa", melainkan juga turut memenangkannya dalam setiap pemilu. Selain itu, Golkar juga didukung secara resmi oleh militer dan birokrasi negara. Tidak mengherankan jika memasuki era reformasi, Golkar ibarat anak ayam kehilangan induk.

Namun, berkat kerja keras dan kepemimpinan Akbar Tandjung (1999-2004), Golkar tak hanya berhasil melewati masa krusial dan kritis, juga memenangi Pemilu 2004. Terlepas dari kasus dana Bulog yang pernah dialami mantan Ketua Umum PB HMI ini, Akbar relatif berhasil menggerakkan mesin partai sehingga terhindar dari kutukan sejarah. Periode Jusuf Kalla (2004-2009) semestinya bisa menjadi momentum bagi Golkar untuk bangkit.

Akan tetapi, kesibukan JK sebagai wakil presiden, serta juga Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono sebagai ketua DPR, tampaknya berdampak pada tidak terurusnya organisasi partai berlambang pohon beringin ini. Para pengurus daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, lagi-lagi mengalami periode "anak ayam kehilangan induk".

Akibatnya, seperti kita saksikan, hingga saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2009, tidak pernah jelas apakah Golkar benar-benar hendak mengajukan calon presiden sendiri, atau melanjutkan koalisi longgar dengan Presiden Yudhoyono.

Ketidakjelasan tersebut tampak mencolok pada keputusan-keputusan Rapimnas dan Rapimnas Khusus Golkar yang tidak saling mendukung satu sama lain. Keputusan mengajukan JK sebagai calon presiden, baru dilakukan pada saat-saat terakhir ketika para simpatisan dan pendukung Golkar telah berpaling dari Yudhoyono.

Redefinisi Peran

Sebab itu, dalam kondisi terpuruk seperti saat ini tak ada pilihan lain bagi Golkar kecuali melakukan redefinisi dan reaktualisasi peran serta posisi diri partai ini dalam pentas politik nasional. Artinya, jika Golkar sungguh-sungguh memiliki komitmen untuk menjadi penentu arah politik nasional, semestinya para elite partai tidak terperangkap pada persaingan merebut jabatan ketua umum belaka.

Di samping itu, terlalu besar risiko bagi Golkar jika para elite membiarkan partai beringin sekadar sebagai kuda tunggangan para politisi oportunistik, yang akhirnya berpotensi menghancurkan masa depan Golkar. Itu artinya, Munas ke-8 Partai Golkar di Pekanbaru seharusnya mengagendakan pula diskusi-diskusi serius tentang visi, platform politik, dan format Golkar ke depan sebelum benar-benar menjadi parpol gurem.

Sebagai parpol tertua di negeri ini, orientasi politik Golkar semestinya tidak semata-mata kekuasaan dalam pengertian sempit. Sebaliknya, Golkar dituntut mengambil peran dan tanggung jawab politik lebih besar dalam memberi arah politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan keamanan negeri ini ke depan. Kalau tidak, maka partai beringin tak lebih dari sekadar kendaraan politik belaka bagi para petualang politik yang tidak bertanggung jawab.

Menjaga Jarak

Mengubah tradisi Munas dari ajang pergantian ketua umum menjadi forum pertukaran pikiran memang tidak mudah. Apalagi kecenderungan yang sama juga dilakukan parpol-parpol lain di negeri ini.Namun, barangkali justru di situlah tantangan terbesar yang dihadapi Golkar di Pekanbaru pekan ini, sekaligus menciptakan tradisi baru bagi partai beringin.

Tantangan besar lainnya adalah keberanian Golkar menjaga jarak dengan pemerintahan Yudhoyono tanpa harus berdiri secara formal sebagai oposisi. Apalagi istilah oposisi sendiri masih menjadi stigma kolektif di lingkungan internal Golkar. Melalui pilihan menjaga jarak dengan pemerintah, Golkar tidak hanya "terselamatkan" jika periode kedua pemerintahan Yudhoyono kurang berhasil, melainkan juga bisa merumuskan kebijakan-kebijakan alternatif melalui peran parlementer di DPR.

Tantangan terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah kemampuan Golkar melembagakan tradisi demokrasi partai secara internal. Kecenderungan Golkar mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dalam rangka lolosnya calon-calon ketua umum yang seharusnya tidak lolos, bagaimanapun perlu dikoreksi. Persoalannya kini terpulang kepada para peserta Munas Pekanbaru, apakah benar-benar hendak menyelamatkan Golkar, atau malah menguburkannya.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Sumber : http://www.okezone.com

24 September, 2009

Hari Kemenangan KORUPTOR...!


SEPERTINYA segala macam upaya untuk membunuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencapai rangkaian titik kulminasi selama beberapa hari menjelang dan hari-hari pertama Idul Fitri.

Secara faktual, rangkaian itu mulai dari penetapan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sebagai tersangka. Guna menindaklanjuti status itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memungkinkan pengisian pimpinan KPK dengan menunjuk pelaksana tugas (plt).

Selain kedua peristiwa tersebut, langkah sistemik untuk melemahkan KPK dapat pula dilacak dari serangkaian penyeludupan pasal dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor). Sebut saja misalnya, kuatnya keinginan sejumlah fraksi di DPR untuk menghilangkan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan alias KPK cukup menjadi penyidik dalam kasus korupsi.

Dengan logika seperti itu, sejumlah fraksi hendak mengembalikan penuntutan kepada kejaksaan. Padahal, merujuk argumentasi dasar revisi UU KPK, Mahkamah Konstitusi hanya memerintahkan membuat Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang terpisah dari UU KPK. Dasar pijak MK, Pasal 25A ayat (5) UUD 1945 menghendaki pembentukan peradilan di bawah Mahkamah Agung dilakukan dengan undang-undang.

Dengan demikian, dalam bahasa sederhana, putusan MK sama sekali tidak bermaksud membunuh Pengadilan Tipikor (karena dapat melemahkan eksistensi KPK), tetapi hendak memperkuat landasan hukum (legal basic) Pengadilan Tipikor.

Pertanyaan elementer yang patut dikemukakan, adakah semua rangkaian peristiwa itu menjadi gambaran keberhasilan agenda serangan balik para koruptor (corruptor fights back)? Pertanyaan itu menjadi begitu relevan dikemukakan karena upaya serangan balik itu sudah mulai terasa seiring melajunya agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Berumur Pendek

Negeri ini terbilang mempunyai catatan buruk dalam agenda pemberantasan korupsi. Sejauh ini telah banyak dibentuk lembagalembaga khusus untuk memberantas korupsi. Misalnya pada 1970 pernah dibentuk Komisi Empat, tahun 1999 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) bubar pada 2002.

Khusus untuk KPKPN,ditengarai lembaga ini dibubarkan karena mulai bergerak menelusuri ketidakwajaran kekayaan sejumlah tokoh penting yang berkuasa (termasuk anggota DPR) pada saat itu. Sederhananya, lembaga-lembaga khusus itu tidak ada yang berumur panjang. Melacak gejala yang ada, saat ini nasib yang menimpa sejumlah lembaga khusus itu sedang menghampiri KPK.

Dibandingkan dengan semua lembaga itu, resistensi atas KPK jauh lebih masif dan sistemik. Hasil penelusuran aktivis antikorupsi yang tergabung Aliansi Cinta Indonesia Cinta KPK (Cicak), setidaknya ada 11 upaya yang telah dan sedang dilakukan sebagai bentuk resistensi yang berpotensi membunuh KPK.

Di antara resistensi itu, hampir sepanjang periode pertama KPK, sejumlah pihak berupaya melumpuhkan lembaga extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini dengan mengajukan judicial review atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Puncaknya, MK mengabulkan permohonan judicial review atas UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Pasal 53 UU KPK harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Celakanya, batas 19 Desember 2009 yang diberikan MK sudah di depan mata, RUU Pengadilan Tipikor masih jauh dari selesai.

Tusukan langsung untuk membunuh KPK, setidaknya, dapat dilacak dari bangunan argumentasi yang mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Gugatan atas kewenangan KPK dilakukan setelah MK menutup ruang untuk mempersoalkan keberadaan KPK melalui proses judicial review.

Dengan tertutupnya ruang ke MK, sejumlah kalangan mulai mencoba memakai instrumen negara yang lain untuk melumpuhkan KPK. Misalnya, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR, Ahmad Fauzi, mengeluarkan wacana pembubaran KPK. Wacana itu muncul berbarengan dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR.

Setelah itu, berbarengan dengan skandal yang menimpa Ketua KPK Antasari Azhar, sejumlah kalangan di DPR mengemukakan bahwa prinsip pimpinan kolektif tidak terpenuhi lagi setelah penetapan status tersangka pada Antasari Azhar. Ketika itu sebagian anggota DPR meminta KPK menghentikan semua upaya penegakan hukum yang tengah dilakukan.

Secara sempit dasar argumentasi yang digunakan, sesuai dengan Pasal 21 UU KPK, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif untuk mengambil putusan. Seperti sebuah desain besar, belum usai isu kolektivitas pimpinan KPK, tiba-tiba BPKP bersikeras mengaudit KPK. Padahal, tanpa perlu mengerti secara dalam aturan hukum, semua orang tahu persis, BPKP sama sekali tidak berwenang mengaudit KPK.

Desain besar itu bergerak ke titik lain, tiba-tiba kepolisian membuat "kejutan" dengan memeriksa Chandra M Hamzah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Anehnya, pemeriksaan itu lebih banyak pada penggunaan kewenangan penyadapan KPK. Tindakan yang dilakukan kepolisian benar-benar menimbulkan guncangan hebat di KPK.

Ibarat bola liar, pemeriksaan kepolisian bergerak ke segala arah setelah gagal mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Sebagaimana diberitakan, dalam testimoni Antasari Azhar menuliskan sejumlah pimpinan KPK menerima uang dari PT Masaro Radiokom.

Karena sulit menggunakan testimoni itu, kepolisian bergerak ke arah indikasi penyalahgunaan kewenangan pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra yang dilakukan oleh KPK. Hal yang bisa dibaca dari semua itu, sepertinya kepolisian sedang mencari-cari kesalahan pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka sehingga punya dasar hukum menonaktifkan mereka.

Dalam konteks itu, banyak kalangan menduga sejumlah pihak sedang menggunakan institusi negara (baca: kepolisian) membunuh KPK. Dugaan itu amat mungkin mendekati benar karena dua orang pimpinan KPK (Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto) ditetapkan sebagai tersangka tanpa bukti-bukti cukup kuat. Ujung dari semua itu, mengakhiri masa bakti KPK, sehingga nasibnya sama dengan mendiang Komisi Empat, TGPTPK, dan KPKPN.

Hari Kemenangan

Posisi sakaratul maut yang tengah menimpa KPK benar-benar menjadi kabar baik bagi para koruptor dan sekaligus menjadi keberhasilan corruptor fights back. Celakanya, nasib tragis KPK terjadi begitu KPK memasuki wilayah-wilayah yang selama ini gagal disentuh penegak hukum konvensional.

Meminjam istilah Denny Indrayana (2008), di antara wilayah itu adalah Istana dan Pengusaha Naga. Denny Indrayana menjelaskan, Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini dan Pengusaha Naga adalah korupsi oleh megapengusaha.

Tidak terbantahkan, selama ini, KPK cukup berhasil menjamah Istana dan Pengusaha Naga sebagaimana dimaknai Denny Indrayana tersebut. Bisa jadi, nasib yang menimpa KPK saat ini merupakan konsekuensi dari keberhasilan memasuki wilayah-wilayah yang selama ini untouchable.

Karenanya, banyak pihak berkepentingan untuk menghentikan laju langkah KPK. Saat ini, upaya membunuh KPK hampir mencapai titik kulminasi. Meski belum sampai di titik kulminasi, para koruptor telah mulai merayakan kemenangan.

Hal yang membuat kita (terutama yang concern dengan agenda pemberantasan korupsi) trenyuh, mereka memulai perayaan kemenangan hampir berbarengan dengan umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, hampir dapat dipastikan, puncak kemenangan para koruptor akan segera datang.

Hari-hari ke depan akan menjadi hari bersulang para koruptor. Percayalah, perayaan mereka pasti jauh lebih lama dan lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Idul Fitri. Tragis! (*)

Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Palembang

sumber : http://www.okezone.com

11 September, 2009

Zakat, Korupsi dan Kemiskinan


TEMPO Interaktif, Sudah menjadi semacam konvensi, di setiap Ramadan umat Islam diseru untuk membayar zakat (fitrah dan mal) yang diperuntukkan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tragedi zakat maut tahun lalu di Pasuruan adalah bukti konkret, betapa ibadah zakat begitu “populer” dan digemari elite hartawan maupun masyarakat miskin menjelang hari raya.

Secara normatif-teologis, Islam memang mewajibkan kalangan yang mampu untuk peduli dan membantu sesamanya yang kekurangan, melalui konsep zakat. Ini sekaligus menunjukkan keseriusan doktrin Islam terhadap upaya penciptaan keadilan sosial melalui ritual zakat. Secara aktual, keadilan sosial dapat diwujudkan dengan menciptakan tatanan sosial yang bebas dari praktek korupsi dan jauh dari “penyakit” kemiskinan. Lalu, sejauh mana relevansi dan signifikansi zakat jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi dan pengentasan masyarakat miskin?

Pada prinsipnya, Islam tidak sekadar mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah secara vertikal, tetapi juga sekaligus beribadah secara horizontal. Semua bentuk ritual dalam Islam, seperti salat, puasa, zakat, dan haji, memiliki dimensi individual dan dimensi sosial.

Karena itulah, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk mementingkan dirinya sendiri menuju ke jalan rohani Tuhan, tetapi juga menginginkan pengikutnya menuju jalan sosial-kemanusiaan, sebagaimana tecermin dalam ajaran zakat. Ironisnya, makna zakat yang sarat muatan sosialnya itu acap kali disalahmanfaatkan oleh sebagian umat Islam, sehingga kehilangan makna substansialnya.

Pertama, zakat yang bermakna pensucian harta sering kali disalahartikan secara sepihak oleh orang-orang yang bergelimang harta dan para pejabat negara. Oleh mereka, zakat sekadar dijadikan cara untuk mensucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil korupsi dan praktek kemaksiatan lainnya. Karena itulah, zakat kehilangan makna substansialnya untuk mensucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Harta yang diperoleh dari praktek korupsi dianggap suci dan halal setelah dibayarkan zakatnya kepada kaum fakir-miskin. Inilah wujud pemahaman yang formalistik, lahiriah, dan tidak mengambil makna terdalam dari hakikat agama.

Padahal, harta yang diperoleh dari praktek korupsi selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah sebagai pensucian terhadap segala praktek haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan korupsi mendapat laknat dari Tuhan dan tidak mendapat keberkahan dalam hartanya.

Kedua, korupsi sesungguhnya telah mengingkari makna ajaran zakat yang secara sosial bertujuan menciptakan keadilan sosial. Bukankah harta yang dikorupsi adalah uang rakyat, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir-miskin dan mereka yang perlu diberi perlindungan ekonomi? Di manakah letak kepedulian sosialnya jika ia mengkorupsi harta orang banyak demi memperkaya diri sendiri? Karena itulah, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Dalam konteks ini, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang haram. Apa pun alasannya, jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, tidak secara otomatis menjadi suci. Inilah yang mestinya kita sadari bersama bahwa makna ibadah zakat harus benar-benar dapat mensucikan harta dan menciptakan keadilan sosial. Zakat bukanlah sin and money laundering atas segala praktek haram.

Kemiskinan
Menurut para ulama, yang menjadi sasaran atau penerima utama zakat adalah fakir miskin (mustadh'afin). Zakat itu "diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang yang papa di antara mereka" (QS. 9:60). Dalam perspektif ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari yang kaya kepada yang tidak berpunya. Pengalihan kekayaan berarti pengalihan sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis. Misalnya, seseorang yang menerima zakat itu bisa mempergunakannya untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif dan atau produktif.

Jika dicermati, sejatinya, dengan berzakat, kita dididik untuk mengembangkan sense of awareness terhadap derita rakyat miskin, yang kemudian melahirkan sikap empati dan simpati kepada mereka. Kalau boleh diilustrasikan, zakat itu ibarat the have, sementara rakyat miskin laksana the needy. Filsafat sosialnya menjadi afirmatif : the have harus memiliki ethical obligation kepada the needy. Dengan kata lain, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin. Zakat, dengan demikian, dapat menyentuh, menyadarkan, sekaligus menumbuhkan semangat dan kewajiban moral-etik-kemanusiaan kita kepada rakyat miskin.

Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat sebenarnya hendak melatih diri kita untuk sensitif terhadap realitas. Yakni, menjadi lebih peka dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan, yang selama ini dialami kaum tertindas baik secara ekonomis maupun politis, dengan demikian mendapatkan referensi, justifikasi, dan legitimasi dari ritual zakat. Karena itu, laku ritual zakat haruslah dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alusi kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutik sosial dalam konstruksi pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata.

Ini berarti, setiap bentuk ritual dalam Islam (baca: zakat) mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan kembali api dan semangat fitrah, bukan hanya dalam kesadaran subyektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari sinilah diharapkan zakat mampu menemukan makna-makna emansipatorisnya sebagai praksis pembebasan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

MAKSUN, Dosen IAIN Walisongo, Semarang

sumber : http://www.tempointeraktif.com

Alqur'an dan Bumi Manusia

SETIAP Ramadan di berbagai masjid selalu diadakan peringatan Nuzulul Quran, peristiwa turunnya Alquran. Tentu Alquran turun ke bumi tidak seperti turunnya hujan dari langit karena langit itu sendiri pengertiannya banyak, mengingat bumi itu bulat dan hanya sebagian kecil saja dari miliaran planet yang mengapung di alam semesta.

Jadi, kalau dikatakan Alquran itu turun dari langit, langit manakah yang dimaksud, sulit dijawab secara ringkas. Peristiwa nuzulul Quran mungkin mirip dengan Isra Mikraj, Yaitu peristiwa rohani yang hanya dialami oleh pribadi Muhammad SAW,sementara para sahabat tidak ikut terlibat di dalamnya.

Para sahabat hanya mendengar ceritanya, lalu meyakini. Ini berbeda dengan hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah yang merupakan peristiwa historis-empiris yang bisa disaksikan dan diikuti oleh para sahabat beliau. Alquran turun pun tidak dalam bentuk lembaran kertas penuh tulisan yang jatuh berhamburan di muka bumi, lalu dipungut oleh Rasulullah.

Tidak juga malaikat Jibril menyerahkan bundelan kitab yang dapat diraba dan dipegang. Tetapi Alquran turun pada bumi manusia, dengan lokus ataupun perantara Muhammad seorang diri. Ini merupakan peristiwa rohani yang Muhammad sendiri sulit menjelaskan, bahkan pada awal mulanya ketakutan ketika makhluk spiritual bernama Jibril menemuinya di Gua Hira.

Jadi, yang dituju oleh Nuzulul Quran adalah bumi manusia, yaitu hati dan pikiran manusia, agar pesan dan petunjuk Alquran direnungkan, dipahami, dinalar, selanjutnya masuk menjadi keyakinan dan pada urutannya menggerakkan dan membuahkan perbuatan baik atau amal saleh.

Bahwa setiap Ramadan diadakan peringatan awal turunnya Alquran, itu sangat bagus agar umat Islam semakin akrab dan semakin mencintai Alquran. Namun yang paling mendasar dari peringatan itu adalah apakah pesan dan semangat Alquran nuzul pada hati dan pikiran kita ataukah tidak? Alquran menamakan dirinya dengan beragam nama dan fungsi, namun yang terkenal sebagai hudan atau petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan.

Dalam tradisi hermeneutika, sebuah petunjuk akan berfungsi dengan mengandaikan beberapa syarat. Pertama, seseorang mesti paham apa yang dikandung oleh petunjuk itu. Misalnya saja, ketika ke Jepang, saya tiba-tiba menjadi buta huruf lantaran dihadapkan dengan beberapa keterangan dan petunjuk jalan dalam huruf kanji dan bahasa Jepang. Demikian pula apa yang dikandung Alquran.

Ketika seseorang tidak mampu membaca dan menangkap pesannya, petunjuk itu tidak berfungsi. Kedua, ibarat petunjuk jalan, kalau seseorang paham tetapi tidak mau menaati atau dihadapkan pada situasi yang menghalangi, maka lagi-lagi petunjuk itu tidak mengantarkan seseorang pada sasaran yang dituju.Ketiga, ibarat resep dokter, kalau seseorang tidak berdisiplin mengikuti petunjuknya agar memakan obat serta menjaga gaya hidup sehat, maka sulit baginya untuk hidup sehat.

Jadi, Alquran sebagai petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan pada implementasinya dikembalikan pada umat Islam sendiri, apakah benar-benar memahami dan mampu melaksanakan ataukah tidak. Bahwa membacanya berpahala, memang itu dibenarkan oleh Rasulullah. Bahwa peringatan Nuzulul Quran itu bagus, itu sudah pasti sebagai tanda cinta umat Islam pada kitab sucinya.

Heart, Head, Hand

Agar Alquran mencapai sasarannya dan nuzul atau turun pada bumi manusia dan berfungsi membawa rahmat bagi kehidupan manusia, tidak saja bagi umat Islam, maka syarat pertama seseorang haruslah menyucikan hatinya (clean heart). Bagi orang yang hatinya tidak bersih, Alquran sulit untuk masuk.

Demikianlah bunyi salah satu ayat Alquran. Selama Ramadan, dengan banyak memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan dan berbuat baik kepada sesama, semoga hati seorang mukmin akan kembali menjadi bersih sehingga Alquran bisa nuzul ke hatinya.

Syarat kedua, bila tanpa pikiran kritis dan selalu ingin berdialog secara cerdas dengan Alquran, Alquran seakan bisu, tidak banyak berbicara pada kita. Sebuah teks akan berbicara dan mengajari kita kalau kita senang bertanya, berdialog dan menangkap kandungannya. Makanya umat Islam mesti menggunakan nalar kritis dalam membaca Alquran.

Itulah salah satu keunikan dan keunggulan mukjizat Alquran yang menantang dan sekaligus membimbing penalaran (head) manusia. Syarat ketiga, setelah menggunakan heart dan head dengan benar dan optimal, selanjutnya seorang muslim haruslah mengimplementasikan dalam karya dan tindakan nyata dengan hand, sehingga buah dari kecintaan dan pemahamannya pada Alquran membuahkan amal saleh, yaitu karya nyata yang benar dan bermanfaat bagi umat manusia.

Semasa Rasulullah, masyarakat Arab padang pasir yang dikenal jahiliah dan senang berperang, dengan bimbingan Alquran, hati, pikiran dan perilakunya dipandu oleh Alquran, sehingga dalam waktu singkat terjadi revolusi peradaban.

Alquran benar-benar nuzul pada hati dan pikiran mereka yang kemudian mendorong perubahan sosial, dari kehidupan yang tidak beradab menjadi beradab. Hidup yang semula senang berperang berubah menjadi senang ilmu dan perdamaian. Itulah salah satu pesan Nuzulul Quran yang mesti kita gali, renungkan dan amalkan. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber : http://news.okezone.com

07 September, 2009

Dahlan Iskan, Soemarsono, Dan Front Anti Komunis


TEMPO Interaktif, Meski sudah 64 tahun merdeka, kita belum merdeka dari kebencian dan dendam kesumat. Meski kemerdekaan itu antara lain berkat seluruh komponen rakyat, termasuk yang komunis, tiap sosok yang dicurigai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dimunculkan, selalu ada reaksi berlebihan.

Meski tokoh yang dicap komunis itu berjasa bagi perjuangan kemerdekaan, seolah jasanya dianggap tidak ada.

CEO Jawa Pos sudah menuliskan tokoh seperti itu (Soemarsono) dalam catatan berseri (Jawa Pos, 14-16 Agustus 2009). Dalam tulisannya, Soemarsono disebut sebagai tokoh utama pertempuran Surabaya (1945). Soemarsono juga tokoh utama Peristiwa Madiun 1948. Tulisan itu membuat berang kalangan antikomunis. Sekitar 150 orang yang mengaku anggota Front Anti-Komunis mendatangi kantor redaksi Jawa Pos di gedung Graha Pena, Surabaya, 2 September lalu. Mereka mendesak pemilik Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, meminta maaf kepada umat Islam dan bangsa Indonesia (Koran Tempo, 3 September 2009).

Yang menyedihkan, dalam demo itu terjadi pembakaran buku yang ditulis Soemarsono yang berjudul Revolusi Agustus. Bahkan seorang guru besar sejarah, yaitu Profesor Amminuddin Kasdi, yang memang anti-PKI dan menulis buku G30S/PKI, Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia, tidak bisa mencegah pembakaran itu. Memprihatinkan, ketika kita tidak mampu mengembangkan budaya ilmiah. Tulisan yang dinilai keliru seharusnya ditanggapi lewat tulisan juga, bukan dengan amarah dan membakar buku.

Dari kejadian itu terlihat betapa pepatah Inggris, time is a healer (waktu adalah sang penyembuh), belum sepenuhnya berlaku di negeri ini, terlebih ketika ada sosok yang dicap PKI dimunculkan ke publik. Demikian juga, tiap kali Peristiwa Madiun 1948 atau Peristiwa 1965 disinggung, selalu ada pihak yang tersinggung. Kita ternyata bangsa pendendam. Kita belum bisa seperti warga Polandia, Rusia, atau negara-negara bekas komunis yang sudah bisa berdamai dengan sejarah mereka, sehingga antara yang dulu komunis dan yang tidak sudah bisa bergandeng tangan memajukan negaranya.

Kita masih diliputi dendam dan kebencian, yang justru terus kita coba lestarikan dan wariskan kepada generasi mendatang yang sebenarnya tidak tahu-menahu akan peristiwa di masa lalu, yang memang banyak versinya. Misalnya peristiwa yang oleh Orde Baru disebut Pemberontakan G30S/PKI. Sejarah 1965 oleh Orba juga didominasi oleh sejarah yang ditulis dari sudut kepentingan penguasa. Untunglah kini sudah muncul puluhan buku yang ditulis dari sudut korban. Apa yang dilakukan Soemarsono bisa jadi dimasukkan dalam kategori ini, karena selama ini publik sudah telanjur memberikan cap buruk kepada Soemarsono. Kini, dengan bukunya, kita paling tidak bisa membaca sejarah dari versi korban orang yang dicap komunis. Apa yang dilakukan Soemarsono jelas memperkaya sejarah kita. Soal kita tidak sependapat, itu bisa dilakukan dengan menulis, bukan dengan membakar bukunya atau marah.

Tentang Peristiwa 1948 atau 1965, kini sudah banyak bukunya. Satu hal pasti, menurut sejarawan Antony Reid dalam bukunya, Revolusi Nasional Indonesia (1996), peristiwa 1965 sebenarnya sangat berkaitan dengan peristiwa 18 September 1948 di Madiun. Yang mengaitkan adalah dendam dan kebencian antara pihak komunis dan penentangnya, mengingat dalam peristiwa 1948 itu memang jatuh banyak korban dari kedua pihak. Karena tidak mau belajar dari sejarah, peristiwa pahit 1948 di Madiun justru diulang pada 1965 dengan skala yang lebih massif. Bayangkan, konon, dalam tragedi 1965 telah jatuh korban lebih dari setengah juta jiwa, bahkan ada yang menyebutkan lebih.

Karena itu, generasi sekarang perlu melihat peristiwa 1965 dengan malu. Ini bukan kata-kata penulis, melainkan kata Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang menekankan perlunya mengenang sejarah tertentu dengan rasa malu agar kita dapat belajar dengan lebih tepat terhadap kejadian sejarah itu untuk melangkah ke depan dengan keadaban antara korban dan pelaku kenistaan. Lebih lanjut cendekiawan muslim yang dikenal moderat itu juga menekankan betapa yang sangat diperlukan adalah semangat rekonsiliasi (islah dan pemaafan), bukan terus-menerus mengorbankan rasa benci dan dendam.

Selanjutnya Prof Azyumardi mengemukakan empat dimensi pemaafan, (1) Pemaafan dimulai dengan penilaian moral; dalam konteks Islam disebut muhasabah, saling menghitung dan menimbang peristiwa pahit yang telah melukai, melakukan introspeksi dan penilaian moral terhadap kejadian itu. (2) Memutuskan restitusi, kompensasi kepada korban, atau hukuman kepada pelaku. Pemaafan tidak selalu menghapuskan hukuman, namun juga harus menghentikan pembalasan dendam. (3) Menumbuhkan empati kepada pelaku, bagaimanapun ia manusia biasa. (4) Mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan murni diperlukan guna memperbarui hubungan antarmanusia, kesiapan hidup berdampingan secara damai dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.

Kita menyambut gembira pada akhir-akhir ini banyak pihak yang orang tuanya terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 atau 1965 terlibat aktif dalam upaya rekonsiliasi, seperti ditunjukkan Amelia Yani, putri ketiga dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Achmad Yani, yang bersama Ilham Aidit dkk telah mendirikan Forum Silahturahmi Anak Bangsa. Di tingkat bawah juga layak dihargai upaya-upaya islah yang telah dilakukan warga biasa dengan dukungan teman-teman lembaga swadaya masyarakat, seperti terjadi di Blitar Selatan dan Kediri. Apa yang dilakukan Dahlan Iskan, yang keluarganya di Madiun juga menjadi korban PKI, dengan mendatangkan Soemarsono ke Takeran, Magetan, dan Soemarsono meminta maaf, adalah cara-cara yang sebenarnya layak diapresiasi, bukan malah didemo.

Nah, apa yang dilakukan Dahlan Iskan dkk dengan memfasilitasi tokoh yang dicap PKI dengan para korbannya jelas sangat positif bagi bangsa ini ke depan. Bukankah kita harus lebih mendukung terwujudnya cita-cita rekonsiliasi daripada terprovokasi untuk mewariskan dendam kesumat kepada anak cucu kita?

Mudah-mudahan, seiring dengan bulan suci Ramadan dan sebentar lagi Idul Fitri yang penuh ampunan, kita akan bisa mematikan dendam dan mengupayakan rekonsiliasi sehingga negeri ini ke depan sungguh menjadi bangsa besar. Sebab, kita punya jiwa besar untuk memaafkan dan tidak terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu. Kalau terus menuruti sakit hati, persoalan memang hanya akan melingkar-lingkar dalam dendam yang absurd. Sementara itu, kalau kita berani memaafkan, masa depan yang terang benderang pasti akan lebih gampang kita raih. Sekarang tinggal kita percaya yang mana.

Endang Suryadinata: penulis, tinggal di Belanda

sumber : http://www.tempointeraktif.com

26 Agustus, 2009

KPK, Puasa dan Perilaku KORUPTIF


Umat Islam baru saja memasuki Ramadan, bulan saat mereka diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Tujuannya, dalam kehidupan harian, seorang muslim melaksanakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, penguasa dunia dan akhirat.Salah satu larangan, baik menurut Islam maupun agama langit lainnya, adalah korupsi. Targetnya, setiap muslim peduli terhadap orang yang lapar baik karena tidak mempunyai pekerjaan maupun karena penghasilan yang tidak cukup. Apalagi terhadap fakir miskin, yatim piatu, dan gelandangan yang menurut UUD 45 harus menjadi tanggungan negara.Operasionalisasi dari tujuan puasa antara lain wujudnya: anak-anak saleh/salehah; suami yang bertanggung jawab, melindungi dan memimpin anak istri; istri yang salehah yang menjaga nama baik suami dan mendidik anak-anak; seorang pemimpin yang amanah, adil, dan bijaksana.

Dengan demikian, selesai Ramadan, setiap muslim dan muslimah, baik pimpinan nasional, pemda, pejabat, legislatif, yudikatif, pegawai biasa maupun rakyat jelata, tidak lagi berperilaku koruptif. Untuk itu, di awal Ramadan ini, perlu kita berkontemplasi, memahami semua perilaku selama ini yang ternyata merugikan keuangan negara

Puasa dan Korupsi karena Kebutuhan

Dalam belantara korupsi, ditinjau dari motifnya, ada empat jenis korupsi, yaitu korupsi karena kebutuhan, korupsi karena serakah, korupsi karena peluang, dan korupsi secara telanjang. Sebagian besar PNS yang melakukan korupsi disebabkan tuntutan akan kebutuhan harian, selain lemahnya iman.

Kenaikan harga sembako yang tidak dikontrol pemerintah mengakibatkan gaji pegawai yang rendah mungkin hanya dapat memenuhi keperluan selama 10 hari. Demi kelanjutan hidup seterusnya, pegawai akan melakukan korupsi. Minimal korupsi waktu, yaitu masuk kantor lambat dan pulang cepat karena harus ngobjek di luar. Korupsi jenis ini sering dilakukan oleh para guru dan dosen.

Pagi hari mereka mengajar di sekolah/universitas A, siang di sekolah/universitas B, dan malam di sekolah/universitas C. Akibatnya, kualitas murid/mahasiswa kurang mendapat perhatian serius. Selain itu, guru/dosen tidak punya waktu untuk meningkatkan kualitas pribadinya.

Puasa melatih orang belajar mengurangi makan, minum, dan bersenang-senang. Logikanya, pengeluaran pada bulan Ramadan lebih kecil dibandingkan di luar Ramadan. Artinya, iman yang lahir dari puasa membuat orang berperilaku sederhana. Dengan demikian, puasa mendidik orang untuk tidak melakukan korupsi jenis ini, yaitu korupsi karena kebutuhan.

Puasa dan Korupsi karena Serakah

Secara teoretis, jika hidup sederhana, gaji, tunjangan, dan fasilitas yang diperoleh pejabat eselon cukup untuk keperluan dasar selama sebulan. Disebabkan serakah, baik serakah harta, kehormatan maupun harga diri, pegawai cenderung melakukan korupsi. Mulai dari menyalahgunakan jabatan dan posisinya maupun terlibat dalam kegiatan bisnis di luar kantor.

Jika menjadi pimpro, mereka melakukan mark up ataupun mark down atas harga barang dalam proyek yang dipimpinnya. Sebagai atasan, dia akan mengarahkan pimpro agar yang ditunjuk dalam pengadaan barang dan jasa adalah perusahaan miliknya atau kroninya. Kalau berada di jabatan empuk--menteri atau dirjen--,dia merangkap komisaris BUMN.

Kalaupun tidak memperoleh kesempatan, minimal pegawai akan melakukan korupsi dengan cara menggunakan kendaraan dinas untuk urusan pribadi. Misalnya, mengantar keluarga ke pasar, ke undangan perkawinan atau mudik Lebaran.

Puasa, sebagaimana tuntunan Nabi Muhammad, mengajari kita untuk hidup jauh dari serakah. Beliau berbuka puasa hanya dengan tiga biji kurma dan segelas air zamzam. Selesai salat Isya baru beliau makan malam, seadanya. Jadi, sesudah Lebaran nanti, pejabat dan PNS tidak akan melakukan korupsi jenis ini, yaitu korupsi karena serakah.

Puasa dan Korupsi karena Peluang

Pimpinan dan anggota KPU 2004 pada umumnya adalah dosen dan guru besar. Selama di kampus, boleh dikata mereka tidak melihat uang miliaran, apalagi triliunan. Di KPU, selain pekerjaan yang ada memerlukan keterampilan khusus, anggaran yang tersedia berjumlah triliunan, sangat menggiurkan.

Pada waktu yang sama, setiap hari pengusaha datang menggoda untuk memperoleh proyek, sesuatu yang biasa dilakukan selama Orde Baru. Pimpinan dan anggota KPU yang tidak memiliki pengalaman teknis di bidang tersebut terperosok dengan peluang menggiurkan yang datang setiap hari.

Puasa, sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad, melahirkan individu yang jujur. Salat, haji, zakat adalah ibadah yang bisa diketahui oleh orang lain. Adapun puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh orang yang sedang berpuasa dengan Rabb-nya.

Katakanlah, kita makan dan minum di kamar sendirian, maka tidak seorang pun yang mempersoalkan ketika kita ikut berbuka pada waktu magrib. Jika pejabat dan pegawai biasa berpuasa yang hanya diketahui diri sendiri dan Rabb-nya sehingga memiliki kejujuran, mereka tidak memanfaatkan peluang apa pun untuk korupsi. Baik dalam bentuk penyuapan, pemerasan, penggelapan, pungli maupun mark up dan mark down.

Puasa dan Korupsi yang Telanjang

Korupsi secara telanjang adalah korupsi yang disebabkan sikap permisif masyarakat. Misalnya, penerimaan parsel, hadiah ulang tahun, penggunaan kendaraan dinas untuk mudik dianggap sebagai tradisi yang perlu dipelihara. Tragisnya, para pejabat, mulai dari presiden sampai bupati/wali kota, melakukan hal yang sama karena dianggap sebagai hal yang biasa.

Mulai dari ketika bertugas ke daerah, kemudian melakukan kegiatan partai sampai dengan menggunakan rumah dinas untuk keperluan partai. Target utama puasa, sebagaimana disinggung sebelumnya, lahirnya kepedulian terhadap orang yang kurang bernasib baik: anak yatim, fakir miskin, gelandangan, dan penganggur. Jika target puasa ini dicapai, pejabat dan PNS pasti akan menolak parsel, hadiah, atau tanda terima kasih lainnya, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad: pejabat/pegawai yang menerima hadiah, hukumnya sama dengan mencuri.

KPK dan Sarang Lebah Korupsi

Sesuai dengan sumber daya yang dimiliki, tiga tahun pertama, penaganan korupsi oleh KPK masih sekitar pelanggaran normatif. Oleh karena itu, perlawanan terhadap KPK lebih banyak disebabkan koruptor merasa dirugikan secara finansial, selain menyangkut harga diri.

Namun, sejak 2007, perlawanan koruptor lebih didominasi nafsu mempertahankan dominasi politik dan ekonomi oleh kelompok tertentu. Ini karena yang ditangkap adalah mereka yang berasal dari pusat-pusat kekuasaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Artinya, KPK telah memasuki arena mafia korupsi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Tak ubahnya dengan sarang lebah yang ketika diganggu, secara otomatis, para lebah akan menyerang ke seluruh penjuru, di mana saja KPK berada. Sekalipun serangan lebah sedemikian dahsyatnya dan dapat membawa maut bagi siapa saja yang digigit, pimpinan, pejabat, dan pegawai KPK tidak gentar. Ini karena mereka yakin, secara sunatullah, setelah menggigit, lebah-lebah itu akan mati.

Oleh karena itu, sekalipun dengan rasa sedih, haru, bahkan marah menyaksikan ada pimpinan atau kawan disengat lebah, mereka tetap bertekad mengejar koruptor walau sampai ke lubang cacing. Apalagi,disadari bahwa kesalahan yang dilakukan Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar adalah perbuatan pribadi dan kasus turunannya tidak lain adalah upaya sistematis para koruptor untuk menggerogoti eksistensi KPK.

Oleh karena itu, dengan semangat Ramadan, dan dalam suasana peringatan ulang tahun kemerdekaan, mari kita merdekakan Indonesia dari penjajahan koruptor. Sebagaimana para pendahulu, dalam bulan Ramadan juga, 64 tahun lalu, memerdekakan Indonesia dari penjajah Barat..

Abdullah Hehamahua
Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action