wirausaha online

16 Desember, 2010

Dokter Kuda Bima


Secara genetik, kuda bima dari Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mempunyai beberapa keunggulan, di antaranya tangguh sebagai hewan kerja, tahan pada cuaca panas, serta relatif jinak.

Meski demikian, sebagai kuda pacu, kuda bima kalah bersaing dengan kuda sumba dari Nusa Tenggara Timur yang postur tubuhnya lebih tinggi, kekar, dan berlari lebih cepat. Akibatnya, kuda bima hanya menjadi jago kandang dalam pertandingan tingkat lokal di Pulau Sumbawa. Kuda bima belum mampu ”bicara” pada tingkat regional ataupun nasional.

”Oleh karena itu, kuda lokal tetap dipertahankan untuk pertandingan di tingkat lokal. Sedangkan untuk pertandingan berskala regional dan nasional, kita menggunakan kuda hasil persilangan antara kuda bima dan sandalwood atau thoroughbred,” ujar H Adnan Abdullah, warga Kelurahan Bara, Kecamatan Rasana’e Barat, Kota Bima, NTB.

Masyarakat Bima, umumnya Pulau Sumbawa, memang mempunyai tradisi menggelar balapan kuda (pacoa jara, sebutan dalam bahasa lokal), enam kali dalam setahun, yaitu pada Februari, Mei, Juli, Agustus, Oktober, dan Desember.

Kegiatan itu digelar untuk berbagai kesempatan, misalnya guna meramaikan hari jadi Kota Bima, Kabupaten Bima, TNI, Polri, sejumlah badan usaha milik negara, di samping mengisi jadwal acara dari Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Bima.

Untuk itu, Adnan bisa dikatakan bekerja sendirian, mulai dari membeli kuda hingga pelosok pedesaan, termasuk melakukan kawin silang. Dia juga gemar bertanya tentang teknis reproduksi kepada petugas instansi terkait dan membaca banyak buku sebagai referensi.

Modal awalnya berupa lima kuda betina lokal, kemudian dia buatkan ”akta kelahirannya” setelah ditelusuri tanggal lahir, kepemilikan, hingga silsilah keturunannya. Rekam jejak kuda ini penting, terutama kuda lokal, guna menghindari persilangan kuda jantan dan betina yang dekat hubungan darahnya.

”Sama halnya dengan manusia, kuda pun jika kawin dengan keluarga dekat bisa melahirkan keturunan yang kurang sehat, fisiknya lemah, daya tahan tubuh lemah, dan tidak kuat lari,” tutur Adnan.

Kuda juara

Niat untuk itu muncul pada 2007. Adnan mengawalinya dengan menyilangkan kuda sumba miliknya, Liberty (pejantan), dengan kuda lokal (betina). Liberty yang sekarang berusia tiga tahun acap kali menang dan mengumpulkan hadiah sampai delapan sepeda motor.

Beberapa hasil persilangan dari tiga jenis kuda yang dilakukan Adnan itu ternyata melahirkan keturunan yang kekar fisiknya dan menjadi jagoan di kelasnya saat berlomba. Bahkan, kiprah Adnan dalam menghasilkan ”kuda bule” ini kemudian membuat Ketua Pordasi Bima ini dijuluki sebagai ”dokter kuda”.

Salah satu kuda itu bernama Ranggawuni. Kuda miliknya ini merupakan hasil kawin silang kuda lokal dengan sandalwood dan thoroughbred. Adnan bercerita, Ranggawuni ketika berusia setahun, kecepatan larinya mencapai 136 detik pada lintasan pacu sepanjang 1,22 kilometer atau lebih cepat ketimbang kuda lain yang kecepatan larinya rata-rata 139 detik untuk lintasan tersebut.

Sedangkan persilangan Liberty dengan kuda lokal telah menghasilkan tiga keturunan, dua di antaranya mengikuti warna bulu induknya (coklat bercampur krem) dengan tinggi 118-119 sentimeter. Seekor kuda lagi, dengan tinggi 120 cm, berwarna kelabu dan memiliki tanda khusus berupa bulu pusar pada punggungnya yang membentuk trisula. Tanda yang konon membawa berkah itu ”belum tentu ditemukan satu ekor dalam 1.000 kuda sekalipun”.

Bagi mereka yang ”gila kuda”, jangankan kuda yang punya tanda khusus, sekadar mengetahui silsilah keturunan hewan dari ”bibit unggul” saja berani memasang harga beli Rp 5 juta sejak orok kuda masih berusia enam bulan di dalam perut induknya.

Ular dan kotoran kuda

Berdasarkan pantauannya, Adnan yang juga mantan anggota DPRD Bima ini mampu ”mematahkan” teori bahwa gigi kuda tanggal setiap dua tahun sekali. Kenyataannya, ada kuda yang giginya tanggal saat berusia enam bulan atau sebelum umur 12 bulan.

Rupanya, pergantian gigi kuda itu lebih disebabkan lingkungan dan bahan pakan. Pasalnya, rumput yang hidup di daerah kering tentu lebih susah ditarik oleh gigi kuda. Ini tidak semudah kuda yang bisa mencopot rumput yang tumbuh pada daerah (tanah) basah.

Dari pergaulannya dengan kuda sedemikian lama, pemilik 60 kuda ini bercerita, belakangan dia juga mengetahui kalau ular ternyata takut pada cirit (kotoran) kuda.

Bahkan, saking akrabnya dengan kuda, Adnan seakan mengerti ”bahasa kuda”. Ia juga memiliki ”hubungan batin” dengan kuda-kuda yang dikandangkan di belakang rumahnya. Kuda-kuda itu berjingkrak-jingkrak manakala dia tengah merasa bersukacita. Sebaliknya, kuda-kuda itu meringkik panjang, seperti mengeluh, jika Adnan tengah menghadapi persoalan.

Terkait dengan pekerja untuk membantu dia, Adnan memilih sikap mengayomi. Dia menampung anak-anak putus sekolah yang ada di Bima ataupun mereka yang berasal dari Pulau Flores dan Sumba.

Para pemelihara kuda tersebut, kecuali mendapat bagian hadiah (seperti sepeda motor dan kulkas) jika kuda-kuda Adnan menang pertandingan, mereka juga dibiayai pendidikannya hingga perguruan tinggi.

Lebih dari 20 anak putus sekolah dia bantu mendapatkan pekerjaan tetap, seperti menjadi pegawai negeri sipil, petugas satpam, karyawan hotel, dan karyawan pompa bensin.

Sebagian dari mereka juga berlatih tinju di bawah bimbingan Daniel Bahari di sasana mini yang ada. Salah seorang anak didiknya, Yani Malahendo, berhasil tampil sebagai juara Intercontinental di kelas terbang pada 1986.

”Itu tabungan akhirat,” jawab Adnan tentang kepeduliannya kepada anak-anak putus sekolah tersebut.

sumber : cetak.kompas.com

24 November, 2010

Gelar Doktor di usia 83 Tahun...(Ina Ka'u Mary)


Siti Maryam Salahuddin membuktikan usia bukan halangan untuk mengukir prestasi.Kemarin nenek dari lima cucu ini resmi mendapat gelar doktor filologi dari Universitas Padjajaran,Bandung.


SENYUM terus mengembang dari bibirnya. Matanya berbinar menyiratkan bahagia.Tak terlihat sedikit pun lelah pada wanita sepuh ini meski baru saja menjalani upacara wisuda.Sebaliknya,pancaran semangat membara yang ada.

“Sekolah harus tinggi,itu prinsip saya. Jika memang masih mampu, ilmu harus dicari,” ujar Siti Maryam di Unpad kemarin. Putri ke-6 Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin ini pantas berbahagia. Perjuangannya yang tak kenal lelah berbuah manis. Dalam upacara wisuda itu,dia juga mencatat rekor sebagai wisudawan tertua sepanjang sejarah Unpad. Bagi istri almarhum S Rahmat ini, pencarian ilmu tidak mengenal batas. Ilmu harus terus dicari hingga manusia tidak lagi bisa berlogika dan bernalar. Karier akademik wanita kelahiran 13 Juni 1927 ini cukup panjang. Pada kurun waktu 1953–1960 dia menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) dan master (S-2) bidang hukum di Universitas Indonesia.

Saat menyelesaikan pendidikan master, ibu tiga anak dan lima cucu ini sempat menjabat sebagai staf ahli di Departemen Kehakiman (Depkeh) pada 1957– 1964.Tidak hanya di pemerintahan, Siti Maryam mengepakkan karier politik dengan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1987– 1992 dan anggota Komisi II DPR era 1992– 1997. Berbagai kesibukan inilah yang menyebabkan dia tak lagi melanjutkan studinya. Namun, semuanya berubah pada 2007 silam.Maryam yang aktif sebagai Anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) terus bergulat mengumpulkan naskah kuno yang sebagian besar peninggalan Kerajaan Bima.

Maryam bahkan memiliki museum naskah yang dinamakan Museum Samparaja. “Suatu ketika ada orang Padjadjaran (Unpad) yang mengunjungi Bima dan bertemu dengan saya. Mereka tertarik dengan naskah-naskah kuno itu, kemudian meminta saya untuk meneruskan studi,” ungkap Maryam. Dia setuju.Wanita berdarah biru ini lantas mengambil program Doktor by Researchdi Unpad.Dalam menyelesaikan studinya, Maryam terpaksa harus bolak-balik terbang Mataram–Bandung.

“Capek.Tapi, ini perjuangan. Akhirnya saya berhasil mempertahankan disertasi dan meraih gelar doktor,” ujarnya bangga. Dekan Fakultas Sastra Unpad Dadang Suganda sangat bangga sudah melahirkan doktor yang berusia tua namun memiliki kualitas yang mumpuni.“Beliau benarbenar hebat. Kami sangat mengapresiasi dan hormat. Bahkan, pada sidang doktoralnya, dia presentasi sambil berdiri. Luar biasa,”ucapnya. Salah satu kolega Maryam, Saleh Umar, mengaku sangat kagum terhadap prestasi yang diraih Maryam.“Kira-kira 70 tahun yang lalu, dia berhasil membebaskan dirinya dari belenggu adat istana Bima yang cukup ketat hingga hijrah ke Jakarta untuk mengenyam pendidikan,”tutur Saleh.

Meraih gelar doktor di usia 83 tahun, ungkap Saleh, jelas bukan hal mudah.“Ini membuktikan bahwa dia memang pejuang tanpa menyerah dan pantas dijuluki Kartini sejati di era Milenium ini,” ujar Saleh. (krisiandi sacawisastra)

11 November, 2010

Pak Hilir Ismail, Tokoh Budayawan Bima


Dia tinggal di sebuah rumah panggung. Rumah itu berlokasi di tengah permukiman padat penduduk di RT 15, Kelurahan Rabangodu Utara, Kecamatan Raba, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Menuju ke rumah panggung itu, kita harus melewati gang yang lebarnya tak cukup untuk dua sepeda motor berpapasan.

Lama sekali kita tidak ketemu,” kata M Hilir Ismail, si pemilik rumah, sambil menyalami Kompas. Jemari tangannya menjepit bolpoin. ”Saya lagi nulis-nulis, melengkapi tulisan yang akan saya bukukan,” ucapnya.

Setelah merintis berdirinya Museum Asi Mbojo Bima, menjadi kepala museum itu (1984-1996), dan pensiun sebagai pegawai negeri sipil (2003), Hilir menyepi di kampung. Ia mengisi waktu dengan menulis buku-buku tentang tradisi Mbojo. Keberadaannya sekaligus menjadi tempat bertanya para seniman muda. Semua itu karena totalitas, dedikasi, dan keberaniannya berkorban materi demi pelestarian seni tradisi Mbojo.

Dari hasil ”bertapa” di rumahnya, Hilir menghasilkan beberapa buku, di antaranya Peran Kesultanan Bima dalam Sejarah Nusantara. Buku yang diterbitkan pada 1998 ini beredar sampai ke Belanda, Jerman, dan Selandia Baru serta dicetak ulang pada 2004.

Buku lainnya, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Tanah Bima), yang disusun Hilir sejak 2001, dicetak pada 2004. Dia juga menghasilkan buku bunga rampai Menggali Pusaka Terpendam yang berisi buah pikirannya tentang adat istiadat dan sistem nilai budaya Mbojo.

Kini, ia sedang menyusun buku Tokoh-tokoh Sejarah Lokal Bima Periode 1611-1951 dan menyelesaikan buku-buku pendukung kurikulum muatan lokal bagi siswa SD.

Memang belum banyak karya buku yang dihasilkan Hilir. Lelaki ini lebih dikenal sebagai penggiat dan pelestari seni tradisi Mbojo. Ia memiliki Sanggar Seni Paju Monca yang didirikan pada 1984. Di sini anak-anak TK sampai SMA belajar dan berlatih menari serta seni musik, dua kali seminggu.

”Anak-anak yang dulu latihan menari di sini banyak yang sudah bekerja. Malah di antara mereka ada yang sudah punya sanggar dan murid sendiri, bahkan bergelar sarjana tari,” cerita Hilir.

Di sanggar yang anggotanya lebih dari 100 orang itu, ia dengan setia mengawal dan membimbing anak-anak asuhnya berpacu mengembangkan bakat seni tari dan seni tabuh. ”Saya cuma punya ide, yang mewujudkannya menjadi tarian istri saya.”

Istrinya, Linda Yulianti, adalah guru kesenian dan praktisi tari. Suba Monca’ (suba > pasukan, monca > kuning/istana) adalah salah satu karya bersama Hilir dan Linda. Tari perang yang menggambarkan kisah heroik itu sempat populer dan acap kali ditayangkan TVRI pada 1990-an.

Karya seni mereka muncul dari tempat latihan di halaman rumah yang berlumpur saat musim hujan dan berdebu pada musim kemarau. Meski begitu, sanggar Hilir tetap menjadi persinggahan wisatawan asing yang berkunjung ke Bima karena mereka rupanya lebih suka menonton tarian di tengah kampung, bukan di panggung resmi.

Korban materi

Kepedulian Hilir pada seni tradisi dan budaya Mbojo tak perlu diragukan. Ia tak keberatan berkorban materi guna membiayai akomodasi dan transportasi awak sanggar dari rumah ke tempat pementasan. Langkah itu dia ambil untuk menghadiri pentas di luar daerah, seperti Jakarta, karena bantuan dana dari pemerintah daerah relatif terbatas.

Saat pentas malam hari untuk memenuhi undangan Pemerintah Kota Bima, Hilir juga pasti tekor. Dalam kelelahan fisik seusai pergelaran, sambil menunggu mobil jemputan, biasanya para awak sanggarnya kelaparan. Padahal, di tempat pementasan tak selalu disediakan makan malam. Hilir pun merogoh sakunya untuk membeli nasi bungkus bagi mereka.

Lebih celaka lagi jika kendaraan yang ditunggu tak kunjung tiba. Menjelang pentas, biasanya panitia menjemput para penari, tetapi usai pentas tak jarang mereka dibiarkan saja, tak diantar. Walhasil, Hilir terpaksa menyewa benhur (kereta kuda) untuk mengantar anak asuhnya yang pulang larut malam.

Di tengah kegelapan malam seperti itu, dia suka diganggu ”makhluk halus”. Hilir bercerita, suatu malam di lokasi yang dianggap angker di Kota Bima, kuda penarik benhur meringkik keras, berjingkrak-jingkrak di tempat, kedua kaki belakangnya menendang-nendang gerobak cidomo. Saisnya nyaris tak mampu menenangkan kuda itu sehingga penumpang pun panik.

”Kami cuma lewat, kelembo ade (mohon maaf) kalau kami dianggap mengganggu,” begitu ucap Hilir mencoba berdialog dengan ”penghuni” tempat itu. Setelah itu, kuda pun kembali tenang berlenggang mengantar para penumpang.

Tantangan paling banyak dialami Hilir ketika ia dipercaya merintis berdirinya Museum Asi Mbojo. Pasalnya, museum itu dirintis dengan ”modal dengkul”, tak ada benda-benda koleksi, apalagi lemari pajang untuk benda koleksi.

Gedung eks kediaman sultan dari Kesultanan Bima yang dijadikan museum itu pun sudah lebih dari 10 tahun tak ditempati. Seluruh ruangannya berdebu dan menjadi sarang laba-laba, ternak sapi dan kambing berkeliaran di halaman yang dipenuhi sampah dan semak belukar.

Di sinilah terlihat kesediaan Hilir untuk berkorban. Ia merogoh koceknya untuk membayar orang guna membersihkan halaman dan ruangan museum. Karena tak punya staf ataupun karyawan, jadilah Hilir bertindak selaku ”juru kunci” sekaligus tukang sapu setiap kali masuk ruang kerjanya.

Untuk melengkapi fasilitas museum itu, Hilir berjibaku agar ada bantuan. Belakangan, Museum Negeri NTB di Mataram memberikan beberapa lemari pajang. Setelah itu, Hilir masih harus memutar otak untuk mengisi lemari pajang tersebut.

Jadilah setiap kali pergi ke desa-desa, Hilir minta keringanan hati warga setempat untuk menyumbangkan peralatan rumah tangga, alat pertanian, nelayan, dan peralatan untuk acara daur hidup, pernikahan, dan sebagainya.

Setelah benda-benda koleksi terkumpul, Hilir lagi-lagi bekerja sendirian. Dia pula yang menata letak benda koleksi museum agar punya alur cerita sehingga dapat memberikan gambaran sekilas bagi para pengunjung.

Kini, museum itu menjadi rumah keduanya. ”Saya meninggalkan rumah pukul 07.00 dan pulang pukul 22.00 ketika anak-anak sudah tidur,” tutur Hilir yang sumbangsihnya bagi kebudayaan Bima seakan tanpa batas.

sumber : kompas.com

19 Agustus, 2010

Beragama yang (Tidak) Hegemonik


Suatu ketika, pada tahun ketiga setelah hijrah, Abu al- Husain dari keluarga Bani Salim Ibn Auf datang menemui Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu, kondisi umat Islam sudah cukup kuat. Jumlah kaum muslim terus bertambah.

Abu al-Husain memiliki dua orang anak laki-laki yang memeluk agama Nasrani sebelum kenabian Muhammad. Setelah datangnya Islam, kedua anak Abu al-Husain menyusul ke Madinah. Sebagai seorang ayah, Abu al-Husain berusaha sedemikian rupa agar kedua anaknya memeluk Islam. ”Saya tidak akan membiarkan kamu berdua hingga kamu masuk Islam,” kata Abu al- Husain. Demi melihat sikap ayahnya yang selalu memaksakan kehendaknya, mereka bertiga menghadap Rasulullah.

Di hadapan Rasulullah, Abu al-Husain berkata: ”Apakah sebagian tubuhku akan masuk neraka dan aku diam saja?” Pertanyaan Abu al-Husain dijawab Allah dengan menurunkan wahyu surat Al-Baqarah, 2:256: ”Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). (Karena) sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.”

Demikianlah kisah yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibn Hibban, al-Nasai, al-Suddiy dan Ibn Jarir sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Wajiz (Damaskus,Dar al-Fikr,1415 H: 43). Ayat tersebut dan asbab alnuzul- nya secara terang benderang menunjukkan bagaimana ajaran Islam tentang toleransi beragama.

Dalam konteks ini, Alquran tidak hanya memberikan kebebasan beragama (freedom of religion), bahkan kebebasan untuk tidak beragama (freedom from religion). ”Dan katakanlah: ’Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman. Dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...’,” (Qs.18,al-Kahfi: 29).

Hegemoni Beragama

Ajaran Alquran tentang kebebasan dan toleransi beragama di atas, nampaknya kontradiktif dengan perilaku sebagian kaum muslim di Indonesia yang cenderung hegemonik. Baru-baru ini sekelompok Ormas Islam menyerang jemaat gereja HKBP di Bekasi, Jamaah Ahmadiyah di Kuningan dan Patung Bima di Jawa Barat. Pada awalnya, istilah hegemoni dipergunakan dalam ranah politik kekuasaan.

Hegemoni berarti leadership dalam pengertian penguasaan, kontrol dan dominasi suatu negara atas lainnya. Hegemoni suatu negara dapat berbentuk dominion, protektorat atau bahkan persemakmuran. Dalam perkembangannya, hegemoni dipergunakan dalam konteks yang luas seperti ekonomi, agama dan kebudayaan.

Walaupun pengertiannya sedikit berbeda, substansi hegemoni tetaplah sama: kungkungan (possession), dominasi, kontrol atau tekanan oleh mayoritas terhadap minoritas (majority over minority), atau dari yang kuat (the powerful) atas yang lemah (the powerless). Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa hegemoni keagamaan tidak hanya dilakukan oleh kelompok muslim. Di beberapa wilayah minoritas muslim, hegemoni dilakukan oleh kelompok agama lain: Kristen, Katolik, Hindu, dll.

Hegemoni keagamaan juga terjadi dalam lingkup internal suatu agama. Misalnya, dominasi Sunni atas Syiah di Arab Saudi, dan sebaliknya, hegemoni Syiah atas Sunni di Iran. Pada umumnya, hegemoni keagamaan terjadi pada ranah penafsiran atau pemahaman agama. Kelompok mainstream berusaha mempertahankan penafsiran yang mapan. Oleh kelompok ini, penafsiran baru dikhawatirkan menimbulkan pergeseran pranata dan otoritas tradisional yang turun-temurun.

Demi membela wibawa tradisional, setiap penafsiran baru cenderung dicurigai dan ditolak. Penolakan dapat berbentuk label menyimpang, sesat atau sempalan melalui fatwa atau legal administration yang dikeluarkan otoritas keagamaan. Contohnya, PNPS/1965 tentang penistaan agama. Penetapan ini tidak menjelaskan maksud dan bentuk-bentuk penistaan agama, tetapi justru memuat larangan penafsiran agama dan menyebarkan luaskan kepada masyarakat.

Semua pihak setuju bahwa menghina ajaran, tokoh atau simbol-simbol agama merupakan perbuatan kriminal. Tetapi, menafsirkan ajaran agama adalah bagian dari hak kebebasan berpendapat yang dijamin UUD. Sepanjang tidak melanggar hukum, penafsiran atas agama tidak boleh dilarang. Bentuk hegemoni yang kedua adalah melalui berbagai peraturan tentang ruang gerak dan ekspresi keagamaan. Bagaimanapun, peraturan tentang kegiatan keagamaan tetap diperlukan.

Ekspresi keagamaan adalah bagian inheren pengamalan agama. Ekspresi individual dalam properti pribadi harus dianggap wilayah private. Tetapi ekspresi dan pengamalan agama secara kolektif di ruang publik akan sangat terkait dengan masalah tata ruang, kenyamanan, etika dan keadaban masyarakat.

Di sinilah konteks dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama nomor 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri nomor 9/2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/ wakil kepada daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum komunikasi umat beragama dan pendirian tempat ibadah. PBM sangat penting jika dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan dan harmoni kehidupan keagamaan. Tetapi, kalau semangatnya adalah membatasi ekspresi pengamalan agama di ruang publik, maka PBM telah menjadi bagian dari hegemoni keagamaan.

Mematuhi Aturan Bersama

Peraturan Bersama Menteri Agama nomor 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri 9/2006 merupakan peraturan yang disusun bersama-sama oleh para tokoh agama, perwakilan organisasi keagamaan dan pemerintah. Karena itu, pelaksanaannya tidak mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga umat beragama. Berbagai persoalan tindak kekerasan bernuansa agama yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh lemahnya komitmen pihak-pihak terkait untuk melaksanakan PBM sebagaimana mestinya.

Faktor yang memicu kekerasan sebagai bentuk hegemoni agama adalah pembiaran. Sesuai dengan PBM, penciptaan kerukunan kehidupan beragama merupakan tanggung jawab pemerintah daerah: gubernur, bupati/walikota dan seluruh jajarannya. Masalah kerukunan kerap kali disebabkan adanya umat beragama yang menunaikan ibadah di tempat ibadah yang tidak memenuhi persyaratan.

Dalam beberapa kasus, pembiaran pelanggaran terjadi karena ”balas budi politik”, proses yang tidak transparan dan penyuapan. Kekerasan bisa menjurus ke konflik ketika pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan masalah secara netral. Bentuk pembiaran yang lainnya adalah tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan. Fenomena pembiaran terjadi karena dua faktor.

Pertama, faktor politik yang berdampak pada kegamangan aparat keamanan menindak tegas pelaku kekerasan karena sensitivitas isu-isu keagamaan. Kedua, masalah psikologis sebagai ekses dari kekerasan komunal dengan aparat keamanan. Dalam beberapa kasus, opini publik lebih berpihak kepada massa dan menyalahkan aparat. Karena itu, aparat keamanan memilih ”diam” keselamatan diri dan korps.

Apa pun alasannya, pembiaran tindak kekerasan oleh aparat keamanan tidak dapat dibenarkan. Aparat keamanan selaku aparatur negara tidak boleh takluk pada kehendak segelintir orang atau kelompok tertentu. Tugas aparat keamanan adalah menjamin kedaulatan hukum dan negara. Pembiaran tindak kekerasan bisa menjadi preseden terjadinya aksi-aksi kekerasan yang lainnya.

Beribadah di tempat yang tidak sesuai peraturan adalah perbuatan melanggar hukum. Tapi, menyerang dan menghalangi kegiatan ibadah adalah perbuatan kriminal yang bertentangan dengan ajaran agama dan hak asasi manusia. Di atas semua itu, hegemoni keagamaan bisa dihindari jika ada perubahan mindset dalam diri umat beragama.

Setiap warga negara dan penyelenggara negara harus mematuhi dan menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Beragama adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Kebenaran bukanlah milik pribadi atau kelompok mayoritas. Siapa pun berhak memilih agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Menghormati perbedaan keyakinan pada hakikatnya adalah penghormatan kepada kemanusiaan dan pengakuan kebenaran firmanTuhan.(*)

Abdul Mu’ti
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah
sumber : wwww.okezone.com

11 Juni, 2010

BISNIS GOSIP


KETIKA berbagai media massa heboh seputar gosip selebritas dan foto porno, siapa paling diuntungkan? Pihak televisi dan bisnis pulsa telepon. Acara gosip di televisi selalu menuai iklan ratusan juta rupiah.

Seorang pakar telekomunikasi juga menceritakan, keuntungan bisnis provider pulsa sangat menggiurkan. Mirip pedagang narkoba yang omzetnya miliaran, tetapi legal. Tak mengherankan bila perusahaan pulsa paling gencar pasang iklan, baik di televisi maupun billboard yang biayanya ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Dari situ saja sudah tercium betapa menggiurkan keuntungan bisnis di bidang ini.

Ketika beredar foto porno dengan aktor selebritas melalui telepon seluler dan internet, peristiwa ini mendatangkan rezeki bagaikan durian runtuh. Semakin besar dan lama foto yang diunduh dan ditransfer, akan semakin mahal pula ongkosnya. Oleh karena itu, mungkin sekali di balik heboh beredarnya foto porno itu ada pihak yang tersenyum menikmati keuntungan berlipat-lipat.

Begitu pun pihak televisi, gosip kalangan selebritas selalu jadi dagangan yang laris, pemirsanya tinggi, peringkat naik, iklan pun berdatangan. Lalu, siapa yang paling dirugikan? Pertama adalah masyarakat yang jadi sasaran untuk menjadi pemirsa, pendengar, penampung, dan kolektor gosip serta berita tidak bermutu yang akan mengotori database penyimpanan memori.

Memori yang kotor akan berpengaruh pada pikiran dan perilaku seseorang. Jika hal itu menjadi suguhan tiap hari, lama-lama sensitivitas moral masyarakat akan tumpul. Perbuatan porno, pelecehan seksual, korupsi, dan penyimpangan lain akan disikapi sebagai hal biasa. Bahkan lama-lama dijadikan santapan yang mengasyikkan dan ditunggu.

Di sini pihak pengelola media massa ikut berdosa telah meracuni masyarakat. Kedua, lebih spesifik adalah anak-anak kita yang terkontaminasi mentalnya oleh berbagai suguhan yang begitu mudah diakses lewat telepon seluler. Ketiga, tugas orang tua menjadi semakin berat dalam mengawasi, mendampingi, dan mendidik putra-putrinya. Padahal, orang tua sudah sibuk bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, sementara mental anak-anaknya dirusak oleh informasi dan tontonan yang merusak jiwanya.

Keempat, beberapa selebritas atau aktor yang gambarnya ditampilkan. Anda dapat membayangkan bagaimana suasana batin keluarga melihat anggota keluarga mereka menjadi tontonan masyarakat melalui internet dalam adegan yang sangat memalukan. Secara moral tentu saja pelakunya punya andil besar dan ini salah satu akibat dari perbuatannya. Namun ketika menjadi gambar hidup lalu beredar ke tengah masyarakat, yang jadi korban semakin luas.

Kita pantas heran dan bertanya, bukankah sudah berulang kali terjadi skandal peredaran foto porno yang mengundang kutukan masyarakat, tetapi masih juga ada orang-orang yang nekat berbuat serupa? Gejala apa ini? Apakah semua ini hanya rekayasa gambar sehingga sifatnya fitnah belaka? Namun, andaikan foto-foto itu otentik adanya, rasanya ada kelainan jiwa pada mereka yang melakukan itu.

Mungkin mereka punya imajinasi sangat bebas dan fantastis, tetapi lupa bahwa kita semua hidup dalam ranah sosial nyata, yang memiliki rambu-rambu berduri, sehingga kulit bisa luka dan berdarah kalau menabraknya. Hal itu pun telah terjadi pada beberapa figur selebritas. Lagi, seorang konsultan telekomunikasi pernah bercerita, Indonesia menduduki peringkat tertinggi setelah India dalam hal mengunduh (download) gambar-gambar seks dan porno melalui internet.

Melalui telepon seluler, lalu lintas pengiriman foto porno berlangsung tinggi dan pasti menguntungkan bagi pihak penyedia jasa pulsa. Sampai-sampai muncul kecurigaan, jangan-jangan ada tim kreatif dari pihak perusahaan yang sengaja melemparkan foto syur di internet semata untuk mendongkrak keuntungan jualan pulsa. Kerugian lain dari heboh gosip ini adalah masyarakat jadi terkecoh perhatiannya sehingga melupakan isu-isu kehidupan bernegara yang sangat strategis dan urgen.

Berbagai isu pemberantasan korupsi dan mafia hukum yang menggerogoti tubuh pemerintah dikalahkan oleh gosip. Mungkin saja sebentar lagi akan reda diganti oleh demam Piala Dunia. Namun, sampai kapan pun tema seks yang terjadi di kalangan selebritas memang selalu menarik masyarakat. Kepada teman-teman dan diri kita semua, mari belajar dari kesalahan dan kekhilafan orang lain. Terlalu mahal ongkos sosialnya baik bagi pelaku maupun masyarakat yang terkena virusnya.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
sumber : www.okezone.com

22 April, 2010

Ibu Sang Presiden..


Seputar Hari Kartini yang jatuh pada 21 April, di media massa bermunculan tulisan tentang emansipasi kaum perempuan.

Meskipun terdapat kemajuan dalam berbagai bidang, aspek negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan perempuan sebagai korban tak kunjung mereda. Tulisan ini mengambil posisi bahwa emansipasi itu harus dimulai dari keluarga. Di dalam keluarga nilai-nilai tentang kepribadian yang positif serta penghargaan terhadap sesama ditanamkan sejak dini. Dalam hal ini peran ibu sangat menentukan dalam pembentukan kejiwaan anak. Artikel ini menyajikan contoh keteladanan proklamator kemerdekaan Indonesia yang pembentukan karakter mereka sudah dimulai sedari kecil. Soekarno dilahirkan di tengah keluarga yang sudah mengenal pluralisme. Tidak mengherankan kalau di kemudian hari beliau sangat menghargai kemajemukan.

Orang tua Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai Srimben yang menikah dengan Raden Soekeni Sosrodihardjo, seorang guru di Singaraja. Perkawinan beda suku agama yang mulanya ditentang pihak keluarga, membuahkan putri pertama bernama Soekarmini tahun 1899. Soekeni pindah mengajar ke Surabaya dan dua tahun kemudian lahir Koesno yang kemudian menjadi Soekarno. Jadi, sejak kecil Soekarno sudah hidup dalam keluarga yang menerapkan bhineka tunggal ika. Dua ratus meter dari rumah mereka terdapat kediaman HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, yang kemudian menjadi tempat kos Soekarno. Waktu Soekarno di Penjara Sukamiskin, Bandung, tahun 1927, Nyoman Srimben datang menjenguk.

Ketika ditanya sipir penjara Belanda, dia menjawab, “Ibune Soekarno”. Sipir itu marah-marah karena perempuan tersebut tidak berbahasa Belanda, sedangkan Soekarno tertawa geli. Setelah putranya menjadi Presiden RI, Nyoman Rai Srimben tidak mau datang ke Istana. Justru anaknya yang disuruh ke rumahnya di Blitar. Dia adalah seorang ibu yang berwibawa dalam kesederhanaannya. Dalam berbagai foto terlihat Bung Karno yang sedang sungkem di depan ibunya di sana. Tahun 1958, ketika ibunya sakit keras, Soekarno segera berangkat ke Blitar dan sempat melepas kepergian ibunya menghadap sang Pencipta. Para anggota kabinet mencarter pesawat agar dapat hadir dalam acara pemakaman.***

Bagi Hatta (semula bernama Attar “harum”, kemudian dipanggil Atta lalu jadi Hatta) ibu juga tokoh sentral karena ayahnya meninggal sewaktu ia kecil. Ibunya, Saleha, sangat menyayanginya. Tatkala putranya di buang ke Digul, sang ibu mengirimi rendang. Rendang, masakan kesukaan Hatta, setiap kali harus ada di meja makan. Rendang itu dikirim ke Papua dalam kaleng mentega yang dipatri kembali agar minyaknya tidak tumpah. Yang tidak kalah penting pengaruhnya bagi perkembangan kejiwaan Hatta adalah pendidikan yang diberikan neneknya, Siti Aminah, untuk bersikap berani karena benar. Suatu ketika 30 ekor kuda milik sang nenek ditembak Belanda. Nenek marah dan menemui residen dengan pistol terselip di pinggang. Perempuan itu tidak takut kepada siapa saja bila haknya dirampas.

Perjuangan kemerdekaan telah menjadikan Soekarno dan Hatta sebagai proklamator. Namun, seorang diantara keduanya belum menikah karena telah berikrar tidak kawin sebelum Indonesia merdeka. Soekarnolah yang mencarikan jodoh bagi sahabatnya yang telah berusia lebih 40 tahun. Dan mengenalkannya dengan Rahmi yang kemudian dilamar di Bandung. Pernikahan itu dilangsungkan di Megamendung. Sebagai mas kawin, Hatta menyerahkan buku karyanya, Alam Pikiran Yunani. Padahal, ibunya sudah berkata, ”Saya mempunyai beberapa ringgit emas, berikanlah itu sebagai mas kawin”. Namun bagi Hatta, buku lebih berharga daripada emas. Tahun 1956, dwitunggal Soekarno- Hatta menjadi tanggal.

Hatta yang berbeda pendapat dengan Soekarno tentang penyelenggaraan negara memutuskan mundur. Walaupun demikian, hubungan pribadi antarkeduanya tetap baik. Kadang-kadang Hatta menulis surat kepada Bung Karno bila ada hal-hal yang dirasanya tidak tepat. Sejak 1968 boleh dikatakan Soekarno mengalami “tahanan rumah”.“No, apa kabar ?” panggil Hatta ketika membesuk di tempat tidur. Soekarno membuka matanya dan memandang beberapa lama sebelum mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda. Hatta memijit lengan Bung Karno, air mata Presiden RI pertama itu menetes ke bantal. Pertemuan terakhir antara kedua proklamator berlangsung selama 30 menit. Beberapa hari kemudian (pada bulan Juni 1970) Soekarno berpulang. Hatta sendiri wafat bulan Maret 1980.

Pada saat-saat terakhir, istri Soekarno, Fatmawati, membimbing dia membaca kalimat syahadat. Hatta mengikuti dengan suara terbata-bata sebelum menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Namun, tepat dua bulan kemudian Fatmawati juga berpulang ke rahmatullah. Fatmawati adalah perempuan yang memegang prinsip dengan teguh. Ketika Soekarno menyatakan keinginan untuk menikahinya karena tidak memperoleh anak dari istrinya, Inggit Garnasih, Fatmawati tidak mau dimadu. Kelak di kemudian hari, tatkala Presiden RI pertama itu mengawini Hartini, maka Fatmawati memilih tinggal di luar istana.***

Dalam usia 13 tahun BJ Habibie ditinggal wafat ayahnya, AA Habibie, bekas Kepala Jawatan Pertanian Sulawesi Selatan. Ibunya yang berasal Yogyakarta, membesarkannya. ‘’Sedang hamil delapan bulan, Ibu bersumpah di sisi jenazah Ayah, akan menyekolahkan anak-anaknya,’’ kata anak keempat ini. Dia, atas anjuran ibunya, sendirian berangkat ke Bandung untuk masuk SMP. Ibunya menyusul kemudian setelah dia kelas dua SMA. Setahun di ITB, atas usaha ibunya, dia beroleh beasiswa P&K untuk belajar di Jerman Barat. Sementara itu, ibunya berdagang dan menyewakan pemondokan kepada para mahasiswa. Nyai Salihah binti Bisri Sjansuri atau Nyai Wahid Hasyim, ibu dari Gus Dur, juga seorang perempuan pemberani.

Suatu siang terdengar suara mobil patroli Belanda berhenti mendadak di depan rumah, Nyai Wahid Hasyim dengan sigap mengambil bundelan dokumen penting dari dalam lemari Kiai Wahid Hasyim dan dibawanya ke sumur di belakang rumah. Sembarangan dia raih pula beberapa potong pakaian yang terjangkau tangan. Bundelan dokumen itu diletakkannya di lantai sumur, lalu ditutup dengan ember yang ditengkurapkan. Pakaian-pakaian dimasukkan ember lain, lalu diguyur air sedapatnya. Nyai Wahid menduduki ember penutup dokumen itu dan mulai mengucek pakaian. Serdadu Belanda membentak- bentak namun Nyai Wahid diam saja. Putus asa, si komandan berbalik, membawa pergi anak buahnya dengan tangan hampa.

Tanggal 23 Februari 2010, ibunda SBY, Siti Habibah (83 tahun), dirawat di RS Husada Jakarta Pusat karena mengalami gangguan di bagian empedu. SBY yang didampingi Ani Yudhoyono berujar, “Saya berada di Rumah Sakit Husada ini untuk menunggui ibunda saya,” kata SBY. Sementara beberapa agenda kepresidenan terpaksa diwakilkan kepada Wapres Boediono, salah satunya, peresmian Tol Kebon Jeruk-Penjaringan.

Penggalan sejarah di atas mengungkapkan pentingnya ibu serta peran sentral keluarga bagi pembentukan karakter seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dari dulu sampai sekarang.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
www.okezone.com

07 April, 2010

Jupe sebagai kritik sosial...


Siapa di negeri ini yang tak kenal Jupe alias Julia Perez? Pelantun Belah Duren ini termasuk selebritas yang paling sering mendapat liputan media, terutama infotainment.

Jupe sering menjadi buah bibir karena ucapan dan perilakunya yang blak-blakan terkait hal-hal dalam hubungan intim yang banyak ditabukan masyarakat. Saat ini, heboh Jupe sudah merambah ke luar wilayah asalnya di jagat hiburan: Jupe kini terjun ke panggung politik. Tak tanggung-tanggung, Jupe terjun ke dunia baru baginya ini dengan membuat gebrakan: langsung menjadi bakal calon Wakil Bupati Pacitan, Jawa Timur. Banyak orang di Pacitan merasa tidak rela ”tanah air”-nya dipimpin figur yang ”cuma” sekelas Jupe. Padahal, banyak pemimpin nasional negeri ini berasal dari sana, termasuk Presiden SBY. Tindak-tanduk Jupe sebagai selebritas tentu saja menjadi bahan penilaian utama kelayakannya menjadi seorang bupati.

Sebagai artis, Jupe tidak dikenal sebagai artis yang kritis menyuarakan kritik sosial semacam Dedi Mizwar, Iwan Fals, Dik Doang, atau anggota grup band Slank. Jupe cuma artis yang tenar karena sering tampil ”buka-bukaan”. Apalagi Jupe belum pernah sekalipun mengunjungi Pacitan dan mengenali masyarakatnya. Dari perspektif hak asasi manusia, Jupe tak bisa dilarang untuk menjadi seorang bupati, bahkan presiden sekalipun. Jupe memiliki hak setara SBY, Boediono, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, atau siapa pun warga negeri ini untuk maju menjadi pemimpin publik dan politik. Dalam tulisan ini saya akan lebih menyoroti pencalonan Jupe dalam kerangka kritik sosial terhadap kondisi kepemimpinan publik dan politik kontemporer di Indonesia.***

Harus disadari, kepemimpinan publik dan politik (public leadership) kita saat ini sedang mengalami krisis akut. Kepemimpinan publik kita, dari tingkat nasional hingga tingkat RT, dipenuhi kamuflase, korupsi, dan ketidakpedulian pada kaum marginal. Sulit sekali dalam kepemimpinan publik sekarang ditemui pemimpin dengan konsep kuat tentang kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal-hal urgen yang menjadi tanggung jawab pemimpin semisal orientasi pada pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum dan keadilan seperti mudah diabaikan begitu saja oleh seseorang yang menjadi pemimpin di negeri ini.

Di sisi lain, dengan wajah kepemimpinan seperti itu, menjadi seorang pemimpin sepertinya merupakan hal yang mudah dan simpel. Katakanlah, menjadi seorang presiden cukup hanya dengan menjaga citra di depan media; menjadi menteri cukup dengan menjadi ketua atau anggota sebuah partai politik dan berkoalisi dengan partai berkuasa (the ruling party); menjadi gubernur cukup hanya dengan kaya dan menjadi bupati cukup dengan popularitas. Krisis leadership juga tergambar pada bagaimana seorang pejabat publik tidak bisa menjaga marwah-nya sebagai pemimpin.

Di suatu kegiatan kampanye tentang save sex melalui penggunaan kondom di suatu kabupaten di Aceh, misalnya, hadir bupati daerah tersebut yang mendapat kesempatan menyampaikan sambutan. Sang Bupati justru menyatakan, ”Memakai kondom, sama saja dengan membungkus lidah kita dengan plastik saat akan makan yang membuat makan menjadi tidak terasa nikmat!” Betapa krisisnya kepemimpinan di negara ini! Seorang pemimpin yang kredibel tidak akan menyampaikan pendapat atas nama kepentingan sendiri dengan ”merelakan” omong kosong tentang nilai seperti itu. Artinya, jika mau mengucapkan omongan tak bernilai, tidak perlu menjadi seorang bupati.

Di tengah krisis kepemimpinan tersebut, muncullah figur seperti Jupe–atau Ayu Azhari yang beberapa waktu lalu terlibat dalam bursa calon Wakil Bupati Sukabumi. Jupe hanya mewakili cara bagaimana perspektif kepemimpinan yang sedang krisis itu bekerja. Jupe adalah sebuah kritik sosial atas situasi kepemimpinan yang tidak ”amanah”, tidak prorakyat, dan tidak bekerja keras mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Jupe adalah kritik sosial atas kepemimpinan publik yang sedang sakit, di mana menjadi pemimpin tidak usah pusing-pusing harus memiliki integritas, kredibilitas, kapabilitas, dan kapasitas.***

Krisis kepemimpinan publik juga pernah melanda Amerika Serikat di masa George Walker Bush. Kemunculan Barack Obama sebagai pemimpin alternatif menjadi mulus bukan saja karena Obama sendiri, tapi karena respons sosial atas krisis kepemimpinan politik itu. Yang menarik dari pengalaman Amerika Serikat adalah respons kritis di sana memunculkan kepemimpinan harapan (leadership of hope), dengan standar nilai baru bagi seorang pemimpin Negeri Paman Sam pada diri Obama.

Bedanya, di negeri kita respons terhadap krisis kepemimpinan tidak berbentuk leadership of hope, tapi satirical leadership. Kemunculan Jupe, Ayu Azhari, dan figur lain yang dianggap tak berkelas menjadi pemimpin politik merupakan satire atas kondisi krisis kepemimpinan ini. Sebagai satire, jika kita sudi menjadikannya bahan pelajaran, maka perdebatannya tidak sekadar pada aspek Jupe sebagai artis blak-blakan yang masih bau kencur dalam dunia kepemimpinan politik. Sebagai satire sosial, kehadirannya, seharusnya, menjadi bahan refleksi secara utuh atas situasi kepemimpinan publik kita. Kritik sosial ini berlaku untuk semua elemen bangsa, tak cuma politisi dan aktivis partai. Bagi para feminis, ini juga bisa menjadi kritik penting tentang kepemimpinan perempuan.

Meski tanggung jawab kepemimpinan perempuan bukan cuma pada feminis, tapi setidaknya ini menunjukkan para feminis masih belum mampu mengatasi berbagai hambatan dalam menghadirkan kepemimpinan perempuan yang kredibel dan kapabel. Sebagai kritik sosial, kemunculan Jupe harus menjadi bahan refleksi dan kesadaran sosial tentang kepemimpinan politik kita. Utamanya, menyadarkan para pemimpin negeri ini untuk tidak seenaknya dalam menjalani jabatan sebagai pemimpin publik; mereka harus lebih serius dan bekerja keras untuk terpenuhinya hak-hak masyarakat akan kesejahteraan dan keadilan jika tidak mau disamakan dengan (calon) pemimpin publik/politik yang ”cuma” sekelas Jupe.

Akhirnya, sebagai modal awal, ketika Jupe ramai-ramai diragukan untuk menjadi bupati, artinya kita masih punya standar kepemimpinan yang harus memiliki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas. Sebagai standar, ia harus diterapkan secara adil, pada semua pemimpin dan calon pemimpin, bukan hanya pada Jupe. Siapa pun harus menyadari, di tengah bangsa yang sedang berjuang menanam demokrasi sejati yang berujung pada kesejahteraan dan keadilan, harus selalu berkembang pemikiran bahwa menjadi pemimpin di negeri ini bukan hal mudah dan ”main-main”. Siapakah yang masih peduli?(*)

Farid Muttaqin
Peneliti pada Puan Amal Hayati, Alumnus Ohio University, AS
sumber : www.okezone.com

15 Maret, 2010

Antara Teroris, Koruptor dan Setan


”Siapakah yang lebih sakti? Setan, teroris atau koruptor?” Seorang teman, sebut saja si Fulan, mengajukan pertanyaan itu dalam sebuah perbincangan santai di Kantor CDCC.

Sambil minum teh, dengan santai saya menjawab, ”Karena setan tidak terlihat, yang paling sakti adalah setan.” Mendengar jawaban yang salah, si Fulan mengoreksi, ”Salah, Mas. Yang paling sakti adalah koruptor.” ”Lho kok bisa?”. Dengan agak serius, si Fulan menjelaskan argumen jawabannya. Sekarang setan sudah tidak sakti lagi. Dengan ilmu, doa, dan mantra-mantra tertentu, para dukun, paranormal, dan kiai bisa melihat dan menangkap setan dengan mudah. Mereka bisa mengusir setan dari tempat-tempat yang angker atau dari dalam tubuh manusia. Sebagian setan dibuang. Sebagian lainnya dipenjarakan di botol atau tempat-tempat lain.

Alhasil, setan sudah tidak sakti lagi. Mengapa setan tidak sakti? Mungkin karena habitatnya sudah berubah. Dahulu, setan hidup di pohon besar, batu atau kuburan. Sekarang, setelah pepohonan besar ditebang menjadi real estat, hipermarket, dan tempat hiburan, setan pindah domisili. Meski demikian, setan sekarang sudah banyak yang ”pensiun”. Kata Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, setan sudah purnatugas. Manusia sudah menjelma menjadi setan. Karena itu, setan tidak perlu lagi menggoda dan menyesatkan manusia. Sebuah sarkasme yang wajib menjadi materi utama muhasabah, perenungan dan pertobatan manusia.

Teroris juga sudah tidak sakti lagi. Hampir seluruh gembong teroris kaliber nasional dan internasional sudah tertangkap. Setelah berhasil membunuh Dr Azhari, Densus 88 berhasil membunuh Noordin M Top. Ketika masih buron dan berkali-kali lolos dari sergapan Densus 88, masyarakat menyebut Noordin “Memang” Top. Setelah terbunuh, julukan tersebut tidak berlaku lagi. Terakhir, Densus 88 berhasil membunuh tiga teroris di Pamulang. Dulmatin, gembong teroris nomor wahid yang bernilai miliaran rupiah itu, diduga kuat telah mampus tertembus peluru Densus.

Keberhasilan menangkap, mengadili, dan membunuh para teroris serta jaringannya merupakan prestasi tersendiri. Densus 88 adalah kesatuan antiteror yang paling berhasil. Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Singapura yang tim antiterornya supercanggih tidak berhasil menangkap teroris. Lebih hebat lagi, hal itu karena Densus 88 tidak mendapatkan bantuan ”resmi” dari TNI dan masyarakat. Walaupun masih merupakan ancaman keamanan yang serius, kekuatan teroris sudah jauh melemah. Nah, jadi, yang paling sakti adalah koruptor. Kesaktian koruptor terlihat dari keahlian, kelicikan, dan kecerdikannya.

Dengan pengawasan yang berlapis-lapis, koruptor masih mampu lolos. Di birokrasi pemerintahan terdapat sekurang-kurangnya lima lembaga antikorupsi. BPK, BPKP, irjen tiap kementrian, PPATK, dan KPK adalah lembaga-lembaga negara yang mengawasi penggunaan uang negara. Selain lembaga tersebut, masih terdapat pengawasan terpadu yang dilakukan lembaga seperti kejaksaan dan masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Namun, angka korupsi masih tetap tinggi. Maknanya, para koruptor masih sering unjuk gigi.

Berdasarkan survei Political and Economic Risk Counsultancy (PERC), Indonesia adalah negara yang dipersepsikan paling korup di antara 16 negara yang menjadi tujuan investasi di Asia Pasifik. Dari total nilai 10, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dalam tahun 2010 adalah 9,07. IPK ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2008 =7,89 dan 2009= 8,32 (Seputar Indonesia, 9/3). Dengan data tersebut, iklim investasi di Indonesia belum berkembang dengan baik. Dengan kelicikannya, para koruptor dapat melenggang, berselancar ke luar negeri dengan lancar.

Mereka yang tertangkap juga masih bisa asyik berkaraoke dan bersenang-senang di rumah tahanan yang tidak kalah nyamannya dengan hotel. Entah bagaimana caranya, para koruptor mampu memanfaatkan kelemahan pejabat dan petugas. Dengan caranya sendiri, koruptor bisa memperkuat semangat para pejabat yang lemah syahwat (mudah tergoda dorongan seksual) untuk berkolusi. Begitu pula dengan petugas yang mata batinnya rabun kebenaran. Sedikit uang sogok membuat mereka membabi buta memutarbalikkan aturan dan hukum. Tidak hanya memiliki kemampuan meloloskan diri dan mengelabui, para koruptor juga sukses melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi korupsi.

Data ICW tahun 2009 menunjukkan betapa korupsi sudah menjalar di hampir semua lembaga. Korupsi menggurita di lembaga hukum seperti kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian. Bahkan, ICW juga menengarai benih-benih korupsi di lembaga penyangga moral seperti pendidikan dan keagamaan. Tidak hanya itu, koruptor juga sukses melakukan kaderisasi. Tokoh-tokoh dan aktor-aktor koruptor baru bermunculan di lembaga tingkat pusat dan daerah. Argumen si Fulan ternyata logis juga. Saya setuju, dibandingkan dengan setan dan teroris, koruptorlah yang paling sakti mandraguna.***

Percakapan berhenti sejenak. Setelah menikmati beberapa teguk teh, saya bertanya kepada si Fulan. ”Siapakah yang lebih berbahaya, setan, teroris atau koruptor?” Lagi-lagi, dengan gayanya yang khas si Fulan menjawab, ”Yang paling berbahaya adalah koruptor.” ”Lho, kok bisa?” tanya saya penasaran. Dengan argumen teologis, si Fulan menjelaskan bahwa sesungguhnya setan adalah makhluk yang lemah. Setan adalah makhluk yang menderita di dunia dan akhirat. Karena kesombongan dan pembangkangannya, sejak awal penciptaannya setan telah menjalani kutukan Tuhan di dunia.

Sebelum kiamat, Tuhan juga telah memvonis setan menjadi penghuni neraka di akhirat. Setan menerima kutukan dan hukuman Tuhan dengan satu permintaan saja: mohon diberi kesempatan menggoda dan menyesatkan manusia yang lemah iman. Deal. Tuhan mengabulkan permohonan setan. Karena itu, setan tidak bisa beraksi tanpa bantuan manusia. Agar bisa berbuat, setan memasuki nafsu dan pikiran manusia. Sesungguhnya sebagai makhluk gaib, setan tidak bisa berinteraksi dengan manusia secara wajar. Untuk menebarkan kejahatan, setan mendikte nafsu manusia. Sesungguhnya, teroris tidaklah terlalu berbahaya. Para teroris bukanlah orang-orang yang cerdas.

Mereka hanyalah orang-orang yang nekat, pahlawan kesiangan bagi kaum tertindas dan pemimpi surga yang naif. Para teroris juga tidak punya banyak dukungan. Jika mereka beragama Islam, banyak kaum muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka. Pengakuan bahwa terorisme adalah bentuk jihad modern juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jihad dan qital adalah dua konsep ajaran yang berbeda. Di dalam Alquran, ayat-ayat jihad sudah diturunkan dalam periode Mekkah. Selama 13 tahun di Mekkah tidak sekali pun Nabi Muhammad berperang. Karena itu, jihad bukanlah berarti perang, tetapi perjuangan membela dan mempertahankan iman dengan sekuat tenaga. Qital berhubungan dengan perang.

Di medan laga, risiko perang adalah membunuh atau dibunuh. Namun, izin membunuh adalah untuk membela diri dan hanya diperbolehkan untuk serdadu yang aktif berperang. Perempuan, anak-anak, dan manusia yang renta harus dilindungi. Jadi, hanya highly selected armies yang halal dibunuh. Karena itu, pengeboman atau kekerasan yang berakibat pada meninggalnya manusia yang tidak berdosa jelas bukan jihad. Terorisme dan teroris juga tidak bisa bertahan lama. Keberlangsungan dan masa depan mereka sangat tergantung pada suplai logistik pihak ketiga. Akhir-akhir ini, suplai logistik mereka juga semakin terbatas. Aksi-aksi sporadis yang dilakukan hanyalah untuk membuka mata dunia akan eksistensi mereka.

Karena itu, aksi terorisme dilakukan dengan cara-cara yang brutal untuk menebarkan rasa ketakutan dan ancaman lawan. Mereka akan beraksi menjelang ”momen penting” untuk menarik perhatian publik. Saat ini anggap saja mereka mengadakan latihan menjelang kedatangan Presiden Obama. Pengeboman JW Marriott dan Ritz Carlton dilakukan menjelang kedatangan Manchester United. Karena itu, jika tidak ada pihak ketiga yang mem-back-up dan menjadikannya sebagai komoditas politik, terorisme akan mati perlahan-lahan.

Yang paling berbahaya adalah koruptor. Para pelakunya adalah mereka yang punya kekuasaan, kekayaan, dan jaringan. Menurut Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, korupsi telah menjadi organized munkarat: kejahatan yang terorganisasi dengan rapi. Dengan kekayaannya, para koruptor bisa membeli hukum dan membangun citra diri. Akibat korupsi sungguh sangat dahsyat. Ribuan anak bisa kehilangan masa depan karena tidak mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial yang bermutu. Jutaan anak mengalami gizi buruk, lingkungan hidup yang kumuh, dan berbagai penyakit.Karena itu, koruptor adalah pembunuh berdarah dingin yang lebih sadis dibandingkan dengan teroris dan para preman.

Sayangnya, karena telanjur ikut menikmati, sebagian masyarakat tidak sadar dan tidak peduli akan bahaya laten korupsi. Benar juga argumen si Fulan. Terorisme adalah kejahatan yang berbahaya. Namun, melihat sikap keseharian mereka yang santun, masyarakat skeptis apakah mereka memang orang yang jahat. Tidak mudah meyakinkan masyarakat bahwa terorisme bukanlah komoditas politik penguasa.Yang lebih sulit lagi adalah bagaimana mengajak masyarakat aktif membangun budaya antikorupsi.

Kemiskinan dan kebodohan membuat masyarakat mudah terpengaruh oleh penampilan dan janji manis para koruptor. Masalahnya akan lebih serius jika mereka yang diduga menjadi koruptor adalah pemimpin yang mereka pilih, orang baik yang mereka cintai.(*)

Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif CDCC Jakarta
sumber : www.okezone.com

16 Februari, 2010

Benang Kusut Bisnis dan Politik


BISNIS dan politik adalah dua kegiatan yang saling berkaitan. Bisnis dapat menunjang politik, demikian juga sebaliknya. Aktivitas bisnis dapat dimudahkan karena adanya kegiatan politik pada tingkatan negara.

Sebaiknya, politik dapat dipermudah karena adanya kegiatan bisnis. Tanpa adanya kegiatan bisnis, domestik dan internasional, politik kenegaraan tidak akan mungkin dapat berjalan. Sebaliknya, kegiatan bisnis juga berjalan baik jika kondisi politik domestik dan internasional amat kondusif dan mendukung.

Bayangkan jika tidak ada bisnis di bidang transportasi dan telekomunikasi, bagaimana pemimpin negara dapat mempertahankan keutuhan negara? Adanya bisnis di kedua bidang itu telah mempermudah pemerintah di sebuah negara untuk mempertahankan kedaulatan nasional dalam arti yang luas. Politik dan bisnis dalam arti yang lebih sempit juga saling mendukung.

Para pebisnis besar, menengah, dan kecil akan berlomba-lomba untuk mendukung aktor dan atau partai politik yang kira-kira akan menang di dalam pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden langsung, pilkada gubernur, bupati, wali kota, dan sebagainya. “Bantuan dana kampanye” dari para pengusaha/pebisnis itu tentu tidak gratis karena dalam aktivitas politik semacam itu memang berlaku slogan “tidak ada makan siang yang gratis” (no free lunch).

Dari sisi teori politik, pendanaan semacam itu dapat dikategorikan sebagai bribes and kickback (sogokan dana agar bisnis mereka dipermudah). Timbal balik ekonomi yang didapat pelaku bisnis dari para politikus/pejabat negara dapat berupa konsesi bisnis melalui tender-tender pemerintah, keringanan pajak, kebijakan negara/pemerintah daerah dan peraturan yang memudahkan bisnis mereka, tetapi tidak terbatas pada kemudahan untuk memperoleh dana dari institusi perbankan.

Kaitan antara bisnis dan politik dalam kategori yang sempit itu bagaikan gurita yang sulit dilepaskan oleh para politikus, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dana kampanye. Aktivitas tersebut bahkan sudah merambah soal proses politik di parlemen yang terkait dengan fit and proper test untuk jabatan-jabatan yang basah atau penuh uang. Tengok misalnya isu skandal suap soal dukung-mendukung mengenai siapa yang akan menjadi Gubernur, Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI).

Kita belum tahu, apakah isu benar adanya atau tidak, tetapi dalam kasus Miranda Swaray Goeltom, isu tersebut sempat merebak. Dalam bahasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kongkalikong atau kolusi antara pejabat publik dan pelaku bisnis ini akan dihabisi karena hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan perusakan pada sistem pemerintahan yang bersih.

Secara lebih tegas, Presiden SBY mengaitkan soal bagaimana pelaku bisnis berupaya menyogok para pejabat publik agar pajak perusahaan tidak sebesar yang seharusnya dibayar oleh para pelaku bisnis. Jika benar Presiden ingin membasmi korupsi dan kolusi di bidang perpajakan, ini suatu hal yang amat positif.

Namun, kalau ini dikaitkan dengan soal perseteruannya dengan “mantan pembantunya” (mantan Menko Kesra Aburizal “Ical” Bakrie) yang kini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pertanyaannya, mengapa soal utang pajak perusahaan-perusahaan milik keluarga besar Bakrie yang konon nilainya mencapai Rp2,1 triliun ditambah denda yang katanya mencapai Rp6 triliun itu tidak diselesaikan saat Aburizal Bakrie masih menjabat sebagai menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu I (2004–2009)?

Mengapa soal kemplang-mengemplang pajak itu yang adalah soal teknis perpajakan tidak dilontarkan oleh Direktur Jenderal Pajak saja dan harus dilontarkan oleh Presiden? Mengapa pula hal itu tidak diajukan ke pengadilan atau diselesaikan melalui perundingan antara Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak yang mekanisme resminya sudah ada? Pertanyaan lain yang patut dikemukakan ialah, apakah Partai Demokrat dan pasangan SBY-Boediono pada masa kampanye Pemilu 2004 dan 2009 bersih dari “bantuan dana kampanye” para pelaku bisnis?

Pertanyaan ini patut dikemukakan lantaran asumsi yang saya ajukan ialah tidak ada pasangan calon presiden/wakil presiden atau partai-partai politik yang 100 persen bersih atau tidak menerima dana bantuan kampanye dalam bentuk apa pun dari para pelaku bisnis. Para pasangan dalam berbagai pilkada juga kemungkinan besar mendapatkan dana bantuan kampanye dari para pelaku bisnis di pusat ataupun daerah.

Besar kecilnya tergantung pada kedekatan pribadi, kedekatan politik atau probabilitas kemenangan yang akan diraih partai atau para kandidat presiden/ wakil presiden serta kepala daerah pada pemilihan umum legislatif pusat/ daerah atau pemilihan presiden/ wakil presiden atau pilkada langsung.

Persoalan dana bantuan politik ini merupakan suatu hal yang wajar asalkan transparan dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kita sampai kini juga masih bertanya apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan akuntan publik telah melakukan audit atas dana-dana kampanye itu secara benar. Soal bisnis dan politik ini anehnya baru mengemuka dan menjadi headline di berbagai surat kabar Ibu Kota setelah Presiden SBY melontarkan hal itu saat memberikan amanat pada Rapat Pimpinan Polri beberapa hari lalu.

Isu ini juga tidak melulu mengenai bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, melainkan terkait kuat dengan soal tarik ulur dukungan di Pansus DPR dalam kasus skandal Bank Century. Baik SBY maupun Aburizal Bakrie tentu memiliki kartu truf yang bisa mereka mainkan untuk melemahkan lawannya.

Anehnya soal tekan-menekan politik bukan terjadi antara penguasa dan lawan politiknya, melainkan di antara dua penanda tangan kontrak politik, yaitu antara SBY sebagai penguasa negeri dan Ical sebagai penguasa Partai Golkar. Dua tokoh politik ini juga sama tidak sterilnya dalam soal dana bantuan politik.

Bukan mustahil Aburizal Bakrie pada Pilpres 2004 dan 2009 termasuk pelaku bisnis sekaligus pejabat negara yang perusahaan keluarganya memberi bantuan dana kampanye pada pasangan SBY–JK (2004) dan SBY– Boediono (2009). Tekanan Partai Golkar dalam Pansus Bank Century juga bukan mustahil mengandung unsur politik untuk menekan SBY agar memberi ruang pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono dan memecat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan bukan murni ingin membangun pemerintahan yang bersih seperti yang dilontarkan Aburizal Bakrie bahwa “orang yang tidak benar harus diganti”.

Dengan kata lain, baik SBY maupun Aburizal Bakrie sama-sama tidak murni ingin membangun pemerintahan yang bersih di dalam pernyataan-pernyataan politik mereka, melainkan bagaimana mendapatkan dukungan rakyat atas motif politik di balik pernyataan-pernyataan politik yang aduhai indahnya itu. Kita tunggu saja apakah SBY dan Ical dapat berdamai kemudian.

Jika mereka tidak dapat berdamai, bukan saja SBY, Partai Demokrat, dan Partai Golkar saja yang akan merugi, melainkan koalisi pemerintahan secara keseluruhan. Namun, jika dianalisis lebih dalam lagi, yang paling merugi adalah SBY karena akan semakin sulit ia mengelola dukungan dari koalisi politik yang semakin rapuh itu. Walau Partai Demokrat memiliki 148 kursi, terbesar di DPR, sebagian besar anggotanya atau lebih dari 90 persen bukanlah politisi ulung yang mampu mengarahkan proses politik di parlemen.

Maklum jam terbang mereka masih kurang dari 10 tahun, kalau tidak dapat dikatakan masih sebagai “politisi balita”. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan yang pemimpinnya tidak jarang bagaikan crying baby dan politisi pendukung utamanya bagaikan “politisi balita” yang masih belajar berpolitik? Jawabannya tentu bukan pada syair lagu ciptaan SBY: “Ku Yakin Sampai di Sana”.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
sumber : http://www.okezone.com

03 Februari, 2010

Hal Ihwal Impeachment...


Akhir-akhir ini, istilah yang banyak mewarnai diskursus publik adalah pemakzulan atau impeachment. Bagi masyarakat awam, istilah tersebut masih cukup asing, bahkan mungkin belum pernah didengar.

Istilah pemakzulan dan impeachment secara legal formal juga tidak terdapat dalam aturan hukum di Indonesia. Istilah pemakzulan digunakan sebagai terjemahan dari istilah impeachment. Impeachment adalah mekanisme formal di mana seorang pejabat publik yang dipilih didakwa melakukan tindakan yang melanggar hukum, yang biasanya dibatasi pada pelanggaran berupa tindak pidana.

Impeachment merupakan istilah hukum tata negara untuk menyebut proses pendakwaan, sebanding dengan istilah dakwaan dalam proses peradilan pidana. Namun, walaupun dakwaan dalam proses impeachment adalah terkait dengan tindak pidana, proses impeachment bukan merupakan peradilan pidana, melainkan peradilan hukum tata negara yang akan memutuskan apakah terdakwa diberhentikan dari jabatannya dan kemungkinan sanksi lain berupa larangan menduduki jabatan publik di mana dia telah diberhentikan.***

Mekanisme dan praktik impeachment yang banyak dijadikan rujukan adalah di Amerika Serikat (AS). Dalam sejarah ketatanegaraan AS, impeachment merupakan mekanisme yang digunakan untuk kasus-kasus yang ekstrem, hanya untuk pelanggaran hukum berupa pengkhianatan, penyuapan dan kejahatan berat serta perbuatan tercela (treason, bribery and other high crimes and misdemeanors).

Namun masih terdapat perdebatan tentang frase “high crimes and misdemeanors” karena dipandang sangat luas pengertiannya. Impeachment di AS tidak hanya berlaku untuk presiden dan/atau wakil presiden, tetapi untuk semua pejabat publik, baik di tingkat federal maupun negara bagian. Dari tahun 1789 hingga saat ini, hanya terdapat 18 pejabat federal yang mengalami proses impeachment dan tidak semuanya berujung pada pemberhentian (removal from the office).

Pejabat yang paling banyak diajukan untuk impeachment justru adalah hakim yang meliputi 14 orang hakim federal, 11 orang hakim distrik, 2 orang hakim banding, serta seorang hakim agung. Pada cabang kekuasaan eksekutif, terdapat 2 presiden yang pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton, serta seorang menteri perang (Secretary of War) William W. Belknap.

Untuk cabang kekuasaan legislatif terdapat seorang anggota Senat yang mengalami proses impeachment, yaitu Senator William Blount. Dari 18 pejabat yang diproses impeachment tersebut, hanya 7 pejabat yang dinyatakan terbukti bersalah dan diberhentikan dari jabatannya, sedangkan sisanya dinyatakan tidak terbukti.

Dua Presiden AS yang pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton, keduanya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum yang didakwakan. Selain itu, pernah terjadi upaya impeachment terhadap Presiden Richard Nixon. Namun Presiden Nixon telah mengundurkan diri pada saat usulan impeachment itu baru disetujui oleh House of Representative.***

Di Indonesia, pengaturan tentang impeachment atau pemakzulan merupakan hasil perubahan keempat UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Impeachment berlaku khusus untuk presiden dan/atau wakil presiden dengan istilah “dapat diberhentikan dalam masa jabatannya” dengan mekanisme yang melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.

Jika menilik perdebatan pada saat pembahasan perubahan keempat UUD 1945 yang melatarbelakangi ketentuan Pasal 7A dan 7B tersebut, pemakzulan lebih dimaksudkan sebagai salah satu mekanisme pendukung mewujudkan pemerintahan presidensial. Salah satu karakteristik sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan yang melahirkan hubungan sejajar antara eksekutif dan parlemen.

Hal ini berbeda secara mendasar dengan sistem parlementer di mana eksekutif bergantung kepada parlemen sehingga sewaktu-waktu eksekutif dapat dijatuhkan dan diganti oleh parlemen. Dalam hubungan yang demikian, masa jabatan pemerintahan, yang dalam hal ini direpresentasikan dengan masa jabatan presiden, telah ditentukan terlebih dahulu (fix term of office).

Sebaliknya, masa jabatan pemerintahan dalam sistem parlementer tidak ditentukan secara pasti, melainkan bergantung pada kepercayaan dari parlemen. Biasanya, kabinet dalam pemerintahan jatuh karena alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau dianggap salah oleh parlemen. Konstruksi pemerintahan sebelum adanya perubahan UUD 1945 lebih bercirikan parlementer.

Walaupun terdapat ketentuan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah 5 tahun, hal itu sepenuhnya bergantung kepada MPR. MPR sewaktu-waktu dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya dengan alasan melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau MPR. Pelanggaran yang dimaksudkan itu tidak terbatas pada pelanggaran hukum, melainkan juga termasuk pelanggaran berupa kebijakan yang dinilai salah atau tidak sesuai dengan penilaian MPR.

Sesuai dengan salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu untuk memurnikan dan memperkuat sistem presidensial, pemerintahan yang diharapkan terbentuk berdasarkan perubahan UUD 1945 adalah pemerintahan yang stabil sesuai dengan ciri-ciri sistem presidensial. Untuk memperkuat legitimasi presiden dan/wakil presiden, keduanya dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di sisi lain, terdapat reposisi kedudukan MPR yang tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi. Untuk mencapai pemerintahan presidensial yang stabil, masa jabatan presiden dan/atau wakil presiden telah ditentukan, yaitu 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan lagi.

Pada prinsipnya, dalam masa jabatan 5 tahun tersebut kedudukan presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD 1945 ditentukan dapat menjadi dasar pemberhentian. Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden adalah mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada kasus yang luar biasa atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Hal itu dapat dilihat dari alasan yang dapat dijadikan dasar usulan pemberhentian yang sangat spesifik dan menghindari dominasi konfigurasi politik serta mekanisme berlapis untuk mengambil putusan pemberhentian.***

Pasal 7A UUD 1945 menentukan tiga jenis alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian, yaitu pelanggaran hukum, perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Alasan pertama adalah pelanggaran hukum presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila melakukan tindakan yang melanggar norma hukum.

Pelanggaran hukum dalam hal ini juga ditentukan secara lebih spesifik lagi, yaitu berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Tindak pidana berat selama ini dipahami sebagai tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Pelanggaran hukum di luar ketiga tindakan itu dengan sendirinya tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemberhentian.

Alasan kedua adalah perbuatan tercela yang dalam istilah di AS disebut dengan misdemeanor. Dari sisi hukum, istilah misdemeanor sesungguhnya menunjuk pada tindak pidana ringan. Namun dalam konteks impeachment, misdemeanor adalah perbuatan tercela, yang walaupun bukan pelanggaran pidana, merupakan perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak seharusnya dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden. Apabila perbuatan dimaksud dilakukan, hal itu akan merusak citra dan kehormatan presiden dan/atau wakil presiden.

Alasan ketiga adalah presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Alasan ini tentu lebih mudah dibuktikan karena telah terdapat ketentuan yang jelas mengenai persyaratan calon presiden dan/atau wakil presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pada saat syarat dimaksud tidak terpenuhi, maka presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memiliki kapasitas (incapacity) menjabat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Hanya dengan ketiga alasan tersebutlah presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.

Presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika hanya dengan alasan parlemen tidak menyetujui kebijakan presiden dan/atau wakil presiden sepanjang kebijakan tersebut tidak melanggar atau diniatkan atau dijadikan sebagai dasar bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar impeachment. Mekanisme impeachment juga ditentukan secara ketat, melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.

Walaupun impeachment merupakan mekanisme hukum tata negara, tidak dapat dimungkiri tentu nuansa politis dapat mendominasi. Namun nuansa tersebut telah dibatasi dalam kerangka hukum serta melalui mekanisme peradilan di MK sebagai forum hukum yang bebas dari kepentingan politik apa pun. Melalui mekanisme ini, impeachment diharapkan benar-benar hanya akan terjadi dalam kondisi luar biasa dan tidak justru menjadi jalan terganggunya stabilitas pemerintahan yang merusak sistem pemerintahan presidensial.(*)

Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi
sumber : www.okezone.com

18 Januari, 2010

Entrepreneur Organik dan Kesejahteraan Petani


Kata entrepreneur akhir-akhir ini menjadi pesona yang menggiurkan masyarakat. Hal ini punya alasan karena dalam faktanya mereka yang mendapat julukan entrepreneur adalah orang-orang sukses dalam dunia bisnis. Keinginan hidup sejahtera di tengah-tengah keterpurukan ekonomi saat ini membuat mereka merasa perlu menggali potensi dari para entrepreneur sukses. Kalau dirujuk dari akar bahasa, entrepreneur itu sendiri berasal dari bahasa Prancis; entrependere. Secara simple bisa diartikan sebagai usaha yang di dalamnya mengandung potensi sekaligus risiko yang sulit. Dalam bahasa Indonesia selama ini kata entrepreneur diterjemahkan sebagai wirausaha, pelakunya adalah wirausahawan.

Selama ini kita mengenal dua kategori entrepreneur, yakni entrepreneur murni dan entrepreneur sosial. Yang pertama merujuk pada sosok wirausahawan yang sukses secara material untuk dirinya sendiri. Sedangkan yang kedua, selain sukses ekonomi secara pribadi, entrepreneur sosial adalah mereka yang memiliki jiwa sosial karena mendermakan hartanya atau membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Tetapi menurut saya, mestinya ada satu kategori lagi, yakni istilah Entrepreneur Organik. Kategori ini layak dialamatkan pada sosok entrepreneur yang selain mampu mempraktikkan jiwa Entrepreneur Sosial di atas, juga mampu menciptakan beragam pekerjaan melalui pemberdayaan dan menghasilkan entrepreneur-entrepreneur mandiri yang mengikuti jejak langkahnya.

Letak perbedaan kontras antara Entrepeneur Sosial dengan Entrepreneur Organik juga bisa dilihat pada proses. Kalau Entrepreneur Sosial setelah menikmati kesuksesan baru kemudian bekerja untuk kepentingan orang lain, Entrepreneur Organik memproses secara bersama sejak ia memulai usahanya. Istilah ini merujuk dari definisi ‘Intelektual Organik’ yang diciptakan Antonio Gramsci. Cendekiawan Kiri dari Italia itu membedakan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Yang pertama adalah mereka para intelektual kampus, yang mahir dalam rumus, teori, wawasan dan sedikit paham lapangan. Sedangkan Intelektual Organik adalah sosok intelektual yang selain memiliki kemahiran diskursus pengetahuan, juga memahami serta bermain langsung dalam lapangan.

Intelektual Organik ini tidak mempercayai transformasi sosial hanya dengan pola pendidikan eksklusif seperti diskusi dan pelatihan singkat. Intelektual Organik hanya percaya, kemajuan rakyat akan tercapai kalau digerakkan melalui kombinasi teori dan praktik secara langsung dalam kurun perjuangan panjang bertahun-tahun. Karena kebutuhan kepemimpinan langsung inilah Intelektual Organik merasa wajib terjun ke gelanggang kehidupan massa rakyat; memotivasi, memberikan arah dasar gerakan, memimpin langsung dengan segala risiko dan melindungi kehidupan warga. Kalau Intelektual Organik sifatnya lebih luas dalam kepemimpinan politik, maka Entrepreneur Organik adalah mereka yang memimpin secara khusus di bidang ekonomi.

Di Kaki Gunung Patuha

Adakah sosok Entrepreneur Organik di Indonesia? Tentunya ada. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin berbagi dengan satu sosok yang tak jauh dari lingkungan kita, di Bandung. Makhluk itu bernama Fuad Afandi, pemimpin Pondok-Pesantren Al-Ittifaq, di desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. “Kesuksesan” ulama dari lereng Gunung Patuha dalam dunia agribisnis dan kegiatan sosial paling tidak telah menandaskan ada kekuatan kepemimpinan sejati dari seorang kiai yang mampu memberdayakan kehidupan masyarakat untuk tujuan materi dan ruhani. Ratusan hektare tanah di Rancabali yang pada tahun 1970-an tidak digarap kini menjadi lahan yang mampu menyejahterakan ribuan keluarga petani, bahkan mendorong kemajuan di bidang jasa dan bisnis lainnya. Al-Ittifaq, yang berarti kerja sama telah membuktikan bahwa masyarakat pedalaman yang terbiasa hidup terkungkung dalam imajinasi alam agraris kini telah menjadi masyarakat yang lebih egaliter, moderat, berwawasan dan tentu saja lebih beradab. Dalam masa perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan sejak tahun 1970-an, Fuad Afandi telah membuktikan koperasi bukan sekadar slogan politik, melainkan benar-benar menjadi pilar kesejahteraan kaum tani.

Lebih dari 300 anak-anak bangsa dari golongan dluafa ia berdayakan menjadi entreprenuer-entrepreneur muda tanpa biaya sepeser pun. Jaminan makanan, pakaian dan papan disediakan secara khusus. Ratusan santri dluafa itu mengelola puluhan hektar tanah yang ditanami 28 jenis sayuran sesuai dengan permintaan pasar. Pola kerja sama yang diterapkan dengan mengikuti perkembangan pasar modern membuat hasil panen stabil.

Selain membuka pendidikan ekonomi dan agama bagi kaum dluafa, Fuad Afandi juga membuka pendidikan modern berkualitas tinggat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar (yang mampu) untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus ke kota. Orang boleh bilang bahwa menjadi petani itu berarti menjadi miskin. Tetapi di tangan sang Entrepreneur Organik jebolan kelas 4 Sekolah Rakjat (SR) itu ternyata kesejahteraan petani benar-benar mewujud. Seandainya Deng Xiaoping masih hidup dan menengok kehidupan petani di kaki Gunung Patuha, barangkali Deng akan bangga karena ucapannya terbukti: “menjadi kaya itu mulia.” Dan para petani itu mulia karena tidak terjebak dalam kubang kemiskinan menjadi kuli-kuli miskin di kota.

Faiz Manshur
Penulis Buku Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses KH Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat "Sayuriah"-nya
sumber : www.okezone.com

12 Januari, 2010

Susno Duadji : Polisi Kontroversial


Kesaksian mantan Kabareskrim Susno Duadji dalam persidangan Antasari Azhar mengundang kontroversi. Secara kebetulan, segera setelah itu fasilitas ajudan dan mobil Susno ditarik Mabes Polri. Makanya tafsiran jadi “ke mana-mana”.

Apalagi Kapolri membentuk tim khusus untuk mengkaji kehadirannya yang mungkin dilanjutkan dengan persidangan internal. Selalu ada yang pro dan kontra terhadap kejadian serupa ini. Akankah Susno Duadji berhenti dari Polri? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kontroversi sebagai perdebatan, persengketaan, pertentangan. Agaknya dalam kasus Susno terjadi ketiga-tiganya: diperdebatkan, disengketakan, dan dipertentangkan. Susno Duadji memang kontroversial.

Dimulai dari penampilan hingga “kelakuannya” memang sering kali mengundang kontroversi. Tengok saja berbagai perjalanan jabatannya, terutama sejak menjabat sebagai kapolda hingga Kabareskrim. Saya tidak bermaksud bicara kesukuan. Namun kenyataannya memang suku/asal seseorang terkadang erat berkaitan dengan sepak terjangnya.

Pemimpin kita telah mempertontonkan bahwa pada sepak terjang masing-masing ada juga kontribusi latar belakang budayanya. Seandainya ada yang menilai Susno Duadji adalah sosok yang kontroversial, mungkin itu erat kaitannya dengan lingkungan daerah yang membesarkan beliau. Suatu lingkungan yang terbuka, direct, tanpa basa-basi. Pribadi yang berani mengambil risiko. Bagi sebagian orang, kelakuan Susno sering kali kontroversial.

Dalam kasus Bibit-Chandra, publik telanjur menduga dan memiliki persepsi “keterlibatan Polri”. Persepsi yang belum tentu benar. Dalam kondisi ini pastilah semua jajaran Polri diharapkan diam seribu bahasa. Irit bicara. Jika ingin berbicara harus terpola dan melalui satu pintu saja. Dalam kondisi Polri tiarap dan sensitif ini, justru Susno “menyelonong di siang bolong”, muncul di persidangan Antasari.

Berpakaian dinas lengkap pula. Gegerlah Indonesia. Mabes Polri seakan diguncang tsunami. Apakah tindakan Susno Duadji yang hadir di persidangan Antasari tergolong patut dipersalahkan? Ataukah tindakan itu semata-mata dikarenakan beliau sakit hati dicopot dari posisi Kabareskrim? Apalagi kemudian juga dikait-kaitkan dengan batalnya beliau menjadi Wakapolri.***

Ada beberapa hal yang ingin saya bahas. Masalah pertama adalah soal sosok kontroversial Susno Duadji. Bagi saya kontroversi tidak dikonotasikan negatif. Bahkan dalam hal tertentu “hentakan-hentakan” itu dibutuhkan di tengah-tengah negeri yang terus berbenah ini. Bayangkan seandainya Indonesia hanya diisi oleh para pemimpin yang cuma mencari aman, tidak berani mengambil risiko (risk taking).

Perilaku “biasa-biasa saja” dapat diterjemahkan kontroversial di tengah kelompok orang yang hanya ingin berteduh di tengah adem ayemnya kekuasaan. Menjadi sosok yang “meletup-letup” tanpa mengenal rasa takut pastilah melahirkan kontroversi. Susno Duadji memang memiliki pengalaman panjang sebagai polisi yang kontroversial. Kita simak beberapa hal saja. Pertama ketika beliau menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.

Provinsi ini, ketika itu, dalam kondisi sangat rawan pungutan liar, termasuk dalam urusan lalu lintas. Susno mengumpulkan semua polisi terkait dengan bidang tugasnya. Mulai dari pangkat ajun komisaris polisi (AKP) hingga komisaris besar (kombes). Mereka diminta menandatangani akta kesepakatan bersama untuk tidak melakukan pungli. Di saat itu pernyataan Susno yang terkenal, “Jangan pernah setori saya.” Kontroversial sekali karena kebijakan dan komentar itu menyodok ke mana-mana. Termasuk menampar muka Polri. Kedua, di tengah masyarakat dan para penggiat hak asasi manusia (HAM) mewanti-wanti kelakuan Polri yang ringan menembakkan senjatanya, justru Kapolda Susno Duadji “bikin sensasi”. Dia malah memerintahkan “tembak di tempat” terhadap para penjahat yang mencoba melarikan diri dari kejaran polisi.

“Senjata polisi dibeli dari uang rakyat yang memang untuk menembak orang (jahat), bukan hanya untuk petantang-petenteng. Jika pada saatnya gunakan senjata itu. Kalaupun salah tembak, itu soal sial saja,” ungkapnya saat itu. Bukankah ungkapan-ungkapan itu tergolong kontroversial? Namun dalam soal ketegasan, patut dipuji. Masyarakat menilai sebagian dari polisi kita memang agak lembek ketika harus bersikap keras.

Ketika menjadi Kabareskrim, kekontroversialan Susno Duadji tidak juga berhenti walaupun bagi saya, itulah watak Bhayangkara sejati yang tidak pernah memikirkan risiko duniawi yang mungkin terjadi. Susno kemudian mendapat gelar sebagai pencipta ungkapan “cicak melawan buaya”.

Buaya diidentikkan dengan polisi dan cicak dianalogikan sebagai KPK. Ini berdasarkan pernyataan Susno, “Ibaratnya di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.” Pernyataan yang kontroversial dan segera meledak, laku dijual dalam berbagai rupa.***

Tanda-tanda Susno yang akan semakin berani sudah ada. Ketika diperiksa oleh Tim 8, dia mulai menunjukkan amarahnya karena dituduh menerima uang dalam jumlah miliaran rupiah dalam kasus Bank Century. Dia marah besar. Sumpahnya juga meledak di DPR RI ketika dilakukan pertemuan antara jajaran Polri dengan para wakil rakyat.

Kegarangan dan kekontroversialan itu makin menjadi setelah dia (benar-benar) tidak aktif lagi sebagai Kabareskrim Polri. Ia diberhentikan melalui telegram rahasia bernomor 618/ XI/2009 tanggal 24 November 2009. Susno “bernyanyi ke mana-mana” di media secara luas. Tidak sedikit pun ada ekspresi takut darinya.

Puncak kontroversi itu adalah kesaksiannya dalam persidangan Antasari, Kamis, 7 Januari 2010. Dia memenuhi panggilan untuk bersaksi. Berpakaian lengkap. Kesaksian jenderal berbintang tiga di tengah hiruk-pikuk opini publik tentang Polri pastilah mengundang kontroversi. Sebagaimana dugaan banyak orang, kehadiran Susno sebagai saksi Antasari menggegerkan dunia kepolisian. Pro dan kontra muncul ke permukaan.

Jika semata-mata kedatangan itu memenuhi panggilan persidangan, tidak ada yang patut mempersalahkan Susno. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur pentingnya keterangan saksi. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri.

Lebih lanjut Pasal 65 KUHAP mengatur, “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.” Hukum juga dapat memaksa seseorang yang mangkir atas panggilan sebagai saksi atau siapa saja yang menghalanghalangi seseorang untuk bersaksi di pengadilan.

Dalam kasus Susno, para pengacara telah mengirimkan surat kepada Kapolri agar Susno diizinkan untuk memberi kesaksian dalam kasus Antasari. Kita juga mengetahui dari media bahwa Susno telah pula meminta izin melalui SMS. Mungkin kedua hal ini telah menjadi cukup alasan baginya untuk menjalankan kewajiban hukumnya. Jika menunggu jawaban pasti dari Kapolri, ada beberapa kemungkinan: tidak diizinkan atau diizinkan dengan catatan-catatan.

Atau malah permohonan izin itu diambangkan. Padahal, kesaksian di persidangan merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap orang yang diminta. Namun, tentu persoalan menjadi tidak sesederhana itu apabila “terawangan” kita lebih luas lagi. Kehadiran Susno di persidangan menjadi soal bukan hanya semata-mata soal izin itu. Kita sedang menyaksikan “peperangan internal” yang hebat di tubuh Polri.

Tengoklah insiden spanduk di Mabes Brimob Kelapa Dua ketika berlangsung suatu upacara besar tahun lalu. Ada spanduk yang dengan terang-terangan memberikan dukungan kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Apa perlu suatu satuan di bawah komando menuliskan kata-kata semacam itu? Tafsirannya bisa ke mana-mana.***

Mestinya penilaian terhadap sosok Susno dilakukan secara utuh. Bukan sekadar izin tertulis yang tidak dimilikinya ketika bersaksi di persidangan Antasari. Ada juga prestasi yang diukirnya. Ketika menjadi Kapolda Jawa Barat, persepsi masyarakat terhadap polisi cukup meningkat. Jika benar informasi yang ada, di saat menjabat sebagai Kabareskrim dia berhasil mengembalikan uang negara sekira Rp15 triliun, lebih dari dua kali lipat dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7 triliun.

Bagi saya, Susno Duadji sosok kontroversial sekaligus fenomenal. Tak jarang bertindak nyeleneh dan berisiko. Reformasi di tubuh Polri memang harus dengan tindakan nyata yang mungkin memunculkan multitafsir. Kini tidak banyak lagi pribadi yang berani. Sebagian dari kita tergadai oleh jabatan, terpatri oleh materi. Susno berhadapan dengan lingkup internal Polri yang tak semuanya menerima perubahan.

Mestinya pimpinan Polri menyikapinya secara bijak. Memang, di satu sisi pembentukan tim pemeriksa Susno dapat ditafsirkan sebagai upaya Polri menunjukkan kesetaraan perlakuan terhadap anggotanya, tapi bukan pula mustahil memunculkan dugaan sebaliknya. Bukankah selama ini budaya Polri di semua lini adalah atasan can do no wrong? Kritikan sering kali diidentikkan dengan perlawanan. Akan jelas risiko akibat melawan atasan. Kultur berkarat ini justru dilawan olehnya. Susno Duadji memang polisi kontroversial.(*)

Prof Amzulian Rifai, PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
sumber : http://www.okezone.com

06 Januari, 2010

Magnet Silaturrahmi GUSDUR


Saya sudah lupa hari dan tanggalnya, tetapi waktu itu adalah awal tahun 2001, saat saya menjabat sebagai menteri pertahanan di bawah kepresidenan Gus Dur.

Kepala Staf Angkatan Udara saat itu, Hanafi Asnan, menelepon saya. “Pak Mahfud, saya mendapat berkah, seperti kejatuhan bulan dan bintang,” kata Hanafi. “Ada apa, Pak,” tanya saya. “Presiden tiba-tiba minta mampir ke rumah Ibu saya di Madura,” jawab Hanafi. Orang mampir ke rumah orang tentulah hal biasa. Namun peristiwa itu menjadi surprise bagi Hanafi karena yang akan mampir ke rumah ibunya adalah Presiden. Padahal Gus Dur tak pernah kenal dengan ibunda Hanafi kecuali bahwa Hanafi adalah bawahannya yang berasal dari Madura.

Apalagi rencana mampir itu diberitahukan kepada Hanafi hanya dua hari sebelum keberangkatan Gus Dur ke Madura. Saat itu Presiden Gus Dur dijadwalkan kunjungan kerja ke Madura bersama Menteri Kehutanan Marzuki Usman untuk acara menanam seribu pohon dalam program penghutanan. Ketika rencana keberangkatan dilaporkan dan dimatangkan, tiba-tiba Presiden meminta diselipkan acara mampir ke rumah Hanafi Asnan di Socah, Bangkalan.

Meski diberi tahu bahwa KSAU Hanafi Asnan tak ikut dalam rombongan, Gus Dur mengatakan bahwa dirinya akan bersilaturahmi kepada ibu Pak Hanafi. Itulah sisi lain kehidupan Gus Dur yang jarang diperhatikan orang, yakni suka bersilaturahmi kepada siapa pun. Banyak yang meyakini bahwa kegemaran bersilaturahmi tanpa jarak “antara orang besar dan orang biasa” itulah yang mengakibatkan Gus Dur menjadi milik dan dicintai oleh begitu banyak orang.***

Sebagai politikus dan pejuang Gus Dur selalu dapat membedakan antara urusan politik dan hubungan pribadi. Dia bisa keras, tegas, dan cenderung berkepala batu dalam sikap-sikap politiknya, tetapi selalu menjaga hubungan pribadi melalui silaturahmi yang selalu hangat dan bersahabat. Bukan hanya kawan politiknya yang diakrabi, tetapi lawan-lawan politiknya pun dihormati dengan silaturahmi. Kita tentu masih ingat nama Abu Hasan, pesaing Gus Dur dalam perebutan kursi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU (1994) di Cipasung.

Sebagai calon ketua umum yang menurut berita diskenariokan oleh kekuatan luar untuk menjinakkan NU, Abu Hasan ngotot untuk menjadi Ketua Umum PBNU. Setelah kalah dalam pemilihan yang demokratis di muktamar Abu Hasan tidak mau terima. Dia pun membentuk PBNU tandingan dengan nama KPPNU. Namun berkat dukungan arus bawah terhadap Gus Dur, meski memakan waktu agak lama, akhirnya KPPNU itu bubar tanpa komunike karena tak bisa bekerja tanpa dukungan umat. Yang mengharukan, setelah KPPNU runtuh dan PBNU di bawah Gus Dur berjaya, justru Gus Dur-lah yang datang bersilaturahmi ke rumah Abu Hasan tanpa mengungkit kelakuan dan cercaan-cercaan pedas yang pernah dilontarkan Abu Hasan terhadap dirinya.

Dirangkulnya Abu Hasan sebagai sahabatnya. Saya juga masih ingat ketika terjadi konflik PKB Jawa Timur yang melibatkan Kiai Fawaid. Saat itu Kiai Fawaid terpilih sebagai Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur, tetapi tidak ada kecocokan dengan Gus Dur dan Ketua PKB Jawa Timur Choirul Anam dalam susunan kepengurusan. Kiai Fawaid merasa hak-haknya sebagai Ketua Dewan Syura hasil musyawarah wilayah (muswil) dilanggar, apalagi Gus Dur sempat marah dan menyatakan tak akan berhubungan lagi dengan Kiai Fawaid.

Pewaris tokoh NU karismatik Kiai As’ad Syamsul Arifin itu pun keluar dari PKB dan bergabung dengan PPP. Pada saat Kiai Fawaid bersikap keras dan resmi menyatakan bergabung ke PPP, Gus Dur tetap menyambung silaturahminya dengan Kiai Fawaid. Pada suatu tengah malam secara mendadak Gus Dur berkunjung ke rumah Kiai Fawaid di Sukorejo meskipun harus menempuh perjalanan darat yang sangat jauh. Gus Dur menghormati pilihan Kiai Fawaid keluar dari PKB dan silaturahmi terus dipelihara.***

Untuk soal silaturahmi saja saya punya seribu kenangan dengan Gus Dur. Gus Dur sering ke rumah saya baik di Yogyakarta maupun di Madura. Namun Muktamar II PKB tahun 2005 pernah menimbulkan masalah psikologis. Saat itu saya menolak ajakan Gus Dur yang meminta saya untuk menjadi pengurus DPP PKB hasil Muktamar Semarang itu. Meskipun mungkin terlalu subjektif, saya menilai Muktamar Semarang tidak fair sehingga saya tak bersedia menjadi pengurus DPP PKB dan memilih menjadi anggota biasa saja.

Ada pendukung hasil Muktamar Semarang yang menciptakan opini dan insinuasi bahwa saya membangkang dan dimarahi atau dimusuhi Gus Dur. Namun tak banyak yang tahu bahwa dalam situasi “perang dingin” seperti itu Gus Dur justru mengunjungi rumah saya di Yogyakarta. Suatu sore saya ditelepon oleh sekretaris pribadi Gus Dur, Munib Huda, yang mengabarkan bahwa Gus Dur ingin minum teh di rumah saya karena kebetulan ada di Yogyakarta. Kami pun bercengkerama sambil menikmati rempeyek kacang dengan tetap pada posisi masing-masing dalam menyikapi hasil Muktamar Semarang. “Silaturahmi jangan sampai putus,” kata Gus Dur.

Gus Dur dan Ibu Sinta tetap sering bermain ke rumah saya seperti halnya saya dan istri tetap selalu berkunjung ke rumah keluarga Gus Dur. Ketika keluar dari PKB karena menjadi hakim konstitusi pun saya dilepas oleh Gus Dur melalui silaturahmi yang manis dan sangat mengesankan. Ada lagi. Pada suatu hari saya menghubungi Gus Dur dan memulai menyapa dengan pertanyaan rutin, “Gus Dur ada di mana?” Ternyata Gus Dur sedang menengok orang tua Choirul Huda, sopir pribadinya, yang sedang sakit di sebuah desa di kawasan Jombang.

Gus Dur tak pernah lelah bersilaturahmi kepada siapa pun, mulai dari kota besar sampai ke desa terpencil, mulai dari sahabat karib sampai ke lawan-lawan politik, mulai dari orang-orang besar sampai orang-orang kecil.

Jadi selain karena modal politik- sosiologisnya sebagai tokoh yang berdarah biru NU, kecerdasan dan kepandaiannya yang luar biasa, kehidupannya yang bersahaja, serta keterbukaan dan kesantunannya terhadap semua golongan, perihal kegemaran untuk selalu bersilaturahmi menjadi penguat bagi munculnya keseganan dan kecintaan masyarakat terhadap Gus Dur. Belum lama Gus Dur wafat, tapi kita sudah sangat merindukannya.(*)

Moh Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi RI
sumber : www.okezone.com
Klub Bisnis Internet Berorientasi Action