wirausaha online

03 Maret, 2009

Jauh Partai dari Islam


Umat Islam sangat meyakini bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin --rahmat bagi seluruh alam. Itu memang firman Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim. Umat Islam juga sangat meyakini bahwa segala yang penuh kasih dan penuh sayang datang hanya dari Tuhan. Lawannya adalah watak setan, yang amat lihai membujuk manusia hanya berbuat buruk.
Baik dan buruk, haq dan batil --seperti disuratkan dalam beberapa ayat suci --tak bisa disatukan, atau, dalam bahasa politik, dikompromikan. Celakanya, dalam konteks politik (sejauh yang dipahami banyak orang selama ini), yang terjadi bukan cuma koor menerima rahmat dari langit. Dinamika politik justru terjadi karena di dalamnya ada tawar-menawar, tarik-menarik, bahkan proses tindas-menindas berbagai kepentingan yang tidak terbatas pada baik atau buruk, suci atau najis, mutlak atau relatif.
Sering terjadi dalam kancah partai politik, keduanya “dipaksakan” berjalin-bekelindan. Orang-orang yang asyik berpolitik tidak lagi merasa terperangkap dalam stigmatisasi bahwa politik itu kotor. Mereka malah sudah meyakini tak ada laku politik yang tidak kotor. Padahal Islam menghendaki kemuliaan berdasar akhlakul karimah --akhlak mulia.
Beberapa berita media massa tentang sejumlah tokoh partai Islam yang melakukan korupsi belakangan ini, misalnya, menunjukkan “kesesatan” kalangan dalam partai Islam. Tindakan tidak terpuji itu bukan hanya menodai partai Islam, tapi lebih jauh lagi meruntuhkan bangunan sejarah politik Islam yang dengan berdarah-darah dibangun para pendahulu mereka lebih dari seabad lampau.
Buku yang ditulis Peneliti Utama di Pusat Penelitian Politik – Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P – LIPI), Dhurorudin Mashad, ini menelusuri secara mendalam, mencari sampai ke akar permasalahan yang jauh lebih kompleks ketimbang sekadar beberapa contoh “kesesatan” orang-orang partai Islam. Studi kepustakaan yang menguraikan betapa kompleks permasalahan partai Islam dari dalam ini semestinya dijadikan rujukan bagi telaah partai-partai Islam di Indonesia.
Pengantar yang ditulis Eep Saefulloh Fatah memberi perspektif lebih tajam, bahwa melihat dari dalam, mengoreksi diri dan introspeksi, menjadi keniscayaan jika partai-partai Islam benar-benar bertujuan membangun kesejahteraan umat di masa depan. Bukan kebetulan bila Dhurorudin dan Eep Saifulloh mencatat hipotesis politik yang hampir bermiripan.
Beberapa di antaranya adalah partai-partai Islam sibuk berurusan dengan kulit, tidak peka mengurusi isi, kerap menjadikan politik sebagai tujuan dan bukan politik sebagai alat, sangat pandai melihat kesalahan pada orang lain, kurang suka melakukan introspeksi, reaktif, terjebak pada mitos kekuatan mayoritas. Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan, tanpa amal yang bermanfaat, mayoritas itu ubahnya buih di lautan. Eep Saifulloh menyebutnya sebagai dominasi statistik bukanlah garansi bagi dominasi politik.
Memang diperlukan paradigma politik baru untuk menjawab fakta sejarah mengapa umat Islam di negeri muslim terbesar di dunia ini tak pernah menjadi umat dominan dalam politik. Sejak pemilu pertama, 1955, umpamanya, perolehan suara gabungan seluruh partai Islam (lima dari 29 partai politik dan golongan yang ikut pemilu) tak melampaui 45 persen suara. Dua partai besar yang kala itu mengibarkan bendera Islam --Masyumi dan Nahdhatul Ulama --disaingi hampir secara seimbang oleh dua kekuatan nasionalis (PNI) dan komunis (PKI).
Ketika zaman berganti, rezim Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama dan PKI dibubarkan, peta kekuatan partai ikut berubah. Partai Islam tak ikut berubah; umat tetap menjadi mayoritas tanpa memegang dominasi politik. Jauh partai dari Islam, atau dalam bahasa Dhurorudin Mashad disebut “Fragmentasi politik Islam kontemporer (baca pasca-Orde Baru)” yang bagi generasi 1970-an malah dianggap semacam “keberkahan sejarah”.
Partai-partai Islam pelopor seperti Syarikat Islam (SI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), misalnya, terkubur menjadi masa lalu.
Sekarang, sementara kalangan Islam malah memanfaatkan kecerdasan politiknya untuk tetap berpolitik asal jangan dalam partai Islam, makin jauh jarak politik dari Islam.
Bukan anekdot bila orang partai sekarang mengatakan bahwa “golput” sudah lebih dulu meraih kemenangan sebelum pemilu berlangsung. Golput dalam praktek lebih canggih, bukan lagi golongan putih, melainkan “golongan pencari uang tunai.” Bagi konstituen, golput berarti “golongan penerima uang tunai”. Mau bilang apa kita ketika praktek semacam itu justru dilakukan orang-orang partai berasas Islam?
Akar konflik partai-partai Islam zaman dulu yang dimaksud Dhurorudin Mashad dalam buku ini terasa lebih “elegan” dibanding fakta-fakta memalukan pada masa reformasi. Elegan dalam pengertian menyangkut ideologi partai, yang menjadi alasan utama mengapa sebuah partai harus eksis. Bukan sekadar, misalnya, mencari kesempatan “dagang sapi” dalam partai Islam.
Jauh-jauh hari ketika pragmatisme partai Islam makin jauh dari kehendak mulia Islam yang menjadi rahmat bagi seisi alam, tiga dekade lalu Nurcholish Madjid menyerukan semboyan “Islam, yes! Partai Islam, no! yang gemanya jauh sampai ke masa sekarang. Di samping luka politik dan trauma sejarah yang menimpa Masyumi dan NU, misalnya, ada kewajiban yang lebih substantif bagi umat Islam ketimbang sekadar sibuk menghabiskan energi keimanan dalam partai politik. Meminjam bahasa sejarawan Kuntowijoyo yang lebih bijak: “Islam berdimensi banyak, partai Islam berdimensi tunggal.”
Kalimat sutera sejarah mengatakan sejarah adalah guru pengalaman yang jujur. Sejarah partai politik Islam di Indonesia --tak ubahnya partai politik non Islam --menyimpan berbagai peristiwa tragis: penuh konflik, intrik politik, yang justru bertentangan dengan praktik akhlakul karimah.
Nafsu berpolitik, meminjam bahasa Eep Saifulloh, telah menggiring orang partai kalangan Islam lebih asyik berkerumun ketimbang tekun menggalang barisan seperti disebutkan dalam QS As Shaf [61] : 4. “Kesenangan berkerumun inilah yang menjadi salah satu sebab pokok dari kegagalan dan kekalahan politik kalangan Islam di Indonesia selama ini,” tulis Eep Saefulloh dalam kata pengantar buku ini.
Terlalu banyak pertanyaan yang dibiarkan menggantung di awang-awang sepanjang perjalanan sejarah partai politik Islam sejak seabad lampau. Berbekal ketekunan seorang peneliti, Dhurorudin memang tidak berpretensi menjawabnya lewat buku yang boleh dikata terlalu tipis dibanding begitu banyak problem internal partai politik kalangan Islam ini.
Satu sumbangan penting hasil penelitian yang memotret sekian banyak problem internal partai politik kalangan Islam seperti diuraikan buku ini --identifikasi akar-akar konflik historis, bangunan struktural, maupun corak kulturalnya --suka atau tidak suka, menampilkan sisi tragis parpol Islam. Ia mati dan akhirnya dilupakan bukan karena faktor dari luar, melainkan oleh musuh-musuh dalam diri sendiri. Sebuah gambaran yang jauh --kalau tak boleh disebut kebalikannya --dari sekian banyak contoh perilaku Rasulullah SAW membangun Islam. Dustur Madinah (Konstitusi Madinah), umpamanya, sering dijadikan teladan bagaimana Nabi menjunjung tinggi etika Islam yang damai untuk semua kalangan, bukan mengutamakan nafsu kekuasaan demi kejayaan diri sendiri.
EH KARTANEGARA, pekerja media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action