wirausaha online

24 Juli, 2009

Membangun Anak Membangun Bangsa


Anaklah yang akan membangun rumah bangsa. Namun anak kita belum penuh kita bela. Masih banyak yang perlu ditolong. Bahkan kita saat ini sedang menghadapi krisis finansial dunia yang berimbas langsung terhadap kesehatan anak (Sidang ADB 5/9, Bali).

Berbagai angka statistik tentang anak seperti penyakit dan kematian masih jauh di bawah harapan. Ambil saja contoh di Haurgeulis, dusun kecil tak jauh di timur Jakarta, menjelang Pilpres 2009, ada banyak balita yang berat badannya kurang dari 10 kg. Mereka itu lahir dari ibu pengidap anemia yang hamil dan membesarkan anak hanya dengan naluri. Mereka mewarisi kemiskinan struktural. Nasib kesehatan kebanyakan anak kita di garis tangan ibu yang papa.

Potret begini masih tersebar di banyak dusun dan pinggiran kota. Misalnya di Desa Segara Katon, Amlapura, Karangasem, Bali. Dari satu keluarga yang memiliki sembilan anak, tiga di antaranya menderita gizi buruk. Kita merasa lengah setelah menginsafi dampak kelalaian program Keluarga Berencana yang ternyata seburuk itu. Saat ini lebih banyak bayi kita sudah lemah sedari kandungan.

Mereka tidak mendapatkan susu yang cukup, jika makan nasi pun seringnya hanya dengan kecap dan kerupuk. Tak sedikit yang belum tersentuh imunisasi. Kondisi itu diperparah dengan banyaknya ibu yang tak memahami manfaat puskesmas. Informasi hidup sehat tak menembus desa. Ibu dan anak belajar hidup sehat dari televisi. Kita lupa, di belakang kesuksesan anak ada seorang ibu.

Membangun Peran Ibu

Pada level mana pun, buat keluarga, peran ibu amat sentral. Meja makan rumah menentukan hari depan kesehatan anak. Tak sedikit penyakit bisa dihindarkan kalau ibu tahu cara mencegahnya. Bukan hanya perlu makanan tambahan atau menaikkan anggaran kesehatan sebagai solusi menyehatkan anak, tapi rakyat pun perlu diajak pintar untuk hidup sehat juga.

Ibu perlu tahu juga bahwa anak gemuk pun dapat menjadi "bom waktu" yang berpotensi akan dihinggapi banyak penyakit di hari depan. Belum setiap ibu kita berpola hidup sehat. Itu karena secara formal pendidikan kesehatan sekolah tidak membentuknya, selain belum semua ibu melek media. Tak ada yang memberi tahu ibu bagaimana membesarkan anak yang benar. Oleh karena lebih banyak ibu tak biasa membaca, peran radio dan televisi menjadi strategis. Itu pentingnya siaran perlu dirancang elok agar memperkaya wawasan sehat ibu, bukannya pembodohan.

Siapa pun ibu mendapat mandat membesarkan anak karena anak belum mampu memilih sendiri yang terbaik buat dirinya. Sebagai tulang punggung sehatnya keluarga, ibu perlu ditolong memikul mandatnya. Bahwa membesarkan anak tak cukup naluri. Perlu apa dan siapa-siapa yang memberdayakan peran ibu setiap keluarga. Nasib kesehatan anak tidak ditentukan hanya oleh bibit yang anak warisi.

Bagaimana anak dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan, semua itu banyak ditentukan oleh tangan ibu. Untuk itu tak mungkin ibu melakukan peran akbarnya seorang diri. Ibu butuh aneka informasi. Untuk itu alokasi anggaran kesehatan perlu lebih banyak buat menyuluh ibu.

Anak Tak Punya Kesempatan Kedua

Anak batu bata rumah bangsa. Posisi anak buat negara sungguh strategis. Agar terbentuk batu bata yang kokoh, anak tak punya kesempatan kedua. Sekali ibu lancung mencukupi gizi, seumur hidup anak tidak menjadi batu bata yang kokoh. Ibu perlu diberi tahu gelas kecerdasan anak harus diisi sebelum umur dua tahun.

Hak anak untuk mendapatkan nutrisi terbaiknya. Semua ibu perlu tahu sehatnya air susu ibu yang dibutuhkan sampai anak 6 bulan (ASI eksklusif). Asupan menu protein tak boleh kurang, begitu pula imunisasi untuk menyelamatkan hari depan anak, lalu pengasuhan mesti disikapi sebagai kerja mendidik. Hanya karena kepapaan, kealpaan, dan ketidaktahuan ibu, gelas kecerdasan anak bisa gagal penuh terisi. Anak lalu gagal menjadi insan kamil. Itu semua tentu tak hanya mencakup kecukupan gizi.

Perilaku hidup sehat perlu dibentuk di rumah dan di sekolah. Lalai membentuknya tentu besar ongkos negara. Ekonomi kesehatan berupa terbentuknya kebiasaan cuci tangan saja bisa membatalkan lebih dari 10 penyakit. Sebaliknya, dirongrong penyakit gara-gara hidup tak bersih berpotensi membuat anak kerdil dan dungu. Sebagai sumber daya bangsa, anak kalah bersaing dengan bangsa sepantaran.

Tak kecil ongkos berobat dan dampak diare, flu burung, flu babi, dan penyakit terjangkit lewat tangan kotor bila mencuci tangan tidak dibiasakan. Bukan cuma karena alasan mengubah perilaku tak sehat tidak lebih mudah daripada membentuknya. Kini pemerintah mesti menanggung lebih besar belanja obat dan biaya rumah sakit untuk penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Kalau saja perilaku sehat masyarakat terbentuk sejak usia anak dipikirkan negara sejak di hulu.

Membentuk Perilaku Sehat

Pulihnya rakyat dari kemiskinan struktural tak mungkin kita tunggu. Menambah anggaran kesehatan belum tentu mengangkat kesehatan rakyat. Padahal dengan anggaran minim, Bangladesh berhasil mengangkat derajat kesehatan rakyatnya.

Layanan primary health care seperti yang kita pilih yang menjadi solusinya, yaitu bagaimana membangun masyarakat pintar hidup sehat sejak kecil. Tapi, sayang, implementasi konsep sebagus itu di kita tak penuh. Informasi kini menjadi kekuatan baru seperti diramal futurolog John Naisbitt (1982). Untuk membuat masyarakat pintar hidup sehat butuh informasi. Dalam konteks ini setiap ibulah yang menjadi gurunya. Materinya bisa dari mana-mana.

Bisa dari program "child-friendly school" UNICEF, modul "skill for life", "safe motherhood", pedoman jajan yang aman (food safety), memahami bahwa menu bergizi tak perlu mahal dan kegiatan penyuluhan oleh puskesmas. Mematuhi deklarasi PBB agar menjadikan anak nyaman pun perlu diejawantahkan juga (World Fit for Children, 2001). Kebanyakan ibu belum melek koran maupun tabloid. Maka radio dan televisi laik menjadi referensi informasi paling tepat sasaran.

Saatnya kurikulum kesehatan sekolah direvisi bukan hanya kognitif, melainkan membawa visi pembentukan perilaku sehat. Nasib kesehatan anak kita harus berubah. Jeritan membela anak dari bawah sudah lama ada. Advokasi di tingkat kementerian sudah sering dilakukan. Kuncinya barangkali memang perlu kemauan politik orang nomor satu republik ini.

Tetap abai pada kondisi ibu tak berdaya untuk membesarkan anak dengan benar, akan terus lahir anak yang mewarisi kesehatan selemah milik ibunya.Kalau nanti itu yang terjadi, rumah republik ini kelak dibangun dari bata yang rapuh. Lantas, kapan berharap lahir bangsa besar?(*)

Handrawan Nadesul
Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan dan Penulis Buku

sumber : http://www.okezone.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action