wirausaha online

09 Juli, 2009

Pesta Di tengah keterbatasan



Kemarin jutaan rakyat Indonesia memberikan suaranya di TPS seluruh Indonesia. Seperti pemilu legislatif pada 9 April lalu, kita mengapresiasi pemilih Indonesia yang telah menggunakan hak pilihnya secara damai.Mereka yang tidak terdaftar dalam DPT dan kemudian tidak dapat menggunakan hak pilihnya yang ditengarai jumlahnya jutaan, tidak sampai melakukan hal-hal yang merusak. Kita patut berterima kasih, tetapi sekaligus disertai pertanyaan, apakah sikap itu mencerminkan sikap "tidak mau repot" ataukah lebih disebabkan kurangnya pemahaman mengenai "makna hak pilih" dalam sebuah pemilihan umum.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan 60% pemilih Indonesia tamatan SD atau tidak tamat SD. Perlu penelitian lebih lanjut adakah korelasi antara tingkat pendidikan dengan sikap "tidak mau repot" atau rendahnya pengetahuan mengenai "makna hak pilih" itu.***Jelasnya, berbagai persoalan mewarnai persiapan pelaksanaan pilpres. Pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto bertemu di Kantor PP Muhammadiyah difasilitasi Din Syamsuddin menyampaikan keprihatinan mengenai DPT yang sangat buruk. Ada DPT ganda dan DPT fiktif. Komnas HAM menemukan puluhan juta DPT bermasalah, koalisi sejumlah LSM meminta pemilu diundur, dan sejumlah kalangan meminta KPU pusat dan KPU daerah dibekukan karena dianggap tidak mampu secara teknis, hukum, dan administratif memperbaiki DPT.
Diperbolehkannya penggunaan KTP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memang menjadi solusi, tetapi dinilai terlambat dan dipertanyakan efektivitasnya. Pada saat sama, KPU dinilai tidak netral akibat beredarnya spanduk dan alat peraga sosialisasi yang menggiring pemilih memilih pasangan capres tertentu. Alat peraga simulasi di Kuningan, Jawa Barat pun dengan contoh mencontreng capres yang di tengah.
Bahkan beredar pemberitaan, anggota KPU mengirim pesan singkat (SMS) kepada Sekjen Partai Demokrat yang mengeluhkan adanya tekanan kepada Ketua KPU dari capres tertentu. Berbagai persoalan itu tentu saja cukup mencemaskan. Apabila itu tidak dikelola dengan baik akan mempengaruhi legitimasi pilpres.
Kualitas pilpres tidak ditentukan oleh siapa yang menjadi pemenang, tapi oleh sejauh mana proses pilpres itu memenuhi prinsip dasar pemilu yang taat asas dan demokratis, seperti akses semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih, perlindungan kerahasiaan hak pilih, kesetaraan suara, sesedikit mungkin kecurangan pada waktu pemungutan dan penghitungan suara. Dua hal mendasar dari administrasi pemilu telah dilanggar KPU, yaitu hak pilih warga negara dan independensi KPU.
Ini adalah kemunduran penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan tentu saja akan memengaruhi perkembangan demokrasi. Sebab, pemilu adalah pintu gerbangnya demokrasi. Apabila prosesnya berkualitas maka hasilnya pun akan berkualitas. Begitu juga sebaliknya. DPT merupakan bagian mendasar dalam pemilu yang demokratis. Sebab, kehendak rakyat itu dicerminkan dari sejauh mana data pemilih mampu mengakomodasi seluruh penduduk yang sudah memiliki hak pilih.
Di negara-negara yang sudah maju demokrasinya, data pemilih dikelola secara khusus dan berkelanjutan secara elektronik. Itu sebabnya KPU 2004 melaksanakan program P4B (Pendataan Pemilih dan Penduduk secara Berkelanjutan) dalam rangka membangun database kependudukan dan pemilih.
Ide dasarnya adalah Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk yang besar jumlahnya haruslah memiliki data penduduk dan pemilih yang sifatnya berkelanjutan.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu melakukan pendaftaran pemilih dari nol pada setiap pemilu, cukup memutakhirkan database yang sudah ada. Pada waktu itu dilakukan MOU antara KPU, BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depdagri. BPS yang melaksanakan pendataan penduduk dan memprosesnya menjadi sebuah database, Depdagri yang memutakhirkan data penduduk dan KPU yang memutakhirkan data pemilih.
Sayangnya, pasca-Pemilu 2004 ada perkembangan lain dengan ditetapkannya UU N0 32 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa pilkada bukanlah rezim pemilihan umum sehingga KPU pusat tidak mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pilkada. Sejak saat itu KPU pusat tidak mempunyai kewenangan dalam pilkada, termasuk dalam hal pemutakhiran data pemilih dan tugas itu dilaksanakan oleh Depdagri.
P4B dari KPU diubah namanya menjadi DP4 yang kemudian diserahkan kepada KPU daerah sebagai DPS yang selanjutnya untuk ditetapkan sebagai DPT. Rupanya, DP4 itu berasal dari DPT Pemilu Legislatif 2004 sehingga DP4 itu tidak mencerminkan perkembangan atau pergerakan pemilih Indonesia selanjutnya. Sejak saat itulah berbagai persoalan muncul yang menyangkut DPT fiktif maupun DPT ganda.
Demikian pula data penduduk dari Depdagri yang diserahkan kepada KPU satu tahun sebelum pemilu legislatif, seperti diperintahkan UU yakni pada April 2008 tidak mencerminkan potensi penduduk yang sesungguhnya. Mengapa hal itu terjadi? Perlu disampaikan keterangan yang transparan kepada publik upaya apa yang dilakukan pihak Depdagri dalam menyusun data penduduk? Mengapa data yang diserahkan kepada KPU itu sangat buruk?
Pada pihak lain juga perlu penjelasan menyeluruh dari KPU mengenai upaya yang dilakukan dalam memperbaiki DPT pemilu legislatif yang amburadul itu? Mengapa sampai dua hari menjelang pilpres, KPU belum juga memublikasikan DPT? Mengapa baru satu pekan yang lalu KPU memberikan salinan DPT kepada pasangan calon?***
Ke depan perlu dibangun sistem data kependudukan yang bersifat tunggal yang dapat dimutakhirkan dari waktu ke waktu. Tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali bangsa ini ingin selalu jalan di tempat. Perlu dipikirkan berbagai opsi, seperti apakah kewenangan pendataan penduduk itu tetap di Depdagri ataukah dialihkan ke institusi lain seperti BPS? Apakah momentum sensus penduduk oleh BPS tahun 2010 akan dimanfaatkan untuk sekaligus pendataan penduduk?
Sistem rekrutmen anggota KPU sebagai penyelenggara pemilu pun harus direformasi sehingga dapat dihasilkan KPU yang profesional, mandiri, dan berwibawa. Dengan cara demikian bangsa ini tidak akan terbuang energinya setiap kali pemilihan umum, hanya karena KPU yang tidak profesional. Dalam beberapa hari ke depan, perlu dicermati mengenai potensi kecurangan dalam proses penghitungan suara. Pilpres kali ini hanya akan menggunakan penghitungan suara secara manual.
KPU tidak lagi menggunakan penghitungan elektronik karena penghitungan elektronik di pemilu legislatif lalu gagal. Tidak ada data bandingan selain data quick count yang dihasilkan oleh berbagai lembaga survei. Potensi kecurangannya tinggi apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat dalam alur penghitungan suara mulai dari TPSPPK-KPU kabupaten/kota-KPU provinsi-KPU pusat. Bukan tidak mungkin penghitungan manual akan menyesuaikan dengan hasil quick count. Apa saja bisa terjadi bila tidak ada pengawasan.
Tentu kita tidak ingin presiden baru yang terpilih nanti adalah hasil penghitungan sebuah quick count. Kalau demikian halnya, namanya bisa berubah menjadi "pemilu dengan quick count". Menjadi tantangan bagi KPU ke depan untuk membangun kembali penghitungan suara secara elektronik. KPU Pada Pemilu 2004 sudah terbukti mampu melakukan penghitungan suara secara elektronik dari tingkat kecamatan yang datanya dikirim langsung ke Data Center di KPU pusat.
Dengan berbagai kelemahan pada pilpres kemarin, kita tetap berharap, siapa pun nantinya yang terpilih sebagai pemenang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Tentu kita tidak ingin menjadi seperti Thailand yang mengalami instabilitas berkepanjangan akibat pemilu yang dianggap curang.
(*)Valina Singka Subekti
Mantan Anggota KPU 2004, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
sumber : http://www.okezone.com

2 komentar:

  1. pilpres telah berlalu, jgn sampe kita ikut larut dlm euforia hingga menghambat kreaktifitas. President terpilih adalah presiden kita semua.

    salam kenal....

    BalasHapus
  2. Terimaksih Commentnya pak, salam kenal kembali

    BalasHapus

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action