wirausaha online

03 Juli, 2009

Mempreteli Senjata KPK


Sungguh mencemaskan melihat masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pukulan bertubi-tubi dihadapi lembaga ini sejak ketuanya menjadi tersangka kasus pembunuhan. Kasus yang tak ada kaitannya dengan KPK sebagai lembaga ini seolah menjadi pintu masuk berbagai pihak untuk menyerang. Dan di antara rangkaian pukulan itu, yang paling berbahaya adalah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sudah masuk ke DPR.

Rancangan bikinan pemerintah itu berbahaya karena ternyata isinya justru melemahkan kekuatan KPK. Banyak wewenang yang sebelumnya dimiliki, sekarang tak lagi tercantum. Misalnya, tak ada wewenang menuntut dan menahan tersangka.

Termasuk yang tidak lagi disinggung dalam rancangan itu adalah wewenang menyadap. Padahal inilah salah satu senjata ampuh KPK. Lewat wewenang ini, Komisi bisa menjerat para koruptor karena tersedianya bukti kuat. Pembuktian seperti inilah yang sebelumnya sulit dilakukan. Hasilnya, begitu banyak koruptor lolos dari jerat pengadilan.

Dua hal itu hanya sebagian dari banyaknya kewenangan Komisi yang tak lagi diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Maka, bila pemerintah selaku pembuat rancangan menyatakan tak ada niat untuk menggembosi peran KPK, penegasan itu sulit diterima. Banyaknya wewenang yang dipangkas jelas menunjukkan bahwa ada upaya terencana untuk memandulkan lembaga ini.

Upaya itu sesungguhnya sudah melenceng dari semangat Mahkamah Konstitusi saat mereka mengoreksi Undang-Undang No. 30/2002 tentang KPK. Permintaan untuk membatalkan wewenang istimewa komisi antikorupsi telah ditolak oleh MK. Mahkamah hanya mengoreksi pasal 53 mengenai pengadilan korupsi dalam undang-undang itu. Pengadilan khusus ini harus disesuaikan dengan konstitusi karena sudah ada peradilan umum.

Perintah Mahkamah pun jelas: pemerintah harus membuat undang-undang baru yang bisa menjadi payung hukum bagi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan alasan inilah pemerintah kemudian menyiapkan dua rancangan sekaligus, yakni RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya, peluang ini justru dimanfaatkan untuk mengutak-atik wewenang KPK.

Boleh saja pejabat pemerintah berargumentasi bahwa rancangan itu tidak melemahkan KPK, karena wewenang lembaga ini tetap diatur dalam Undang-Undang No. 30/2002. Persoalannya, jika rancangan itu tidak selaras bahkan bertentangan dengan undang-undang lama, pada akhirnya aturan barulah yang berlaku atau paling tidak akan menimbulkan konflik hukum.

Itu sebabnya, pemerintah dan DPR harus membenahi lagi RUU Pemberantasan Korupsi. Jika pasal-pasal berbahaya itu lolos, kita tidak hanya kehilangan kekuatan KPK, tapi juga melangkah mundur dalam memerangi korupsi. Momentum ketakutan para koruptor terhadap hukum akan lenyap, dan korupsi kembali merajalela. Itulah kerugian terbesar yang harus dicegah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action