wirausaha online

04 Juni, 2009

Abang Biru Rakyat Pintar & Pilpres

Jakarta - Rebutan presiden tak lama lagi. Anehnya yang ribut hanya tivi. Rakyat adem ayem, tata-tentrem, dan tetap pada pakem, bagaimana mengais rejeki. Sangat beda dengan 'rebutan senden' yang saya saksikan pekan lalu di sebuah desa di Bojonegoro. Biar pilihannya hanya tes tertulis, tapi antusiasme rakyat untuk mengawal betul-betul membuat hati terharu.

Kenapa pilihan presiden tak menggairahkan? Menurut saya karena track-record para kontestan sudah terlalu transparan. Semua yang maju bukan orang baru. Mereka semua sudah pernah berbuat, baik atau tidak baik.

Kedua ada apatisme sempit yang membuat rakyat kurang bergairah. Tidak adanya dampak langsung membuat rakyat berasumsi, siapa saja yang jadi presiden toh hidup rakyat tak banyak berubah. Itu pula salah satu alasan mengapa acara saling ngotot antar pendukung di televisi kurang diminati.

Namun seapatis apapun mereka, bukan berarti rakyat tak punya penilaian dan pilihan. Bagi mereka, yang baik akan mengukuhkan hatinya untuk dipilih. Sedang yang tak baik tentu mendapat catatan hitam. Itu tidak mudah terhapus hanya dengan obral janji atau uang sogok yang digelontorkan kader-kader bayaran.

Rakyat sekarang memang pintar. Pintar itu tidak sama dengan cerdas atau sebangun dengan pandai. Kalau cerdas dan pandai di dalamnya ada budi pekerti, tapi kalau pintar dalam idiom rakyat terkandung kecurangan dan keculasan.

Dukun tidak diklasifikasikan rakyat sebagai orang cerdas, tapi disebut orang pintar. Itu karena kecerdasannya dari dunia antah-berantah dan masih perlu diyakinkan untuk diyakini rakyat sebagai sebuah kecerdasan.

Dalam ranah politik, kepintaran rakyat sudah teruji. Dalam pilihan legislatif (pileg) lalu banyak politisi yang 'munting dan jongkling'. Mereka terlalu percaya janji rakyat setelah menebar duit. Para politisi itu 'dipinteri'. Setelah kalah, bangkrut, dan jiwanya bermasalah, mereka baru sadar, rakyat sekarang bukanlah figur polos dan lugu. Jangan kaget jika 'kado sarung' saja diminta kembali oleh politisi yang habis dikadali.

Ketidakpercayaan rakyat itu tak hanya pada politisi yang biasa bersilat lidah. Ulama pun sudah tidak memberinya ketaklidan. ‘Abang–biru’ ikut kiai yang dulu bermakna tunduk apa kehendak kiai sekarang diterjemahkan sangat profan. Abang (merah) itu uang seratus ribuan, sedang biru itu uang lima puluh ribuan. Mereka nurut selagi sang kiai mau bagi-bagi rejeki.

Apakah ‘rakyat yang pintar’ ini salah? Tidak ! Ini akibat dari politik represif. Zaman raja-raja rakyat hanya mampu pepe. Menjemur diri di tanah lapang jika ingin protes terhadap kebijakan raja. Jaman Orde Baru dan seterusnya tetap menempatkan rakyat sebagai kawulo alit. Rakyat jadi bukan siapa-siapa, dan tinggal ‘delete’ kalau dianggap tak berguna atau bermasalah.

Kini, ketika zaman baru tiba, dan rakyat dikembalikan fungsinya sebagai pemberi amanah, maka hak dan kewajiban itu transisional. Muncul dalam bentuk 'ya' tapi 'tidak', dan 'tidak' tapi 'ya'. Rakyat belum berani terbuka. Batin rakyat masih sakit. Rakyat masih takut memilih dan bahkan juga dipilih. Namun jangan anggap mereka tak punya pilihan. Mereka sudah punya itu jauh-jauh hari yang dipendam rapat-rapat dan tak terucap.

Maka hari-hari ini, jika timbul seakan-akan ada gelombang besar dukungan atau penggembosan terhadap salah satu kandidat, itu hanya wacana. Wacana itu bukan nyata, kendati indah untuk dibicarakan. Ini buah politik uang dan rasa kesopanan. Sebab hakekatnya dalam hati kecil rakyat sudah terpilih pilihan yang tak bakal tergoyang oleh kata-kata yang bersifat lip service.
oleh : Djoko Suud Sukahar
sumber : http://www.detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action