wirausaha online

09 Juni, 2009

Bahaya Survey Politik


Mempublikasikan hasil survei politik saat kampanye pemilihan presiden jelas tak bisa dilarang. Tapi, persoalannya, banyak lembaga survei mengabaikan etika. Mereka dibiayai oleh tim sukses calon presiden tertentu namun mengesankan seolah-olah independen. Metodologinya pun kerap dipertanyakan.

Tengoklah aneka macam hasil survei yang beredar sekarang. Lembaga Survei Indonesia, misalnya, mengumumkan hasil jajak pendapat yang menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mencapai 71 persen. Ini berarti pasangan calon presiden-wakil presiden ini berpotensi menang pemilu dalam satu putaran. Tapi survei lainnya yang dilakukan Lembaga Riset Indonesia menghasilkan angka berbeda. Elektabilitas Yudhoyono-Boediono hanya 33,02 persen, yang berarti pemilihan presiden mungkin akan berlangsung dua putaran.

Survei mana yang harus dipercaya? Inilah yang membingungkan masyarakat. Apalagi masih banyak hasil sigi lainnya yang dilakukan dengan berbagai macam metode. Ada yang bertatap muka langsung dengan responden, ada pula yang lewat telepon dan pesan pendek. Hasil suatu survei mungkin memenangkan SBY-Boediono, tapi sigi yang lain mengunggulkan pasangan lainnya, Megawati-Prabowo atau Jusuf Kalla-Wiranto.

Publik sebetulnya tidak akan terlalu pusing andaikata penyelenggara survei bersikap terbuka. Mereka harus membeberkan siapa penyandang dananya. Publik perlu tahu soal ini untuk menakar kemungkinan adanya bias pada hasil survei itu. Akan lebih baik lagi bila hasil survei ini diumumkan oleh pemesannya, bukan oleh lembaga yang melakukan sigi itu.

Etika lain yang kerap dilanggar menyangkut metodologi. Dengan jumlah pemilih di atas 100 juta dan terserak di wilayah yang luas, bahkan sebagian berada di tempat terpencil, teknik pengambilan sampel menjadi tantangan utama bagi lembaga survei. Begitu pula metode pengambilan pendapat. Teknik bertanya dan pertanyaan yang diajukan kepada responden harus tepat karena ini bisa mempengaruhi jawaban responden. Sering kali lembaga survei tidak menjelaskan dengan gamblang metode yang dipakainya. Padahal metode yang berbeda jelas akan menampilkan hasil survei yang berbeda pula.

Sungguh berbahaya jika lembaga survei sengaja menyembunyikan metode atau memanipulasi data dengan tujuan mengelabui publik. Sebab, ada kecenderungan masyarakat akan mendukung calon yang berpotensi menang lantaran tak mau jadi pecundang. Pada abad ke-19, Benjamin Disraeli, negarawan dan Perdana Menteri Inggris yang meninggal pada 1881, bahkan telah mengutuk manipulasi statistik ini sebagai kebohongan yang paling jahat. Soalnya, lembaga survei memperalat publik, yakni responden, untuk membohongi publik yang lebih besar.

Menyelamatkan publik dari kebohongan seperti itu tentu bukan dengan cara melarang survei politik. Dalam negara demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat dan mengadakan sigi harus tetap dihargai. Hanya, lembaga survei perlu mengindahkan etika agar tidak dituduh melakukan kebohongan yang paling jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action