wirausaha online

12 April, 2009

Dua Arah Untuk Masa Depan


PEMILU Legislatif 2009 menghasilkan perubahan di papan atas. Berdasarkan hasil quick count, Partai Demokrat meraih suara terbanyak mengalahkan Golkar dan PDI Perjuangan.

Tiga partai besar itu menjadi partai papan atas dengan menguasai sekitar 50% suara. Adapun papan tengah didominasi empat partai Islam yang mengantongi sekitar 25% suara.

Selain Partai Demokrat, yang juga bikin sejarah adalah dua partai baru, Gerindra dan Hanura. Keduanya lolos ambang batas parlemen 2,5%. Maka, sesungguhnya hanya ada sembilan partai yang punya hak untuk hidup. Selebihnya adalah partai-partai sangat kecil yang praktis hanya layak diberi gelar sebagai penggembira dalam pemilu.

Akan tetapi, inilah penggembira yang menyedihkan. Menyedihkan karena sang penggembira sendirian sebagai partai tidak layak untuk tetap hidup. Padahal bila semua penggembira itu bergabung, cukup bergigi. Sebab, total memiliki sekitar 20% suara.

Tetapi mukjizat manakah yang bisa menyatukan 29 partai cilik itu sehingga sebagai penggembira bersama-sama gembira?


Hasil pemilu legislatif itu sedikitnya memberi dua arah untuk masa depan.


Yang pertama cukup 10 partai. Tiga kali pemilu legislatif (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan pecahan partai hanya menghasilkan puing. Apakah elite partai tidak malu hanya menghasilkan puing?

Yang kedua sangat sulit membesarkan partai sehingga sendirian dapat mencalonkan presiden. Tidak mudah meraih 25% suara. Harus berkoalisi. Kenyataan itu mestinya membongkar cara pandang pimpinan partai yang baru sibuk mendesain koalisi menjelang pemilu.

Postulat berpikir bahwa koalisi baru layak dibicarakan setelah melihat hasil pemilu legislatif kiranya sudah harus dimasukkan ke keranjang sampah. Itu pikiran yang tidak cocok lagi dengan jalannya sejarah. Implikasinya jelas sangat rasional.

Koalisi partai sebelum pemilu memberi gambaran perkawinan ideologis yang terbuka di hadapan warga. Terbuka sebelum mencontreng di bilik suara. Tidak seperti sekarang, pemilih bisa tertipu karena telah memilih sebuah partai yang dinilai seideologi, tetapi kemudian partai pilihannya itu berkoalisi dengan partai yang berbeda ideologi dalam hal mencalonkan presiden.

Dampak lain ialah koalisi itu mestinya juga dibangun dengan kesamaan program. Partai yang berkoalisi sejak dini telah menyusun program yang sama. Bukan hanya program yang bervisi jauh, tetapi sekaligus juga sangat operasional alias masuk akal untuk dilaksanakan. Sudah tentu, jauh hari pula warga mestinya sudah tahu calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung.

Tidak seperti sekarang, baru tahu menjelang akad nikah. Ini mirip perkawinan yang terburu-buru atau perkawinan yang dianggap bakal mulus karena hanya diperlukan cinta untuk lima tahun. Selebihnya, bisa bilang bye bye.... Ini jelas bukan contoh pendidikan politik yang bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action